Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Jangan Mengaburkan dan Menguburkan

Selasa, 08 Juni 2021 - 12:51 | 49.89k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis Buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kalangan terdidik maupun tidak sudah paham, bahwa Para pendiri republik ini telah menyepakati bahwa Pancasila merupakan ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai ideologi, tentunya, setiap elemen bangsa berkewajiban bukan hanya melindungi Pancasila dari perilaku manusia-manusia yang bermaksud mengaburkan dan “menguburkan”-nya (mengganti ideologi), tetapi juga berkewajiban mengamalkannya.

Mengamalkan Pancasila berarti menerapkan dan menegakkan norma-norma yang terkandung dalam setiap sila dalam Pancasila. Dalam setiap sila dalam Pancasila, terdapat doktrin sakral atau suci, yang mewajibkan setiap anggota masyarakat dan elemen bangsa ini untuk mengamalkannya.  Dalam realitas sejarah telah menunjunjukkan, bahwa ujian terhadap ideologi Pancasila  tidaklah ringan, karena ada saja pihak-pihak yang berkeinginan menggantikannya dengan ideologi lain.

Selain itu, dalam perjalanan ideologi Pancasila, tidak sedikit model perilaku manusia Indonesia, baik secara individual maupun kolektif, yang menunjukkan pola berfikir, bersikap, dan berperilaku yang berseberangan dan bertentangan dengan doktrin Pancasila, dan bahkan membahayakan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).  Akibatnya, ideologi Pancasila seperti menjadi sebuah ideologi yang gagal melaksanakan tugasnya guna membangun dan merajut setiap elemen bangsa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Para pembelajar tentu paham, bahwa Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dalam perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mengalami persepsi dan interpretasi sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Pancasila telah digunakan sebagai alat untuk memaksa rakyat setia kepada pemerintah yang berkuasa dengan menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan asas lain sekalipun tidak bertentangan dengan Pancasila. Nampak pemerintah Orde Baru berupaya menyeragamkan paham dan ideologi bermasyarakat dan bernegara dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistik. Oleh sebab itu, MPR melalui Sidang Istimewa tahun 1998 dengan Tap. No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Guruh Sukarno Putra (2005) dalam tulisannya berjudul, Sekali Pancasila, Tetap Pancasila”   menyebutkan, bahwa hingga kini, kita masih diliputi keprihatinan karena hampir seluruh sila Pancasila belum terwujud. Lihat saja, banyak warga mengalami kesulitan menjalankan ibadah menurut keyakinannya. Sila Kerakyatan atau demokrasi belum dihayati, terbukti banyak kekerasan dan kerusuhan. Dampak belum dihayatinya Pancasila, yaitu kebobrokan moral, berdampak pada manusia, alam, dan lingkungan. Alam murka akibat perilaku manusia tidak ramah lingkungan. Bencana alam kecil sampai besar terus terjadi. Sebagian orang religius menganggap ini adalah pertanda azab. Orang spiritual menyebut ini karma karena ada sebab-akibat, sedangkan orang yang berpancasila akan menilai, hal ini sebagai pertanda ketidak-adaban manusia yang merajalela.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

I Gusti Putu Artha  (2006) dalam tulisannya berjudul   “Mewaspadai Delegitimasi Pancasila”, juga mendeskripsikan, bahwa  perilaku elite politik dan pengelola bangsa ini pun tak sepenuhnya mendukung suburnya semangat kebangsaan itu. Pada praktik wacana, memang benar komitmen para elite untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Bukalah dokumen kampanye para kandidat presiden RI, para calon gubernur dan kepala daerah, komitmen menegakkan negara kebangsaan itu pasti terpatri rapi. Tengok pula komitmen dan sumpah jabatan para wakil rakyat kita, niscaya komitmen kebangsaan itu mereka ucapkan sebelum memangku jabatan.Namun, di wilayah praksis, kita menangkap sebuah paradoks. Pada satu sisi mereka mengakui negara Pancasila, pada sisi lain elite politik kita mengesahkan (membenarkan) perbedaan.

Idealnya, barangkali seperti disebut Siswono Yodo Husodo (2006) dalam tulisannya berjudul Pancasila dan Keberlanjutan NKRI, bahwa Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara karena kesamaan ras.

Pikiran ahli itu menununjukkan kesejatian konstruksi kebangsaan kita. Sebagian maknanya, Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang. Model inilah yang dalam realitas historis hingga kapanpun tidak bisa dan tidak boleh dikaburkan, apalagi dikuburkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES