Kopi TIMES

Membentuk Karakter Bangsa yang Sesuai dengan Falsafah Pancasila

Sabtu, 05 Juni 2021 - 18:03 | 61.83k
Nasrul Ilah atau Cak Nas, Pemerhati Kebudayaan Jombang. (Foto: Rohmadi/TIMES Indonesia)
Nasrul Ilah atau Cak Nas, Pemerhati Kebudayaan Jombang. (Foto: Rohmadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Saat ini kita terperangkap pada situasi interregnum, yaitu nilai-nilai luhur budaya bangsa yang mestinya menjadi acuan bersama, semakin ditinggalkan oleh sebagaian besar msyarakat. Sementara iming-iming nilai baru yang serba wah, tidak kunjung ditemukan wujudnya. Akibatnya kita menjadi masyarakat yang serba tanggung. Mulut kita masih sering menyanjung buday timur yang ramah, namun  prilaku kita jauh dari keramahan itu sendiri. Perangkat budaya modern telah kita usung  ke rumah, namun  kecakapan hidup kita masih  jauh dari memadai.

Kemiskinan, ketertindasan, keterbelakangan, adalah realita persoalan yang dihadapi sebagaian masyarakat Indonesia dewasa ini. Keterbelakangan yang telah berjalan dalam rentang waktu sedemikian panjang, memastikan bahwa fenomena tersebut tidak cukup dianggap sebagai realitas keterbatasan lapangan kerja, minimnya pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, dan kurangnya kesehatan masyarakat.

Melainkan sudah menjadi realitas system, struktur, dan tata nilai kemasyarakat atau suatu realitas budaya.Tata nilai, system, dan struktur social ekonomi serta perilaku dan kecenderungan actual yang telah terbiasa dengan kekeliruan ini juga bukan saja menyebabkan masyarakat miskin dan terbelakang untuk tetap miskin dan terbelakang, bahkan keadaan ini telah membuat keluarga masyarakat tersebut miskin dan terbelakang terhadap arti kemiskinan dan keterbelakangan itu sendiri.

Kemiskinan dan keterbelakangan rakyat Indonesia bukan disebabkan sejak semula tidak mempunyai factor-faktor cultural yang dinamis. Mereka miskin dan terbelakang karena kesempatan-kesempatan sudah dihancurkan dari mereka.

Proses penghancuran itu telah berlanghsung sejak zaman dahulu hingga saat ini. Secara spesifik kemiskinan dan keterbelakangan yang dihadapi oleh berbagai rakyat Indonesia disebabkan oleh proses eksplorasi, proses monopoli, proses kolusi, proses korupsi yang sudah berjalan dari waktu ke waktu, decade ke decade, bahkan abad ke abad,  Puncaknya adalah dengan adanya system ekonomi kapitalis modern, yang dalam pembangunan ekonominya mengacu pada pertumbuhan  ekonomi tinggi, bukan pada pemerataan ekonomi atau developmentalisme.

Orde Baru

Kenyataan di atas bertaut dengan  paradigma yang dianut. Lahirmya Orde Baru mengoreksi paradigma yang melandasi kebijakan  Orde Lama. Dengan  pemikiran baru, Orde Baru kayaknya merupakan harapan bagi rakyat kala itu. Citra subyektif akan tata nilai yang diyakini akan membawa Indonesia pada tingkatan yang lebih kuat secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Masalah Pertahanan dan Keamanan (Hankam) menjadi pilihan utama pada Pelita I Orde Baru. Tujuannya agar tercapai stabilitas nasional. Stabilisatornya adalah ABRI. Semua sector dimasuki ABRI. Dengan stabilnya Hankam, maka Pembangunan  Jangka Panjang tanpa khawatir ada gangguan.

Karena sudah stabil, maka Pelita II pilihan jatuh pada peletakan Dasar Pembangunan Ekonomi. Orientasi dan tolok ukurnya sangat jelas, yaitu Pertumbuhan Ekonomi. Akibatnya dengan  fasilitas pemerintah, Sektor Formal tumbuh sangat pesat.

Lahirnya Pengusaha-pengusaha Nasional berkelas, muncul konglomerat-konglomerat. Tetapi hal ini melahirkan Kesenjangan  Sosial. Tidak ada pemerataan ekonomi dan kesejahteraan. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Industri padat modal mendominasi, akhirnya pengangguran bertlipat ganda, dan lingkungan  rusak karena pabrik-pabrik.

Pelita III pemerintah menyadari kekeliruannya. Akhirnya pemerintah lebih focus pada meningkatkan kesejahteraan social dan pemerataan kesejahteraan. Pemerintah terlalu pro aktif. Masyarakat hanya menjadi obyek. Pemerintah berperan sebagai penyedia (profider). Akhirnya masyarakat pasif. Pendekatan proyek ini membuat masyarakat tak kunjung sejahtera, karena hanya dipakai sebagai kredit point.

Pada dua Pelita berikutnya pemerintah menconba untuk  menjadi pemberdaya, namun mental stakeholders yang sudah terlanjur rusak; tetap menjadikan masyarakat sebagai obyek. Pe4rilsku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masyarakat sendiri menjadi liar, karena sudah terlalu lama miskin , terbelakang, dan senantiasan menjadi obyek dalam setiap ruang dan waktu.

Reformasi

Munculnya krisis ekonomi dan lahirnya Reformasi, sangat terbuka kesempatan bagi masyarakat, baik sebagai individu, kelompok, maupun komunitas.. Namun  yang lahir adalah fenomena unik, yaitu RAKUS. Perilaku KKN ternyata tidak lenyap, bahkan secara kreatif justru menemukan bentuk-bentuk baru yang beragam. Masyarakat menjadi tidak sabar dalam meraup kesempatan. Mereka mewnjadi rakus dengan  penjarahan dan perilaku sejenisnya.

Dengan terbukanya kesempatan, maka kemajuan dunia seakan secara cepat merembet ke Indonesia. Namun karena produktivitasnya masih rendah, maka sikap konsumtioflah yang berkembang.

Pancasila

Dalam kondisi seperti itu, bagaimana cara mewmbangun mental rakyat, termasuk generasi mudanya. Sejak Reformasi digulirkan,PANCASILA yang merupakan salah satu dari Empat Pilar Bangsa, seakan dinafikan. Pembelajaran di sekolah tidak lagi spesifik. Kalau dulu anak SD saja hafal 40 butir-butir Pancasila. dan lafal Pancasila dihafal di luar kepala hampir semua orang, saat ini tidak lagi.

Tapi perlu disadari, bahwa itu semua beralasan logis. Dengan  upaya verbal seperti masa Orde Baru, ternyata tidak banyak menghasilkan. Semua hafal lafal Pancasila, siswa-siwa hafal butir-butir Pancasila; namun  prilaku kebanyakan orang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai yang dikandung Pancasila.

Format Baru

Saat ini, harus dicari pola yang tepat ntuk mentransformasikan nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan kekayaan nilai budaya  bangsa Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua bangsa mempunyai seperti itu. Pada akhir perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, diperkirakan semua ahli dari luar, bahwa Indonesia yang terdiri dari bersuku-suku, menjadi salah satu Negara yang akan terpecah belah sebagaimana  Uni Sovyet maupun Yugoslavia. Namun kenyataannya, NKRI tetap utuh. Semua itu disebabkan kita punya sebuah ideology yang menyambung benang merah seluruh nsuku bangsa., yaitu Pancasila. Ketiga pilar yang lain yaitu: Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI ikut mendukungnya.

Kalaupun Timor Timur kemudian lepas mernjadi Timor Leste, semata-mata  karena kelahirannya dulu sangat premateur, dan Negara-negara barat ramai-ramai membidani kelahiran Timor Leste. Sementara NAD bisa terkondisikan dengan bijaksana. Saat ini kita juga  campur tangan asing belum hilang meskipun terselubung.

Sebagaimana dengan Bendera Merah Putih yang diambil dari Panji-panji Gula Kelapa pada masa Majapahit, Pancasila pun diambil dari nilai-nilai yang sama yang tertera dalam Kitab Sutasoma pada masa Majapahit juga.

Supaya tidak mengulangi kesalahan sejarah, maka harus dicari format baru yang sangkil (efektif) dan mangkus (efisien). Transformasi sumberdaya Pemuda harus  tidak menggurui, harus menarik, dan harus berkelanjutan.

Upaya untuk memperkuat masyarakat sebaiknya ditempuh dengan berbagai bentuk Upaya Praksis, yang diletakkan dalam kerangka Transformasi Sumberdaya Pemuda dan ditekankan pada emansipasi, partisipasi, dan kedaulatan rakyat.

Amaliah Praksis adalah sebuah konsep bagi mereka yang sudah memilih untuk tidak berdiam diri terhadap segala ketimpangan realitas di sekelilingnya. Upaya Praksis bukanlah seperti mereka yang memiliki kecenderungan apriori: suntuk dalam refleksi dan menikmatinya, atau sekedar merasa cukup dengan mensosialisasikan secara verbal  nilai-nilai yang seharusnya memimpin realitas, atau yang menolak keduanya dan memilih untuk berbuat (melalui aksi) semata-mata berbuat. Ketiga pilihan itu jika dilakukan sendiri-sendiri tidaklah cukup, atau melakukan ketiga-tiganya secara karitatif (lepas-lepas)  atau sekedar dalam satuan waktu, juga tidaklah utuh.

Amaliah Praksis adalah resultante atau buah dialektika antara Perencanaan, Aksi, dan Refleksi. Setiap aksi akan kurang bermakna jika tidak diletakkan dalam konteks makro (horisontal) dan tidak ditransendenkan. Sebaliknya setiap mutiara yang diperoleh dari proses refleksi akan tidak bernyawa jika tidak diaktualisasikan ke dalam kehidupan nyata. Maka di antara keduanya diperlukan perencanaan yang tepat guna.

Transformasi Sumberdaya Pemuda merupakan suatu metode untuk mengembangkan Potensi Kemandirian Pemuda yang dilakukan dengan cara Pendampingan dari Dalam (Assistensi from Within).

Membentuk Karakter Generasi Muda

Melihat kondisi tersebut, maka penguatan Generasi Muda  harus menjadi prioritas, termasuk generasi mudanya. Dengan menjadi kuatlah, maka masyarakat dengan sendirinya akan menemukan peran dan akan menempati posisi sebagai subyek dalam kehidupannya, setelah dari waktu ke waktu mereka senantiasa menjadi obyek  hampir dalam semua ruang kehidupan.

Dalam posisi sebagai subyeklah masyarakat akan mampu menemukan substansi keberadaannya, akan menjadi selaras dengan perjalanan sejarah hidupnya, dan akan memiliki nilai tawar yang tinggi, setara dengan stakeholders lainnya dalam berbagai interaksi dan sinergitas.

Hubungan struktural yang hendak diciptakan adalah hubungan yang egalitarian (anti dominasi), kesetaraan (anti hegemoni), dan kebebasan (anti penindasan).

Salah satu cara efektif untuk penguatan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, termasuk pendidikan; dalam wujud individu, kelompok, maupun kelembagaan; adalah dengan mengembangkan inner-potensi mereka. Kalau tidak dalam kondisi darurat, jangan pernah memberi mereka ikan, cukup beri pancing, dan paling bijaksana adalah memberi mereka cara membuat pancing; agar mereka bertanggung jawab  dalam mengukir sejarah mereka sendiri dengan  landasan falsafah Pancasila.

Bagaimana bentuknya, kita semua wajib mencari dan terus mencari. Generasi muda tidak boleh terperangkap dan merasa puas dari diskusi ke diskusi. Harus ada tindak lanjut yang dirancang bersama secara sinergis.

Pancasila sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum menjiwai niat, rencana, langkah, dan  refleksi yang kita lakukan.

Nilai-nilai yang dikandung Pancasila saat ini maupun yang tertera dalam Kitab Sutasoma bukanlah sebuah karangan, namun merupakan cerminan kehidupan bangsa waktu itu, bahkan sebelumnya. Dan kita bertugas untuk selalu menerjemahkannya sesuai dengan perkembangan zaman.

Apapun yang kita pikirkan, kita rencanakan, kita kerjakan haruslah berakar pada Pancasila dalam kesatuan dengan pilar bangsa lainnya. (*)

*) Penulis: Nasrul Ilah atau Cak Nas, Pemerhati Kebudayaan Jombang

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES