Pemerintahan

Terima Keluhan Sengketa Lahan, DPR RI: Pembangunan Tak Boleh Melanggar HAM

Kamis, 10 Juni 2021 - 20:20 | 27.92k
Junimart Girsang saat menerima dokumen dari perwakilan warga terkait permasalahan tanah. (FOTO: Sumitro for TIMES Indonesia)
Junimart Girsang saat menerima dokumen dari perwakilan warga terkait permasalahan tanah. (FOTO: Sumitro for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Komisi II DPR RI merasa iba dengan Presiden RI Jokowi (Joko Widodo) dalam melaksanakan program percepatan pembangunan nasional di berbagai daerah.

Pasalnya, visi besar Presiden Jokowi itu tidak dijabarkan dan dieksekusi dengan baik dilapangan. Akibatnya, banyak permainan dibawah, salah satunya menyangkut kemunculan mafia tanah.

Kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan pada Kamis (10/06/2021), Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengatakan, "Setuju pembangunan, tetapi pembangunan tidak boleh melanggar HAM. Tidak boleh begitu!"

"Boleh kita membangun, membuat negara ini bagus, tapi kalau masyarakat hancur, ngapain. Masyarakat menangis karena pembangunan, kan tidak boleh. Harus sesuai aturan. Kasihan Pak Jokowi. Ini terjadi karena sudah menjadi bagian, menjadi sindikasi mafia tanah," tegasnya,

menerima-perwakilan-warga-yang-memiliki-masalah-sengketa-tanah.jpgJunimart Girsang saat menerima perwakilan warga yang memiliki masalah sengketa tanah di gedung DPR RI, Jakarta. (FOTO: Sumitro for TIMES Indonesia) 

Hal ini disampaikannya usai menerima audensi dari lima kelompok masyarakat terkait permasalahan/sengketa tanah di Ruang Rapat Komisi II DPR RI.

Salah satu kelompok masyarakat itu berasal dari masyarakat Sayung, Demak, Jawa Tengah, yang mengadukan permasalahan tanah hak miliknya yang digunakan untuk pembangunan jalan tol Semarang - Demak.

Politisi PDI Perjuangan itu mengungkapkan, lima kelompok masyarakat yang mengadukan permasalahan tanah diterima Komisi II dan nantinya dibawa ke Rapat Pleno.

Dari pleno, nantinya akan diputuskan tindaklanjutnya dan berkoordinasi dengan instansi terkait, termasuk turun ke lapangan melihat langsung masalahnya. Secara hukum pertanahan, seseorang bisa ajukan sertifikat tanah apabila dia sudah menguasai selama 20 tahun berturut-turut tanpa henti.

"Maka dia bisa mengajukan sertifikat. Ketika saya mempergunakan tanah tersebut, maka saya bisa mengajukan dokumen tanah ke instansi terkait. Dia bayar PBB, Bayar Ipeda, ini yang harus diungkap," jelasnya.

"Ini negara kita kan lagi aneh-aneh. Saya sudah punya sertifikat tanah 20 tahun, bahkan sudah dikuasai nenek moyang kami sebelum kemerdekaan, tapi bisa seketika dibatalkan oleh Kementerian Kehutanan, dengan alasan itu kawasan hutan, ini kan aneh-aneh," sambung Junimart.

Dalam audensinya, 47 warga Sayung Demak, diwakili Prof. Dr. Hanif Nurcholis M.Si menyampaikan keberatannya atas penetapan harga yang ditetapkan Negara untuk kepentingan jalan tol Semarang - Demak atas tanah hak milik mereka.

Disebutkan perbuatan Negara melelang proyek jalan tol ini adalah perbuatan ijon karena Negara menjual pekerjaan konstruksi diatas tanah padahal tanahnya belum ada.

"Kami keberatan karena Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan tugasnya nyata-nyata merugikan rakyat pemilik tanah," ucap Prof. Hanif.

menerima-perwakilan-warga-yang-memiliki-masalah-sengketa-tanah-2.jpg

Pada saat melelang proyek ini, tanah belum dibebaskan dan masih dalam penguasaan pemiliknya. Negara baru membebaskan tanah pada tahun 2020, karena sudah melelang proyek jalan tol maka saat membebaskan tanah milik petani, Negara melakukan manipulasi dan intimidasi.

"Pelaksana Pengadaan Tanah saat menyampaikan rencana pembebasan tanah dihadapan petani pemilik tanah membangun narasi intimidatif dan manipulatif," kata Prof Hanif.

Pelaksana Pengadaan Tanah memanipulasi fakta, sebab yang sebenarnya tanah milik petani itu bukan tanah negara tapi tanah hak milik berdasarkan hak adat norowito. Pelaksana juga mengintimidasi pemilik tanah agar mau mengikhlaskan tanah miliknya dibeli Negara dengan harga berapapun.

"Jika menolak dicap sebagai warga negara yang tidak mendukung pembangunan dan ditakut-takuti akan berhadapan dengan lembaga peradilan dan dipastikan kalah," ujarnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, lanjut Prof. Hanif, pihaknya bersama 47 pemilik tanah lainnya menilai Pelaksana Pengadaan Tanah melanggar ketentuan Perpres No 71 Tahun 2012. Khususnya Pasal 66 yang mengatur bahwa nilai ganti kerugian ditetapkan oleh Penilai yang dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan bentuk ganti kerugian.

Kemudian Pasal 68 yang mengatur bahwa Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan musyawarah dengan Pihak yang Berhak. Ternyata ia tidak melaksanakan musyawarah. Ia hanya menyampaikan harga secara sepihak. Pemilik tanah sama sekali tidak diajak musyawarah.

Sedangkan pada Pasal 70 yang mengatur bahwa dalam hal belum tercapai kesepakatan, musyawarah dapat dilaksanakan lebih dari satu kali.

"Saya dan 47 orang  pemilik tanah  lainnya dipaksa untuk tanda tangan dan menolak. Karena tidak ada musyawarah kedua dan ketiga," pungkasnya. dalam audiensi dengan DPR RI. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES