Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Rakyat Sejahtera, Mission Imposible?

Rabu, 09 Juni 2021 - 09:27 | 32.99k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Fakta, apa yang disebut kondisi sejahtera atau tercukupi kebutuhan pangan, kesehatan, papan, dan keselamatan bagi masyarakat masihlah menjadi fatamorgana. Mereka dijanjikan hidup dalam kelayakan, namun yang ditemukan kondisi kehidupan yang menestapakan dan meniadakan keberdayaan.

Mereka dijanjikan oleh pemerintah mengenai pangan cukup atau atau cadangan pangan memadai, namun setelah masyarakat masuk pasar dan hendak beli kebutuhan pangan, uang yang dimiliki tidak mencukupi, atau tidak menemukan barang yang hendak dibeli. Mereka hanya mendapatkan janji manis, sementara dalam kenyatannya, mereka terhempas dalam keterjajahan dan ketidakberdayaan berlapis.

Mereka menjadi obyek yang dipimpong kesana-kemari oleh pemerintah maupun komunitas pemilik modal. Lewat corong kekuasaan (pemerintah daerah), mereka diberi kata-kata menghibur dan menyenangkan yang seolah segalanya tersedia dengan mudah dan murah, padahal mereka tidak lebih dari sekumpulan obyek yang diperdaya dan dijajah habis-habisan.

Pola seperti itulah yang dikenal dengan ketidak-adilan struktural yang bermodus mencekik rakyat. Masyarakat diperangkap masuk dalam orde kompetisi atau pertarungan yang sangat ketat yang di ujung kompetisi mampu melahirkan juara (pemenang)  dan seseorang atau kelompok yang terkalahkan. Pihak yang kalah secara umum sebagai seseorang atau komunitas yang secara fisik maupun psikologis masuk dalam ranah penderitaan (kesusahan), sementara mereka yang jadi pemenang merupakan golongan yang menikmati kebahagiaan, kesenangan, dan barangkali kepuasan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam lingkaran ketidak-adilan itu, mudah kita temukan manusia-manusia atau pemain (oknum pemerintah dan pemodal/perusahaan) yang bisa tertawa-tawa, bersuka cita, dan mengeskpresikan kegembiran lainnya, saat kemenangan berada di tangannya, sedangkan bagi mereka yang kalah atau gagal meraih jawara, berbagai bentuk kesulitan menyiksa dan bahkan merajam (memukul) dirinya.

Kata ”kekalahan” dalam pertarungan itu  benar-benar identik dengan ketidakberdayaan atau penderitaan, sementara kata ”kemenangan” diidentikkan  dengan kesuksesan, kehebatan, kecemerlangan menunjukkan strategi, atau kepiawaian menggunakan jurus yang dapat melumpuhkan dan mengalahkan orang lain..

Sementara kata ”mencekik dan menjajah” bermaknakan aktifitas yang membuat seseorang menjadi tidak berdaya, mengalami kesulitan bernafas, dan bahkan mata melotot seperti orang yang sedang sekarat. Orang  yang dicekik tentu saja berusaha melepaskan diri, melawan, atau membebaskan cekikan supaya kembali menemukan kebebasan  dan harkat hidupnya.

Seseorang yang mencekik tersebut tentu berkeinginan kuat untuk membuat orang yang tercekik semakin tidak berdaya dan kalau perlu sesegera mungkin menemui ajal. Semakin kuat cekikan yang dilakukannya, maka semakin melemah dan tidak berdayalah seseorang yang dicekiknya.

Ironisnya, sebagian masyarakat ini semakin tercekik hingga mengalami kesulitan bernafas. Jangankan sukses menuai kebahagiaan dan kesejahteraan, untuk memperoleh kebebasan atau melepaskan diri dari hegemoni (cekikan) saja  tidak gampang, pasalnya kekuatan yang mencekik tergolong besar, tidak gampang dikalahkan, dan terus menerus mencari dan memodifikasi strategi yang diitargetkan bisa membuat rakyat semakin tidak berdaya dan menderita berlapis-lapis.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itu menggambarkan, bahwa kekuatan elit ekonomi (tengkulak berdasi), yang seringkali dimediasi oleh tangan-tangan kekuasaan,  memanfaatkan kemapanan modalnya untuk menjadikan masyarakat sebagai obyek yang dikorbankan. Masyarakat kecil yang sudah menderita seperti petani dibuatnya sebagai obyek permainan untuk mengail keuntungan besar.

Sepak terjang koumnitas (seperti ”tengkulak berdasi”) itu dikritik oleh Deckay Mcoil (2001), bahwa ada kecenderungan kuat dalam diri golongan mapan untuk selalu mempertahankan dan memperbesar kemanapanannya, meski untuk kepentingan estabilitas dan aroganitasnya ini dilakukan dengan mengebiri dan mengkanibalisasi hak-hak masyarakat.

Komunitas berdasi itu sukses pula membuat pasar tidak memihak masyarakat, khususnya masyarakat akar rumput (the grassroot society). Mereka pintar menempatkan pasar sebagai obyek ”kriminalisasi” bisnisnya, khususnya saat keuntungan dijadikan obyek penasbihannya  

Kehilangan daya beli masyarakat akibat dicekik oleh kekuatan elit itu jelas membuat dapurnya kesulitan mengepul.  Bagaimana mungkin mereka ini bisa hidup sehat atau terjaga kesehatannya, kalau menyiapkan kebutuhan pangan saja sudah mengalami kesulitan berat? Bagaimana mungkin anak-anaknya bisa terbebas dari serangan gizi buruk atau malnutrisi, kalau kebutuhan pangan saja tidak aman dari gangguan tangan-tangan keji pelaku pasar?  Atau bagaimana mungkin hidupnya sejahtera lahir dan batin kalau di berbagai lini struktural, mereka terus dikorbankan?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Komunitas itu giat dan pintar meramu dan mengakselerasikan ”pertarungan politik” dan gesekan kekuasaan yang bermodus mencekik rakyat hingga ke ranah fundamentalnya.  Sisa-sisa kekuatan yang masih melekat dalam diri rakyat terus saja dicari, digali, dieksploitasi, dan dikomoditi supaya masyarakat hanya tinggal punya wajah-wajah kuyu, anak-anak lapar,  bertubuh kering (tidak segar),  dan rawan penyakit.

Tidak perlu kagetlah jika nantinya akan mudah kita dengar dan temukan ledakan anak-anak dan ibu ibu hamil meninggal massal akibat kekurangan gizi, atau anak-anak orang miskin yang menolak mengikuti program wajib belajar 12 tahun demi (lebih) memilih jadi pekerja kasar guna menjaga dan mensakralitaskan keberlanjutan hidup. Kondisi ini bisa terjadi  akibat kekuatan elit yang seharusnya menjadi ”pemerdeka” dan penyejahtera, serta penegak hak-hak  publik lebih memilih menjadi penjagal berdarah dingin yang ”mengkanibal:” hak-hak rakyat.

Mereka yang rajin atau gemar mengkanibal hak-hak rakyat itu sepantasnya diperlakukan sebagai pelaku pelanggaran hak secara serius, pasalnya apa yang mereka lakukan juga bermodus pemelaratan dan ”pembunuhan” secara sistematis (terencana) dan berdampak meluas di tengah masyarakat. Jika perilaku demikian masih dilanjutkan, maka hanya suatu mission imposible untuk menyejahterakan masyarakat. 

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang dan Penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES