Kopi TIMES

Pancasila sebagai ‘Civil Religion’

Selasa, 01 Juni 2021 - 13:20 | 584.04k
Nauval Witartono, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Banyuwangi Komisariat Airlangga 2020-2021. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Nauval Witartono, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Banyuwangi Komisariat Airlangga 2020-2021. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGIAPAKAH Pancasila itu menurut konsepsi Soekarno pada 1 Juni 1945 dapat disebut sebagai suatu ideologi, atau hanya sebagai ‘dasar filosofis’ sebagai pondasi keniscayaan kemerdekaan indonesia?

Dalam tulisan ini saya mencoba melakukan suatu penelusuran secara mendasar dari Pancasila pada ambiguitasnya dalam hubungan dengan sistem ideologis atau keagamaan secara umum.

Selain itu yang paling penting adalah bahwa Pancasila berkaitan erat dengan suatu bentuk nasionalisme kultural tertentu (yaitu Jawa) yang mengklaim mewakili nilai-nilai universal sekaligus mempromosikan suatu pandangan tentang masyarakat sipil berdasarkan nilai-nilai religius (spiritual) yang kerap disebut sebagai bentuk ‘agama sipil’ (civil religion).

Pancasila dan ‘Civil Religion’

Salah satu pangkal kontroversi tentang Pancasila adalah dalam hubungannya dengan agama dan ideologi sekular. Kalangan Islamis cukup lazim membuat klaim bahwa ajaran Islam adalah sumber utama Pancasila karena sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bermakna ‘tauhid’, bahwa prinsip seperti kemanusiaan dan keadilan sosial memiliki akar dalam ajaran keislaman.

Tetapi jika meninjau secara historis, konsep awal sila Pancasila tersebut dalam rumusan Sukarno adalah ‘Ketuhanan Yang Berkebudayaan’, yang lebih dekat dengan pengertian 'agama sipil (civil religion)'. Hal tersebut berarti pengakuan tentang agama sebagai pilar keadaban masyarakat, suatu ‘perekat sosial’ di mana simbol yang disucikan menjadi penanda identifikasi sosial, yang menghubungkan individu-individu dalam kebersamaan.

Konsep tentang agama sipil sendiri berasal dari Zaman Pencerahan Eropa (abad ke-18) khususnya terkait pemikiran filosofis dari Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam ‘The Social Contract’. Rousseau adalah tokoh pertama yang memunculkan term ‘agama sipil’ sebagai alternatif terhadap agama konvensional, di mana ia lebih didefinisikan sebagai sentimen religius yang menyatukan warga negara dan menstimulus rakyat untuk membela negara seperti membela agamanya.

Ekspresi keagamaan sipil semacam ini muncul pada masa rezim Jacobin di bawah Robespierre (1793-1794) dalam Revolusi Prancis di mana berlangsung suatu gerakan dekristianisasi untuk menggantikan Katolik Roma, agama resmi negara yang dianggap simbol tatanan feodal lama, dengan agama sipil dan kultus nalar (Cult of Reason).

Bahwa Pancasila dengan salah satu prinsip dasarnya adalah Ketuhanan dimaksudkan sebagai ‘agama sipil’, dapat menjelaskan kecenderungannya untuk berlawanan dengan Islam ideologis (Islamisme). Disisi lain, pancasila dapat berjalan seiring dengan pemikiran Islam sebagai pilar kebangsaan atau ‘Islam sipil’ (Civil Islam) seperti dimunculkan oleh Kakanda Nurcholish Madjid.

Dalam ‘Islam sipil’ nilai-nilai keagamaan diadaptasikan untuk memperkuat masyarakat sehingga menjadi sebuah kekuatan emansipatif sebagaimana dilakukan oleh mazhab ‘teologi pembebasan’ di Barat yang memadukan Kristen dengan aspek humanistis dari Marxisme. Pemikiran tentang ketuhanan dalam Pancasila yang bersifat agama sipil juga mengimplikasikan suatu konservatisme tertentu, bahwa sikap anti-religius atau ateisme tidak dikehendaki, apalagi jika ia dikampanyekan di muka umum karena efeknya dapat menimbulkan disintegrasi sosial.

Ideologisasi Pancasila: Soekarno dan Soeharto

Meski secara resmi dinyatakan sebagai dasar (filosofis) negara, Pancasila kemudian cenderung diindoktrinasikan sebagai ideologi negara dan sebagai ‘pendidikan kewarganegaraan’ (civic education). Pancasila dalam pandangan Bung Karno cenderung hanya sedikit memiliki pretensi ideologis, agaknya karena apa yang dipandang sebagai inti doktrinal Soekarnois adalah ‘Marhaenisme’, yang dianggap sebagai ‘sosialisme ala Indonesia’.

Soekarno sendiri menganggap diri hanya ‘penggali’ dan bukan pencipta Pancasila yang intinya merupakan ‘nilai-nilai yang hidup dalam tradisi kolektivis bangsa Indonesia sendiri’. Meski tetap saja, sebagai tokoh sentral dalam penemuan Pancasila sebagai dasar negara, Soekarno adalah otoritas utama dalam ‘tafsir ideologis’ tentang dasar negara tersebut hingga kejatuhannya pada 1965-67.

Reinvensi Pancasila sebagai ideologi negara berhubungan erat dengan misi politik tentara dan visi negara Orde Baru dibawah Soeharto. Hal ini berlangsung sejak kepemimpinan Angkatan Darat (Nasution) mendukung nasionalisasi akhir tahun 1950-an, pembangunan ekonomi terencana dan akumulasi kapital yang disponsori negara.

Tetapi institusionalisasi ‘kapitalisme birokratik’ ini hanya dapat dilakukan dengan landasan doktriner tertentu, yakni ‘dwi-fungsi' dan ‘civic mission’ tentara. Meskipun indoktrinasi negara terkait Pancasila juga berlangsung secara lebih terbatas pada masa Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan mencolok pada pemaknaan Pancasila di antara periode Soekarno dan Soeharto. Jika yang pertama menekankan pada karakter anti-kolonial dan illiberal dari bangsa Indonesia, maka yang terakhir untuk sebagian besar bersifat anti-komunisme. Bahkan dapat dikatakan bahwa alasan utama penguatan Pancasila sebagai ideologi adalah ancaman dari rival ideologis baik ‘ekstrim-kiri’ (komunisme) atau ‘ekstrim-kanan’ (fundamentalisme agama).

Ideologisasi Pancasila tersebut dimulai dengan penetapan tanggal 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila, hari ketika percobaan kudeta yang dituduhkan kepada kaum komunis dapat digagalkan. Sejalan dengan itu, Orde Baru secara sistematis melucuti setiap asosiasi ideologis Pancasila dengan Soekarno yang secara implisit dianggap telah mendukung interpretasi ‘menyimpang’ terhadap Pancasila, bahkan dengan mengabaikan rekomendasi para tokoh generasi ‘founding father’ (termasuk Hatta, yang pada tahun 1977-78 menjadi salah satu tokoh kritis terhadap praktek korup pemerintah bersama kelompok ‘Petisi 50’).

Pada tahun 1978, pemerintahan Suharto membuka pelatihan-pelatihan indoktrinatif Pancasila, yakni program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bagi semua pegawai dan aparat negara. Lebih jauh dari penekanan Sukarno akan inti kolektivis dalam bentuk gotong royong, model indoktrinasi Orde Baru mengembangkan gagasan masyarakat organis dan harmoni sosial dengan nilai kekeluargaan yang suci sebagai intinya. Dengan kata lain, negara merupakan ‘makrokosmos’ keluarga berikut relasi kuasa di dalamnya.

Jika rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno menjadikan sila pertama Pancasila sebagai perwujudan semangat keagamaan sipil, maka Orde Baru Soeharto agaknya menjadikan Pancasila sebagai ‘agama sipil’ itu sendiri lengkap dengan ritus sakralnya, sosok orang-orang suci dan iblis-nya (sekalipun sosok ‘iblis’ itu ditampilkan dalam bentuk ideologi yang terlarang).

Penutup

Dari uraian mendasar mengenai Pancasila sebagai civil religion, jelaslah bahwa titik temu keduanya terletak pada konsep ‘agama sipil’ yang didukung oleh kaum nasionalis kultural (‘Kejawen’) dan kelompok minoritas religius (khususnya Katolik) untuk melawan dispersepsi pada penafsiran Pancasila, khususnya prinsip Ketuhanan-nya yang dipandang sebagai manifestasi monoteisme. Hal ini hanya dapat dilakukan ketika negara sendiri mendukung suatu bentuk ‘agama sipil’ yang dapat menengahi bentuk sekularisme murni (dimana ekspresi agama di ranah publik didiskreditkan / dibatasi).

Langkah politis seperti penetapan Pancasila sebagai ‘asas tunggal’ ataupun penataran P4 bukan semata didorong oleh anti-komunisme sebagaimana halnya kalangan militer, namun juga kaum minoritas religius dengan mendukung dan berharap Pancasila itu sendiri dapat menjadi ‘agama sipil’ untuk menjamin bahwa suatu negara teokrasi berdasarkan agama yang dominan tidak akan terwujud.

Referensi

David Bourchier, 2015. “Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State”, New York, Routledge.

Robert B. Hefner, 2000. “Civil Islam: Muslims and Democratisation in Indonesia”, Princeton, Princeton University Press.

Yudi Latif, 2012. “Negara Paripurna: Historisitas, Aktualitas, dan Rasionalitas Pancasila”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. (*)

 

***

* Oleh: Nauval Witartono, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Banyuwangi Komisariat Airlangga 2020-2021.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES