Peristiwa Nasional

BEM Unair Suarakan 6 Sikap Terkait Dugaan Pelecehan Seksual Santri di Jombang

Kamis, 10 Juni 2021 - 10:54 | 127.71k
Ilustasi - pembungkaman terhadap korban pelecehan seksual. (Foto: BEM Unair)
Ilustasi - pembungkaman terhadap korban pelecehan seksual. (Foto: BEM Unair)

TIMESINDONESIA, SURABAYABEM Unair memberikan advokasi dengan menyuarakan 6 poin sikap terkait dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Ponpes Jombang.

"Kami mengecam segala bentuk tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan, termasuk dalam hal ini kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Jombang dengan terduga pelaku MSA," tegas Muhammad Abdul Chaq, Presiden Mahasiswa Universitas Airlangga, Kamis (10/6/2021).

Chaq mengatakan, pelecehan seksual bertopeng agama di Pondok Pesantren Jombang, bukan menjadi kasus pertama pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.

Sebelumnya, telah banyak kasus yang terjadi. Seperti kasus yang dilakukan guru agama di Makassar, seorang bhiksu di Batam, seorang pendeta di Sidoarjo, dan masih banyak lagi kasus yang terjadi selama ini.

Bilamana hal ini terus berlanjut, tentu akan berdampak pada citra lembaga pendidikan yang kental dengan basis keagamaannya yang mana akan mengurangi kesucian terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan itu sendiri.

Berikut Kronologi Dugaan Kasus Pelecehan Tersebut :

Kesaksian Korban 1 :

Bermula saat wawancara internal di tahun 2017, pelaku menggunakan modus tentang ilmu metafakta yang katanya tidak bisa dijelaskan dengan nalar dan menyuruh korban untuk melepaskan seluruh pakaiannya, korban yang menolak terus ditekan oleh pelaku. Pelaku juga mengatakan bahwa ilmu ini bertujuan untuk menetralkan korban.

Mei 2017, sekitar pukul 02.30 WIB dini hari, 10 hari setelah korban dicabuli oleh pelaku, pelaku menyuruh korban mendatangi suatu tempat melalui pesan. Korban yang awalnya menghindar lalu diancam bahwa korban akan menyesal seumur hidup bila tidak menuruti pelaku.

Korban 2 :

Pelaku dan korban awalnya berkontak dari sosial media facebook, pelaku lalu mengajak korban berpacaran. Tiga (3) bulan berselang, tepatnya pada Juli 2012, pukul 16.00 WIB, korban yang saat itu masih berumur 15 tahun (Kelas 9) dipaksa berhubungan seksual oleh pelaku yang juga sudah menikah.

Modus pelaku saat itu adalah karena pelaku ingin menurunkan ilmu kepada korban dengan cara berhubungan seksual. Sejak itu, setiap 2 minggu sekali pelaku kerap mengajak korban untuk berhubungan seksual.

Korban dan pelaku berpacaran selama hampir 5 tahun dan korban selalu dijanjikan akan diperistri. Saat korban ingin melepaskan diri dari pelaku, korban malah diculik, dipukuli, diancam, dan diperkosa. Pelaku mengancam akan menghancurkan keluarga korban apabila korban tak menuruti kemauan pelaku.

Upaya Pembungkaman

Korban 1 berupaya melaporkan pelaku kepada pimpinan tertinggi pondok pesantren dengan menuliskan surat. Dua pekan kemudian, korban didatangi oleh orang suruhan pelaku yang menyuruh korban untuk membuat surat permintaan maaf atas fitnah yang disebarkan.

Korban menolak karena merasa tak bersalah. Sepekan kemudian, korban menerima surat pemecatan dari pondok pesantren.

Korban melaporkan pelaku selama 3 kali dalam rentan tahun 2017-2019, namun baru pada laporan ketiga di tahun 2019 penyidikan dilakukan.

Korban 1 dan orang tuanya tinggal berpisah, karena kediaman orang tua korban kerap didatangi orang-orang suruhan pelaku untuk menarik gugatan korban dan menerima cara penyelesaian dari pelaku.

Akhir 2019, di media sosial ramai kasus ini dibicarakan karena ada salah satu akun yang mengaku menjadi korban pencabulan oleh pengurus sekaligus putra pemilik pesantren di Kecamatan Ploso, Jombang. Tiga hari kemudian, akun tersebut hilang.

9 Mei 2021 lalu, seorang saksi berinisial TAM tiba-tiba didatangi oleh 6 orang pria dari pondok pesantren. Sehari sebelumnya, TAM membuat status di akun facebooknya yang dianggap mencemarkan nama baik petinggi pesantren. Handphone TAM dirampas paksa dan kepala TAM dibenturkan ke tembok.

Saat TAM mencoba untuk melapor ke Polres Jombang akan kejadian tersebut, TAM diarahkan untuk melapor ke Kepolisian sektor Ploso karena tidak adanya bukti.

Padahal di sisi lainnya, 6 orang pria dari pondok pesantren tersebut melakukan laporan balik atas pencemaran nama baik oleh TAM pada 10 Mei 2021 dan langsung diterima oleh petugas. Orang tersebut juga menyangkal terdapat tindak kekerasan oleh pihaknya terhadap TAM. Setelah itupun, saksi kembali didatangi orang-orang yang menyuruh saksi mencabut laporan.

Perkembangan Kasus

2017: Women’s Crisis Center (WCC) menerima laporan pelecehan seksual dari perempuan di bawah umur oleh putra pemilik pesantrennya di tahun 2017.

2018: Saksi melaporkan MSA kepada Polres Jombang dengan tuduhan mencabuli, menyetubuhi, dan tindak kekerasan seksual terhadap 3 orang temannya. Modus tersangka adalah wawancara seleksi tenaga kesehatan untuk kliniknya dengan ritual “mandi kemben”.

21 Oktober 2019: Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan oleh Polres Jombang karena bukti yang tidak memadai.

29 Oktober 2019: Salah satu korban kembali melaporkan MSA ke Polres Jombang.

12 November 2019: Polres Jombang menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang menetapkan MSA sebagai tersangka.

8 Januari 2020: Ratusan aktivis Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual (AKSLKS) berunjuk rasa di depan gedung Polres Jombang dan menuntut agar tersangka segera ditahan serta proses penyidikan segera dituntaskan. Kasus inipun mulai mendapat perhatian publik dan semakin ramai dibicarakan.

14 Januari 2020: Tersangka MSA tak memenuhi panggilan penyidikan Polres Jombang. Kelompok yang mengaku pendukung pelaku menyatakan bahwa upaya hukum yang ditempuh oleh korban merupakan upaya kriminalisasi terhadap pesantren dan berkaitan dengan masalah internal pesantren.

15 Januari 2020: POLDA Jatim mengambil alih kasus ini. Usai gelar perkara, POLDA Jatim melarang tersangka bepergian ke luar negeri.

28 Januari 2020: Juru bicara pesantren dan juru bicara tersangka menggelar konferensi pers dan menyatakan alasan tersangka tak memenuhi panggilan adalah karena adanya cacat pada proses hukum yang merugikan MSA.

Namun, setelah konferensi pers juru bicara tersangka mendatangi Polda Jawa Timur untuk menyampaikan surat tersangka yang tak bisa memenuhi panggilan karena sedang merawat ayahnya yang sakit.

Februari 2020: Polda Jawa Timur 2x memanggil MSA, namun selalu tak dipenuhi. Akhirnya puluhan petugas dikerahkan untuk menjemput MSA di pesantren, namun upaya penjemputan gagal karena dihalangi oleh pendukung MSA.

15 Juli 2020: Massa AKSLKS berdemo di Polda Jawa Timur menuntut MSA untuk segera ditangkap. Polisi kemudian menjelaskan bahwa berkas kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan namun perlu adanya perbaikan.

8 Mei 2021: Seorang saksi kunci berinisial TAM mengunggah status di Facebook yang menyindir pimpinan pondok pesantren.

9 Mei 2021: Enam orang mendatangi TAM dikediamannya dan menganiaya TAM serta merampas handphonenya.

10 Mei 2021: Salah satu dari ke-6 orang yang melakukan kekerasan pada TAM menyangkal adanya tindakan aniaya dan melaporkan balik TAM atas pencemaran nama baik.

Berikut Pernyataan Sikap BEM Unair selengkapnya :

Melihat masih sengkarutnya permasalahan tersebut di atas, maka dengan ini Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga menyatakan sikap, yaitu:

1. Mengecam segala bentuk tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan, termasuk dalam hal ini kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Jombang.

2. Berkomitmen untuk membersamai korban beserta tim pendampingnya dalam mengawal proses penyelesaian kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Jombang.

3. Mendesak Polda Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk segera berkoordinasi menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan tersangka MSAT (Nomor LP/329/X/RES.1.24./2019/JATIM/RES.JOMBANG) agar kepastian hukum dan perlindungan terhadap korban atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan terpenuhi;

4. Mendesak Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) untuk mengembangkan program untuk memastikan lingkungan Pendidikan Pesantren aman dari kekerasan seksual;

5. Mendesak pemuka agama dan masyarakat di Provinsi Jawa Timur untuk mendorong penggunaan mekanisme hukum dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan dengan mempercayakan kasus tersebut diselesaikan oleh aparat penegak hukum;

6. Mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang di dalamnya menjamin hak-hak korban dan pendamping korban kekerasan seksual untuk mendapat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Berdasarkan poin-poin pernyataan sikap di atas, Kami mengajak seluruh elemen mahasiswa dan juga masyarakat untuk ikut bersolidaritas dalam mengawal berlangsungnya proses penyelesaian kasus tersebut di atas. Atas dukungan dan solidaritas kawan-kawan sekalian, kami ucapkan terima kasih. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES