Kopi TIMES

Membangun Paradigma Hukum di Tengah Pandemi Covid-19 :Implementasi dan Tantangan

Rabu, 16 Juni 2021 - 21:34 | 70.20k
Agung Cahyono,S.H. Advokad.
Agung Cahyono,S.H. Advokad.

TIMESINDONESIA, BLITAR – Dalam mewujudkan cita-cita yang luhur dan sesuai dengan harapan para pendiri bangsa, supremasi hukum merupakan simbol dari pertahanan jati diri bangsa. Paradigma hukum merupakan cara pandang terhadap hukum itu sendiri dalam menilai suatu hal yang paling penting dalam kehidupan bermasyarakat, hal tersebut tercermin dalam upaya penegakkan hukum di tengah masyarakat.

Situasi Pandemi Covid-19 saat ini telah membuat tatanan keadaan yang baru, dimana semua orang akan beradaptasi dengan suatu aturan yang mungkin bisa sangat merugikan semua orang, akan tetapi jangan sampai lupa, bahwa terdapat suatu asas dalam hukum yaitu “ Salus Populi Suprema Lex Esto”artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Apabila hal tersebut diterapkan secara nyata, dan Pemerintah telah membuat aturan hukum yang tegas, tetapi masyarakat tidak melaksanakan aturan tersebut, maka hal itu bisa menjadi hambatan dalam penegakkan hukum. Karena hukum merupakan serangkaian peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa, konsekuensinya adalah bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi lisan, tertulis, sampai denda.

Menurut H.Ishaq dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Hukum, bahwa hukum berisikan serangkaian peraturan yang bersifat umum serta normatif, terdapat empat unsur dalam hukum yaitu:

1.    Mengatur tingkah laku manusia;
2.    Dibuat atau dibentuk oleh badan resmi yang berwenang;
3.    Sifatnya memaksa;
4.    Menimbulkan sanksi tegas bagi yang melanggarnya.

Disisi lain menurut Lawrence M.Friedman, hukum memiliki fungsi pengawasan sosial atau social control artinya hukum berperan untuk mengawasi dan mengendalikan lingkungan sosial di masyarakat. Oleh karena itu dalam kondisi pandemi saat ini telah dikeluarkan beberapa aturan hukum, mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai tingkat pemerintah daerah, akan tetapi masih terlalu jauh dari semangat supremasi, dikarenakan paradigma masyarakat dalam memandang hukum yang masih lemah dan kondisi budaya hukum di masyarakat masih belum terlalu kuat.

Hal tersebut mengakibatkan lonjakan pasien positif Covid-19 naik di beberapa wilayah dan beberapa fasilitas kesehatan juga telah disediakan namun karena kondisinya semakin meningkat hal itu menyebabkan rumah sakit tidak memiliki ruang yang cukup dalam merawat pasien Covid-19.

Ketika sebuah aturan diterapkan terdapat persoalan yang cukup serius misalnya dari larangan-larangan tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat. Seperti pemangkasan pekerja dengan jumlah ribuan bahkan sampai jutaan orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), Pandemi ini juga membuat lesu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang membuat runtuhnya pekerja non formal. Hal itu dipicu karena para pengusaha mengalami kesulitan keuangan karena laju permintaan berkurang drastis. Akibat dari semua ini banyak masyarakat yang kondisi keuangannya memburuk bahkan jatuh miskin. Inilah salah satu faktor yang mendorong masyarakat melakukan kejahatan disituasi Covid-19.

Pada saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Pecepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), masyarakat pun ikut terbatasi dalam melakukan beberapa aktivitas sosialnya. Padahal produk hukum ini berupa Peraturan Pemerintah yang dihasilkan sebagai salah satu regulasi hukum pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan dalam menanggulangi Covid-19.

Penyebaran Covid-19 yang semakin menghawatirkan mengakibatkan berbagai aspek kehidupan menjadi berbahaya jika tidak dilakukan langkah strategis, membuat pemerintah mencari kebijakan yang tepat, yang dimana salah satu strategi itu adalah melakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Menurut Catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia pada Kamis, 2 April 2020, menyatakan bahwa ”Substansi Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 ini sangat terbatas, sehingga tidak memadai untuk melaksanakan percepatan penanganan Covid-19.

Peraturan tersebut hanya mengatur PSBB, dan materi yang diaturpun tidak ada yang baru, melainkan hanya membukukan apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah”. Mengutip pendapat dari Prof. Bagir Manan, beliau menyampaikan bahwa antara pembentukan dan penegakan hukum itu adalah dua hal yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Sejalan dengan hal tersebut bahwa keselamatan rakyat adalah hal yang utama, meskipun terdapat suatu pilihan yang sangat sulit untuk bisa diambil, antara keselamatan dengan kehidupan perekonomian yang menjadi tonggak kehidupan masyarakat.

***

*)Oleh: Agung Cahyono,S.H. Advokad.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES