Kopi TIMES

Bima, Nama Samaran Bung Karno

Rabu, 02 Juni 2021 - 10:17 | 109.71k
Roso Daras. (FOTO: Dok Pribadi for TIMES Indonesia)
Roso Daras. (FOTO: Dok Pribadi for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Sejak masih belia, usia 15-an tahun, Sukarno sudah digembleng dalam kawah candradimukanya nasionalisme. Dalam usia yang masih “ijo”, Sukarno sudah dimasak di dapurnya nasionalisme. 

Ya, H.O.S. Cokroaminoto menempa Sukarno dengan wawasan nasionalisme, wawasan cinta tanah air. Cokro pula yang membukakan matanya ihwal kemelaratan rakyat. Cokro pula yang membuka hati dan otaknya untuk bisa melihat secara jernih kehidupan bangsa yang sudah dijajah Belanda ratusan tahun.

Benih-benih nasionalisme yang disemai Cokroaminoto, tumbuh menjadi sebuah jiwa memberontak pada diri Sukarno. Bibit-bibit nasionalisme, telah memunculkan maha kehendak di dada Sukarno untuk memerdekakan bangsanya. Spirit nasionalisme, menjiwai langkah-langkah Sukarno di hari-hari selanjutnya.

Ini terbukti dengan langkah Sukarno, yang –lagi-lagi harus ditegaskan di sini– dalam usia sekitar 15 tahun sudah terlibat aktif dalam organisasi kepemudaan bernama Tri Koro Darmo yang berarti Tiga Tujuan Mulia, yaitu Sakti, Budi, dan Bakti. Organisasi ini yang kemudian menjadi Jong Java pada tahun 1918. Sukarno muda tercatat pernah menjadi Sekretaris Jong Java, dan tak kala kemudian menjadi Ketua.

Tidak hanya aktif berorganisasi, Bung Karno juga mulai menuangkan pikiran-pikirannya yang revolusioner dalam bentuk tulisan. Selanjutnya, ia mengirimkan tulisan-tulisan itu ke redaksi majalah Oetoesan Hindia yang tak lain adalah milik Cokroaminoto sendiri Majalah itu diterbitkan Cokro sebagai alat propaganda Partai Sarekat Islam yang dipimpinnya.

Nah, dalam semua tulisannya, Sukarno menggunakan nama samaran Bima. Nama Bima diambil dari tokoh pewayangan ephos Mahabharata. Bima adalah putra kedua Pandu Dewanata. Dalam dunia wayang, Bima atau Wrekodara adalah penegak Pandawa. Kakaknya, Yudistira, sedangkan tiga adiknya adalah Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bima adalah sosok kesatria pemberani, prajurit besar sekaligus seorang pahlawan.

Dalam biografinya, Bung KarnO menyebutkan, tak kurang dari 500 artikel yang ia tulis dan diterbitkan di majalah Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Tulisan-tulisan Bima cukup menggemparkan kalangan rakyat pro kemerdekaan. Tulisan-tulisan Bima menjadi perbincangan di seluruh pelosok negeri, utamanya Jawa, dan lebih spesifik, Jawa Timur. Itu karena Bima dalam setiap tulisannya, mengangkat realita kehidupan rakyat yang terjajah di satu sisi, dan kerakusan pemerintah Hindia Belanda di sisi lain dalam menguras sumber daya alam, tanpa sedikit pun menyisakan bagi kesejahteraan rakyat, pewaris negeri yang sah.

Ayah-ibunya, Raden Sukemi dan Idayu, pun turut memperbincangkan tulisan-tulisan Bima. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak mengira, bahwa Bima sang penulis, tak lain adalah putra kesayangan yang mereka idam-idamkan menjadi pemimpin kelak.

Bung Karno sendiri sadar, muncul pada usia dini dengan pemikiran-pemikiran radikal, hanya akan memupus kesempatannya menimba ilmu lebih lanjut. Sebab, pemerintahan penjajah Hindia Belanda tidak akan segan-segan mengerangkeng bahkan membunuh inlander siapa pun yang menebarkan benih-benih kebencian terhadap pemerintahan kolonial. 

Sukarno Kecil “Mabok Bima”

Penulis biografi pertama Bung Karno yang terbit tahun 1933, Im Yang Tjoe, dalam bukunya “Soekarno Sebagi Manusia”, benar-benar berusaha keras merekonstruksi masa kecil Bung Karno. Meski tidak menyebut tonggak-tonggak waktu, tanggal, bulan, tahun, tetapi bagi pembaca, kiranya tidak terlalu menyulitkan.

Seperti misalnya, ketika Im Yang Tjoe menulis ihwal kakeknya, Raden Hardjodikromo yang menyekolahkan Sukarno saat usia 6 tahun, spontan kita bisa mahfum, bahwa peristiwa itu terjadi tahun 1907, mengingat Bung Karno lahir tahun 1901. Adalah sekolah desa di Tulungagung, tempat Sukarno kecil untuk pertama kali “memakan-bangku-sekolah”.

Im Yang Tjoe melukiskan hari-hari pertama sebagai murid, Sukarno adalah murid yang bodoh lagi bengal. Apa soal? Soal sebenarnya, menurut hemat penulis, bukan karena otak Sukarno tidak encer. Lebih karena Sukarno lagi “mabok-bima”…. Ya, hari-hari bersama Wagiman, selalu diisi kisah-kisah heroik tokoh Bima dalam epos Mahabharata.

Siapa Wagiman? Wagiman adalah seorang perangkat desa yang miskin harta tetapi kaya hati. Ia menjadi sahabat Sukarno kecil. Pulang sekolah, Sukarno akan mencari Wagiman. Kalau tidak dijumpainya di rumah, Sukarno akan menyusulnya ke sawah. Jika keduanya sudah bertemu, obrolan mereka umumnya wayang. Dari sekian banyak tokoh wayang, Sukarno paling tertarik dengan tokoh Bima, sang penegak Pandawa.

Meski begitu, sesekali, Sukarno melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang “terlalu-tua” untuk bocah seusianya. Misalnya, pertanyaan, “Mengapa engkau begitu miskin?” Dengan penuturan versi Wagiman, Sukarno kemudian bisa merekonsruksinya menjadi sebuah pelajaran berharga tentang betapa penjajahan tak lebih dari pemelaratan rakyat.

Tentu saja, topik-topik filosofi wayang, ilmu politik, ilmu tata-negara, tidak didapatnya di bangku sekolah desa tempat ia bersekolah. Bukan karena cabang-cabang ilmu tidak ada, melainkan, materi itu memang bukan materi pelajaran bagi siswa sekolah dasar tingkat dewa. Di negeri jajahan pula. Terhadap murid-murid inlander pula. Bisa jadi, ini yang membuat Sukarno menjadi murid yang malas untuk menyimak pelajaran di sekolah. Ia lebih senang menggambar wayang, sambil imajinasinya mengembara kemana-mana.

Mungkin saja, ia sedang berimajinasi menjadi seorang Bima yang kemudian dengan gagah-berani menghapus keangkara-murkaan di atas bumi. Mungkin saja ia sedang membayangkan menjelma menjadi Bima, kemudian memakmurkan orang-orang miskin di negaranya. Bisa jadi, ia sedang berkhayal menjadi seorang Bima menjadi panglima bagi tegaknya kebenaran dan keadilan di jagat-raya. Ah, entahlah.

Yang pasti, ketika guru menyuruh murid-murid menirukan gerakan menulis huruf demi huruf, Sukarno malah menggambar profil wayang Bima yang gagah, dengan gelung sinupiturang, lengkap dengan kuku pancanakanya. Ya, Sukarno bukannya memperhatikan pelajaran guru, melainkan menggambar wayang Bima!

*) Penulis :  Roso Daras, Jurnalis, Penulis Buku Total Bung Karno, tinggal di Jakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES