Kopi TIMES

Menyoal Tes Wawasan Kebangsaan KPK, Tepatkah?

Minggu, 06 Juni 2021 - 15:27 | 69.52k
Haidar Ali M. (Pelajar NU Pamekasan sekaligus Mahasiswa FH UMM).
Haidar Ali M. (Pelajar NU Pamekasan sekaligus Mahasiswa FH UMM).

TIMESINDONESIA, MALANG – Kiranya bukanlah sebuah kesalahan untuk menyoroti kisruh soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK. Ada banyak kalangan yang mengkritik tes tersebut ada pula yang mendukungnya, meskipun nadanya agak bernuansa apologi.

Seperti diketahui bersama, bahwa TWK KPK ini diindikasi dibuat semata untuk mendepak beberapa pegawai KPK senior, sebagaimana ucapan ketua KPK, Firli bahuri bahwa memang ada beberapa pegawai KPK yang mempunyai raport kurang bagus ataupun kurang baik. Hal itulah yang menuai kisruh sehingga berbagai bentuk penolakan dan semacamnya bermunculan atas ulah pimpinan KPK tersebut.

Kendati demikian, TWK yang dianggap cacat substansi tetap di laksanakan dan sejauh ini berhasil mengeliminasi beberapa orang pegawai KPK, semisal Novel Baswedan. Anehnya pula pelantikan pegawai KPK yang dianggap lolos tes wawasan kebangsaan tersebut tetap di lakukan pada tanggal 1 Juni bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, mungkin saja agar terkesan pancasilais. 

Bagi saya, kisruh TWK KPK itu permalasahannya bukan pada pengadaan TWK itu sendiri, tetapi pada substansi TWK-nya, termasuk tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam TWK tersebut.

Pada dasarnya, setiap lembaga dan organisasi baik itu lembaga dan organisasi negara ataupun swasta boleh-boleh saja mengadakan TWK kepada anggotanya, barangkali itu memang prasyarat formil yang harus dilaksanakan di lembaga ataupun organisasi terkait ataupun memang ingin mengukur sejauh mana kapasitas bahkan kesetiaan anggotanya, itu bukan masalah besar, dan sah-sah saja.

Yang menjadi masalah adalah substansinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tentu harus rasional dan menyangkut bidang terkait semisal "apa ide dan gagasan anda terkait pemberantasan korupsi di Indonesia?", "bagaimana anda menyikapi Revisi UU KPK?", "Seberapa jauh anda menganalisis permasalahan korupsi dan pemberantasannya di Indonesia?, "Pernahkah anda melakukan riset tentang penyalahgunaan wewenang yang di lakukan oknum pejabat mulai dari tingkat pusat sampai daerah?", beserta pertanyaan-pertanyaan lain yang dirasa perlu dan penting untuk ditanyakan. Boleh juga ditanya tentang wawasan Nusantara baik dari perspektif historis, dan seterusnya.

Lah TWK untuk calon pegawai KPK kali ini beda, pertanyaannya aneh-aneh. Misal, "Pernah pacaran atau nggak?", "Pas lagi pacaran ngapain aja?", "Ikut organisasi apa?", "Kalo subuh pake qunut nggak?", "Pilih Alquran atau Pancasila?" Dan seterusnya, gampangnya begitu, mulai dari pertanyaan yang lucu dan irasional sampai pada pertanyaan yang ekstrem.

Barangkali, para pembuat soal TWK tersebut cukup kompeten untuk membuat yang bagus dan tepat sasaran, ya kali KPK punya pembuat soal dari anak SD. 

Pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan dalam TWK tersebut sangatlah lucu, irasional, dan ekstrem. Bagaimana bisa TWK untuk calon pegawai KPK pertanyaannya malah menelusuri hal-hal privat calon. Bukankah hidup di negara yang katanya berpancasila dan berkonstitusi ini bukan hanya hal dan hak yang bersifat publik yang dilindungi tetapi pada ranah privat pun demikian, harus dihargai dan dilindungi. Sebab setiap orang punya hak privasi masing masing (UUD 1945 pasal 28 G).

Lagipula, apa hubungannya pacaran dengan pemberantasan korupsi? Apa hubungannya hal-hal yang dilakukan semasa berpacaran dengan pemberantasan korupsi? Apa pimpinan negara dan pimpinan KPK khawatir pegawainya ngambil uang negara untuk mentraktir pacarnya? Ah yang serius aja. 

Pun juga pertanyaan yang ekstrem adalah memilih salah satu antara Alquran dan Pancasila, ini sangat berbahaya sekaligus menjebak. Berbahaya karena Pancasila sudah dinyatakan final sebagai dasar negara (Grundnorm) sekaligus pemuka agama telah sepakat bahwa jangan membenturkan Pancasila dengan agama atau kitab suci--terlebih Islam, karena bagi umat Islam terkhusus kalangan Nahdliyyin, Pancasila tidak sama sekali bertentangan dengan Islam. Pertanyaan tersebut berbahaya dan sangat berpotensi akan memancing amarah umat, juga menggagalkan upaya pemerintah sendiri dan stakeholder lainnya yang tengah berupaya keras mensosialisasikan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama seiring dengan terus menjalarnya virus radikalisme. Bayangkan jika calon pegawai memilih Alquran ketimbang Pancasila, bisa dipastikan akan langsung di justifikasi sebagai bagian dari kelompok Taliban. Jika memilih Pancasila dan mengenyampingkan Alquran, bisa dipastikan akan langsung di justifikasi sebagai penghianat Islam. Ini kan berbahaya sekaligus memalukan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Bolehlah berdalil 'demi Bangsa dan Negara', 'atas nama Pancasila', dan sejenisnya. Asal rasional, jangan mempertontonkan kebodohan dan keserakahan pada publik. Jangan jadikan Pancasila sebagai alasan dan dasar untuk melegitimasi kekuasaan dan kekuatan politik tertentu sehingga paling merasa pancasilais. Pancasila ini dibuat untuk kebersamaan, bukan untuk golongan tertentu (cek pidato Sukarno pada 1 Juni). 

Sudah menjadi bahan wajar jika kita hidup dimana perbedaan sangat jelas di depan kelopak mata, mengapa harus di seragamkan? Bukankah upaya penyeragaman ini yang akan menghancurkan kebhinekaan? Jika tidak ingin gaduh maka jangan mendikotomi Pancasila agar Pancasila tidak terkonotasi pada satu golongan tertentu. Ingatlah, bangsa ini mempunyai sejarah kelam tentang pendiskreditan makna Pancasila, kala itu Pancasila dijadikan legitimasi kekuasaan politik tertentu yang pada akhirnya jika bukan kelompoknya dianggap kurang pancasilais atau bahkan tak pancasilais sama sekali, kala itu Pancasila juga dijadikan bahan legitimasi kekuasaan yang korup dan kapitalistik.
Akankah hal itu akan kembali terjadi, eh jangan salah, hal itu sudah terjadi. Akankah hal ini akan terus berlanjut? Wallahu a'lam bisshowab.

Sebaiknya penyelenggara memperbaiki terlebih dahulu teknisi tes wawasan kebangsaan tersebut dan membatalkan secara keseluruhan hasil dari tes wawasan kebangsaan yang memang harus diakui cacat substansi. Dan tugas yang paling berat bagi pimpinan KPK dan koleganya hari ini adalah mengembalikan kepercayaan publik yang sudah terlanjur tidak percaya kembali bahwa KPK adalah lembaga negara yang independen. Sekian.

***

*)Oleh: Haidar Ali M. (Pelajar NU Pamekasan sekaligus Mahasiswa FH UMM)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES