Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Membumikan Kultur Kaizen Dan Ijtihad

Senin, 07 Juni 2021 - 13:40 | 39.15k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Sudah tak terhitung para pebisnis dan pejabat tinggi di negeri ini yang mempelajari Kaizen, Chaebol, atau sogoshosa. Ketiga “madzhab perkembangan” ini mensyaratkan satu hal penting, yaitu adanya upaya tanpa henti  untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan karya. Mereka tidak berhenti pada titik tertinggi mahakarya (masterpiece), tetapi terus berjuang di jalan proses, seakan-akan tidak ada dan tidak perlu adanya karya termaha itu.

Sejatinya spirit kaizen (bahasa Jepang artinya perbaikan berkelanjutan) sudah menjadi virus hebat di Asia. Konon ia bukan hanya cocok secara budaya dengan orang Jepang, melainkan seluruh Asia dan kawasan Timur. Di dalam spirit perbaikan berkelanjutan (sustainable improvement), kita dituntut adanya inovasi dan imajinasi (Suwarsono, 2006).

Kata penting dalam uraian itu  adalah “perbaikan berkelanjutan”. Kata ini terjemahan dari Kaizen. Ada aktifitas yang bernilai atau berlabel baik, unggul, dan menunjukkan prestasi. Tetapi aktifitas ini menjadi kurang bermakna jika sudah dinyatakan selesai atau meniadakan jalan ijtihad. Aktifitas ini akan semakin bermanfaat ketika ada tindak lanjut, ada upaya mengembangkan, atau diikuti dengan aktifitas lain yang mendukungnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Setiap bangsa yang mampu mengamalkan prinsip perbaikan berkelanjutan terbukti cukup ampuh menghadirkan perubahan-perubahan besar dalam kehidupannya. Beberapa negara yang berhasil menunjukkan presasi besar seperti Jepang dan Korea merupakan cermin dari bangsa yang penduduknya tidak mematikan prinsip “perbaikan berkelanjutan”.

Perbaikan berkelanjutan menunjukkan, bahwa sebenarnya sudah ada hasil yang baik dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang, masyarakat, dan bangsa. Kegiatan ini sudah memberikan manfaat bukan hanya kepada diri dan keluaarga, tetapi juga kepada masyarakat. Meski masyarakat telah merasakan manfaat dari karya atau produktifitasnya, namun seseorang yang berkarya ini merasa, bahwa apa yang diperbuanya masih kurang dan masih terus ingin berkarya lagi.

Tidak mudah mencari seseorang yang haus, dahaga, dan bersemangat tinggi untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Umumnya, begitu seseorang sudah berkarya atau ada hasil yang dicapainya, ia merasa puas dan kemudian berhenti, tidak ada upaya untuk meningkatkan dan mengkualitaskan karya-karyanya.

Perasaan dan sikap sudah cukup puas dengan apa yang sudah dicapainya merupakan bentuk sikap yang kurang mendidik atau tidak memberi tempat bagi kemungkinan dilakukannya perubahan-perubahan mendasar, padahal dalam dunia yang serba dinamis ini, tidak mungkin seseorang menutup dirinya dengan kepuasan atau perasaan sudah berada di titik nadir berkarya atau titik kulminasi kepuasan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam Islam pun, seseorang pun diajarkan untuk berkarya dan berkarya atau sibuk dalam kompetisi yang menjunjung tinggi prstasi. Seseorang tidak boleh cepat-cepat puas dengan apa yang diperbuatnya, tetapi wajib mengoreksi perbuatan yang telah dilakukannya demi perbaikan yang lebih sempurna. Ketika seseorang menemukan kesalahan atau kehilafan di awal berkarya, memimpin, dan berinovasinya, seseorang ini dilarang patah semangat, apalagi prustasi. Ia harus terus berimprovisasi atau berijtihad, atau menunjukkan kultur kaizen supaya apa yang diobsesikan bisa berhasil.

Kalau kreasi dan inovasi itu ada yang salah, Nabi pun teta memberi pujian “tuhan tetap memberikan pahala satu kepada orang yang salah dalam ber-ijtihad”. Pujian ini merupakan bentuk reward  atau penghargaan kepada seseorang yang hidupnya dikonsentrasikan atau mengabdi secara ikhlas pada karya.

Apapun kesalahan seseorang yang berkarya, tetaplah jauh lebih mulia dibandingkan seseorang yang hanya menjadi pasarit atau menghindar untuk berkarya karena takut terkena resiko  bersasalah. Resiko bersalah hanya bisa dipahami dan direfleksi oleh seseorang yang dalam hidupnya seringkali menghasilkan karya atau berusaha untuk maju dan berprestasi besar.

Penghargaan yang diberikan oleh Tuhan terhadap orang-orang yang terus menerus ber-ijtihad itu adalah bukti, bahwa kaizen  merupakan spirit menjaga bekerlanjutan dan kejayaan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Tanpa spirit kaizen ini, kita bukan hanya akan menjadi bangsa yang suka tergantung pada kekuatan bangsa lain, tetapi kita juga sulit menghadirkan banyak prestasi.  Bangsa yang lemah prestasi berarti cermin bangsa yang mudah direndahkan oleh bangsa lain.

“ Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah (nasib) suatu kaum, sehingga kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri”, demikian firman Allah SWT yang menunjukkan, bahwa siapa saja yang punya jiwa kaizen, pastilah akan menuai  kebaikan dan kemajuan. Prestasi yang diperoleh setiap anak bangsa, pastilah ditentukan oleh kekuatan jiwa kaizen-nya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES