Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Soal Hati, Harus Belajar ke Cina

Minggu, 30 Mei 2021 - 15:52 | 28.05k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Tercatat oleh sejarah, bahwa sejak reformasi bergulir -yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang selalu didengungkan semua pihak adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Problem KKN menjadi agenda utama reformasi masalah KKN, terutama korupsi, sudah sedemikian parah sampai-sampai mungkin sangat sulit untuk memulai pemberantasannya, karena pihak yang seharusnya memulai menggerakkan politik pemberantasan seperti aparat kejaksaan misalnya juga harus direformasi dulu. Aparat peradilan yang selama ini menyebut dan menempatkan dirinya sebagai penegak hukum kasus korupsi, ternyata juga berkali-kali terseret atau mengidap penyakit kronis ini. 

Korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa, yang cara penanganannya harus luar biasa pula. Korupsi dikategorikan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) karena kejahatan tersebut telah merontokkan perekonomian negara. Selain itu, korupsi yang begitu marak telah membuat citra buruk.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Indonesia hingga sekarang masih dicap sebagai negeri terkorup di dunia. Karena itu, patutlah kiranya kita melihat dan mempelajari kunci sukses China dalam berperang melawan korupsi. Seperti lazimnya kita saksikan, kepeloporan China dalam memberantas korupsi sungguh tidak disangkal lagi. Dalam berbagai hal, China menunjukkan keberhasilannya memenangi perang melawan penyakit kronis yang bernama korupsi. Perkembangan ekonomi ternyata juga menimbulkan ekses lain di China, yakni wabah korupsi. (Anshori, 2005)

Di China, pernah mengalami booming perekonomian yang juga diiringi dengan booming korupsi di negara yang terkenal dengan istilah kongsi atau persekongkolan tersebut.   Kasus ini sama dengan yang terjadi Indonesia, bahwa puncak terjadinya praktik korupsi yang diyakini semua pihak sebagai penyebab hancurnya atau destruktifnya seluruh tatanan pemerintahan  itu terjadi  pada masa pemerintahan Orde Baru.

 Sebagai deskripsi historis, pada 1995, Presiden China (saat itu dijabat Jiang Zemin) melancarkan perang serius melawan korupsi. Sebab, korupsi dinilai semakin mewabah dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Itulah latar belakang perang tersebut. Secara simultan, pemerintah membuat langkah-langkah konstruktif yang membuat jera para koruptor.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Konsepsi atau politik pemberantasan korupsi di sana benar-benar dilakukan secara terpadu (terintegratif), tegas, transparan, dan bertanggung jawab. Pemberlakuan hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi koruptor gurita merupakan menifestasi strategis tersebut. demikian inilah sejatinya kunci sukses pemberantasan korupsi, yakni membuat takut dan menderita para koruptor.

Sebut saja kasus yang terjadi pada Maret 2000. Kantor Berita China, Xinhua, memberitakan bahwa seorang pejabat senior pemerintahan telah dikenai hukuman  mati (Hati)  karena alasan korupsi. Dia adalah mantan wakil gubernur Provinsi Hu Changqing. Pejabat ini dituduh menerima suap USD 660 ribu lebih (setara Rp 6,6 miliar saat itu kurs sekitar Rp 10 ribu per USD).

Selama setahun saja misalnya, penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) Negeri Tirai Bambu itu telah menangkap 42 ribu lebih pegawai negeri. Mereka yang ditangkap, antara lain, karena terlibat korupsi. Sebagai contoh, seorang mantan gubernur provinsi di China dipenjara hingga sebelas tahun karena terbukti menerima suap 960 ribu yuan (sekitar Rp 1,1 miliar).

Dalam orde perang lawan korupsi, China ternyata tidak tanggung-tanggung. Aparat penegak hukum bekerja secara sinergis, simultan, kompak, dan menggunakan rumusan-rumusan yang jelas dan terkoordinasi. Kepolisian, kejaksaan, ataupun masyarakat luas bekerja bahu-membahu secara kooperatif dan kordinatif menyelesaikan penyakit serius itu. 

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat parah dan keterlaluan, menyentuh semua level sosial-politik bernegara. Sudah sepantasnya diberlakukan efek jera bagi para koruptor. Sudah seharusnya, para pejabat negara yang melakukan korupsi diperlakukan dengan hukuman maksimal (mati).  Mencermati perkembangan pemrintahan Indonesia sejak zaman Orde lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi, senantiasa tidak tidak pernah lepas dari persoalan internal praktik pemerintahan yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga selayaknya belajar soal “Hati” ini ke China.

Tuntutan hukuman mati tersebut, yang kerap disampaikan berbagai kelompok masyarakat, tidaklah terlepas dari kondisi realistis atas sistem pemidanaan yang kita anut selama ini, yang memberikan dispensasi hukuman bagi para terpidana atau menjatuhkan hukuman dengan setengah hati. Hukuman yang sangat berat bagi para koruptor telah dilakukan pemerintah China dan hasilnya tingkat korupsi di sana terus berkurang. Lebih penting lagi, eksekusi yang cepat dan tegas merupakan salah satu kiat memberantas korupsi yang mewabah, seperti di China.

Di negara ini, mulai  ada ketakutan di kalangan elit kekuasaan dan politik yang diduga melakukan korupsi yang kedudukan hukumnya sedang diperiksa baik sebagai tersangka and terdakwa maupun saksi. Ketakutannya bukan hanya menyangkut harga diri yang dipertaruhkan di tengah masyarakat, tetapi juga ancaman hukuman yang tergolong berat, yang kalau meniru ke China, bisa hukuman mati.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES