Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Sekolah Bermutu Untuk ”Akar Umput”

Jumat, 11 Juni 2021 - 11:08 | 35.44k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam konstitusi kita  (baca: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945) menyebutkan, bahwa setiap warga Negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Kata “setiap” dalam konstitusi ini menunjuk pada pemaknaan hak edukasi non-diskriminasi, apa atas nama gender, etnis, budaya, agama, politik, ataukah  strata  sosial-ekonomi. Dalam idealitas ini, hak egalitarianisme dalam kesempatan memperoleh pendidikan menjadi milik setiap warga masyarakat, baik  golongan kaya maupun komunitas akar rumput (the grassroot community).

Dalam pasal 12  UU No. 39 Th.1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ketentuan dalam UU HAM tersebut sejalan dengan yang digariskan dalam pasal 4 ayat (1) UU No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Sementara berkaitan dengan hak anak, juga sudah digariskan dalam pasal 49 UU No 23 Th 2002 mengenai Perlindungan Anak, bahwa  negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempat­an yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Berdasarkan  semua dasar yuridis tersebut menunjukkan, bahwa anak Indonesia dari golongan manapun wajib mendapatkan kesempatan untuk mengenyam dunia pendidikan. Makna kesempatan seluas-luasnya  dapat ditafsirkan sebagai wujud pendidikan untuk semua (education for all) seperti yang dicanangkan PBB, yang  merupakan deskripsi dari model penyelenggaraan pendidikan berbasis kerakyatan yang menampung semua segmen masyarakat, termasuk memberi kesempatan bagi anak miskin untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah unggulan.

Masalahnya, apakah anak-anak miskin di negeri ini sudah terpenuhi hak fundamental edukasinya berlabel internasional atau sekolah apapun berlabel unggulan itu? atau sudahkah pemerintah (negara)  menunjukkan komitmen maksimalnya dengan memedulikan nasib pendidikan anak-anak miskin tanpa membedakannya dengan anak-anak orang kaya?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau komunitas berduit atau the high class nyaris tak akan pernah mengalami kesulitan dalam memburu dan  memilihkan sekolah untuk anaknya. Dengan modal uangnya yang tidak sedikit, mereka bisa mengarahkan anaknya memilih sekolah sesuka hati. Jikapun hasil ujian nasionalnya  tidak memadai untuk mengantarkan anaknya masuk di sekolah negeri favorit, mereka masih bisa mencarikan dan memilihkan sekolah swasta yang bertarif mahal.

Itu artinya, posisi anak orang kaya serba terfasilitasi untuk mengikuti irama kemauan, dan bukan kemampuan lagi. Di mata golongan ini, sekolah menjadi obyek yang ditentukan oleh kemampuan ekonominya. Nasib dunia pendidikan (sekolah) berada dalam timangan dan “vonis” orang kaya. Dalam kasus ini, pemerintah tak perlu repot-repot mencarikan, apalagi mengeluarkan anggaran pendidikan, pasalnya dari kantongnya orang kaya ini, uang tidak menjadi persoalan.  Wajar saja andaikan dalam kasus ini pemerintah bersifat  pasip atau menunggu orang kaya sibuk berburu dan memilah-milah sekolah yang tersedia.

Beda dengan anak orang miskin, mereka sering terpinggir dan meminggirkan dirinya dari percaturan persaingan memburu sekolah itu. Kemauan besar terhadang minimnya atau nihilnya kemampuan ekonomi. Sementara peran aktif-progresif dari pemerintah yang sudah lama ditunggu tak juga mempedulikannya. Pemerintah lebih senang mengawasi atau “sowan” pada sekolah-sekolah unggulan yang menjadi obyek buruannya orang kaya daripada mengerahkan maksimalitas kemampuan anggaran untuk menjaga keberlanjutan sekolah anak orang miskin, yang juga membutuhkan sekolah unggulan.

Jika derita pendidikan anak miskin itu tak kunjung diperhatikan oleh pemerintah, dikhawatirkan di kemudian hari, bangsa ini semakin dimarakkan sumberdaya manusia dengan kemampuan nihil, yang gampang dikorbankan atau ditumbalkan. Bahkan ironisnya lagi, mereka gampang dibodohi dan diperangkap menjadi obyek pembenaran langgeng  perbudakan modern, suatu potret  masyarakat yang dihuni oleh elemen sosial berstandar kemampuan rendah, yang gampang direndahkan dan diperjual-belikan.

Seharusnya pemerintah yang jadi pegiat secara privilitas dalam mempedulikan pendidikan anak miskin. Kebiasaan pemerintah atau Dinas Pendidikan  menunggu keluhan, protes, dan aksi demo dari orang tua miskin akibat jadi korban diskresi sekolah, seperti diskresi paket buku dan  seragam yang sering jadi beban “fundamental” di setiap tahun ajaran baru, semestinya harus secepatnya dibenahi atau dibongkar.

Faktanya, pemerintah  masih sering terlambat membaca  kesulitan orang miskin yang dimiskinkan (ditindas) di sekolahan, atau jadi korban diskresi pembiayaan tetek-bengek  yang sarat membebani siswa. Seandainya pemerintah sering melakukan sidak dan mengadakan dialog dengan siswa, barangkali korban siswa bisa dicegah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES