Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Surat Kesatu: untuk Perempuan Indonesia

Jumat, 04 Juni 2021 - 09:35 | 47.19k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis Buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di negeri ini udah terbukti, tidak  sedikit perempuan yang mampu membawa nama harum bangsa. Mereka menunjukkan kreasi dan inovasinya hingga ke masyarakat internasional dengan mengibarkan nama negaranya.

Meski mereka itu sudah berbuat banyak dan akan terus memberi yang terbaik untuk lembaganya, tetapi setidaknya mereka harus terus dimotivasi dan diberikan banyak jalan supaya semakin gencar membuka banyak “wilayah” kegiatan yang berurusan dengan kepentingan kemanusiaan dan keadilan.

Mereka itu memang menjadi komunitas atau sumberdaya di berbagai  unit kerja atau ranah aktifitas spesifiknya, tetapi mereka juga hidup dan menjalani kehidupan di tengah masyarakat dan dalam kehidupan bernegara, sehinga mau tidak mau, mereka juga harus dituntut atau menuntut dirinya untuk berperan dalam skala makro kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tugas besar bangsa Indonesia ini diantaranya dapat direalisasikan oleh komunitas perempuan. Mereka ini harus dibentuk secara berkelanjutan oleh lembaga ini supaya menjadi “manusia-manusia” yang kapabel dalam perjuangan, khususnya dalam membela hak-hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi.

Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang (PASAL 4 Universal Declaration of Human Rihgts). Kata “tidak seorang pun” dalam Deklarasi HAM ini menunjukkan pengakuan kesetaraan atau tiadanya perbedaan berdasatkan gender. Baik laki maupun perempuan punya kesderajatan kedudukan dan peran. Masing-masing terlarang memperbudak atau menyerahkan diri untuk diperbudak oleh lainnya.

Hal itu menunjukkan, bahwa setiap perempuan,  punya peran yang sama dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk memperjuangkan sesamanya dari segala perlakuan individual maupun kelompok yang menempatkan dirinya sebagai budak. Bukan hanya laki-laki yang bisa jadi pejuang pembebas atau pemerdeka masyarakat dari perbudakan, tetapi perempuan pun berkewajiban mendaulatkan dirinya sebagai pejuang di garis depan dalam menegakkan harkat kemanusian  dan keadilan.

Fakta yang harus dibaca secara berkelanjutan oleh perempuan-perempuan negeri ini, bahwa perempuan merupakan kekuatan strategis yang diandalkan untuk menjadi lokomotif pembaharuan pemahaman, sikap, dan perilaku beberapa segmen bangsa yang bercorak diskriminatif, tidak adil, dan dehumanistik, termasuk ragam perilaku, budaya, dan struktur yang membenarkan berbagai bentuk perbudakan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mereka itu juga harus membaca dengan cermat, bahwa “wilayah juang” perempuan di bidang gender pun atau strata sosal pun berelasi dengan masalah ketidakberdayaan atau perlakuan yang tidak adil dan manusiawi, yang dewasa ini sering memperoleh tempat dalam realitas system politik, budaya, ekonomi, pendidikan, agama, dan keluarga, yang mudah berdalih atas  nama cinta, pekerjaan, kemiskinan, kelaparan, dan kemelaratan, atau atas nama pembebasan dari ketiadaan atau kesulitan mendapatkan pekerjaaan yang layak.

Salah satu penyakit dehumanisasi yang tentu wajib digarap dan  dikampanyekan sebagai miusuh public (public enemy)  adalah kekerasan yang berlangsung dan berjaya di lingkungan keluarga (domestic violence).

Kasus-kasus  yang bentuk atau polanya menempatkan keluarga sebagai institusi eksklusif dan simbol pembenaran perbudakan terhadap makhluk berjenis perempuan ini wajib dijadikan tema utama sebagai obor perjuangan memenangkan (memerdekakan) berbajukan keadilan dan egalitarianisme dengan subyek utama.

Perempuan-perempuan yang terdidik di suatu Lembaga misalnya berkewajiban menunjukkan dirinya, bahwa dirinya dibentuk atau membentuk anak bangsa di kampus ini, bukan sebatas asal bisa mendapatkan gelar, tetapi bagaimana menghadirkan perempuan hebat, tangguh, atau pejuang yang berorientasi memajukan Indonesia.

 Perempuan itu merupakan kekayaan bangsa ini. Apa yang diperbuatnya harus dilihat sebagai kontribusi riil terhadap kebutuhan pembangunan bangsa, baik sekarang maupun masa mendatang.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Perempuan itu merupakan “ibu masyarakat dan negara”, yang punya tanggungjawab berat dan mulia untuk memilari dan mencerahkannya. Kalau konstruksi ini tidak diperkuat dan dikobarkan sejak dini, maka  dikhawatirkan mereka nantinya hanya melanjutkan episode atau jadi subordinasi mutlak masyarakat budak (slave of society), atau menjadi generasi intelek (produk perguruan tiggi), namun tidak serius dalam upaya meninggikan derajat atau marwah sesame perempuannya.

Selama ini, realitas yang bertahan, adalah ketika perempuan menjabat identitas sebagai isteri misalnya, mereka tidak cukup punya nyali untuk memperjuangkan tirani patriakhi yang menghegemoninya, sebaliknya menyerah saja diperbudak atau dijadikan obyek eksploitasi atas nama kepentingan ekonomi keluarga, keberlanjutan keluarga, dan “rahasia dapur”, padahal realitas ini mencerminkan suatu keterjajahan atau ketertindasan yang diabsahkannya..

Sachiko Murata (1996) mengajak perempuan supaya jadi pejuang egalitarianisme dengan mengkampanyekan “relasi adil antara suami-siteri”. Ia menyebut, bahwa hubungan Adam terhadap Hawa adalah sikap yang melindungi karena Hawa berasal dari Adam dan merupakan bagian dari Adam. Sementara kerinduan Hawa terhadap Adam disebabkan kesadaran Hawa bahwa Adam adalah tempat asalnya. Tidak ada dominasi atau resevitas dalam hubungan gender. Keduanya komplementer.

Egalitarianisme idealnya dapat dipahami sebagai prinsip fitri dan fundamental dalam kehidupan berkeluarga, karena melalui kesederajatan ini masing-masing pihak dalam keluarga bukan hanya dituntut untuk mewujudkan atau membumikan kesadaran menerima kelebihan dan mengakui kekurangan, tetapi juga berlomba untuk “memproduk” sikap menyayangi, melindungi, dan mencegah diri dari keniscayaan menggampangkan aksi “tangan-tangan kotor” (dirty hands). ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis Buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES