Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Bargaining

Sabtu, 29 Mei 2021 - 15:47 | 31.84k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Suatu usaha sering digelindingkan oleh komunitas atau sejumlah politisi dalam melakukan bargaining dengan pihak lain seperti eksekutif, sehingga mimpi dan obsessinya terwujud. Secara spektakuler  Lewat kompromi-kompromi (bargaining) yang dibangunnya, bisa saja setiap momen tertentu atau  minimal setiap tahun dengan cara cerdas, piawai, dan brilian di dalam memeta, mengalokasikan, dan menetapkan pos-pos yang dinilainya bisa dibikinkan sebagai anggaran, baik yang ditujukan demi kepentingan rakyat, konstituen, atau kepentingan eksklusifnya, bisa berjalan lancar.

Jika misalnya dalam setiap tahunnya mereka semakin cerdas dalam mencari dan membuat pos baru, tentulah  di masa-masa mendatang akan terjadi pembengkakan dan penggelembungan, yang imbasnya tentulah berpeluang membuatnya akan hidup dalam kemakmuran sebesar-besarnya. Persoalannya, mengapa mereka gemar menaikkan anggaran di saat prestasi moral publiknya merosot?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Edwin Sutherland, kriminolog kenamaan yang menelorkan istilah WCC (White Collar Crime) atau “kejahatan krah putih” telah membuat tesis tentang akar kriminogen “kejahatan krah putih” ini, bahwa kejahatan itu terjadi bukan disebabkan oleh kemiskinan, melainkan oleh keserakahan. 

Sutherland tidak menyukai pakar-pakar kriminologi yang tergesa-gesa menyimpulkan kalau kemiskinan itu dapat menyebabkan terjadinya kejahatan.  Kejahatan bukanlah miliknya orang-orang miskin, tetapi akibat perilaku orang-orang yang mengumbar dan mempanglimakan keserakahannya.

Pelanggaran moral, agama, hak asasi manusia (HAM), dan hukum kadarnya lebih serius, laten, dan komplikatif jika dilakukan oleh orang-orang terpelajar, punya kedudukan, dan mempunyai modal ekonomi kuat jika dibandingkan yang dilakukan oleh orang-orang miskin.

Komunitas miskin melakukan kejahatan dengan sasaran dan resiko yang kecil seiring dengan status dan minimalitas kemampuan yang dimilikinya. Beda dengan “orang besar”, berpangkat, dan terpelajar yang melakukannya, karena komunitas elit ini punya kemampuan rekayasa intelektual (intellectual engineering) untuk membuat scenario kriminalistik, dengan uangnya membeli, menguasai, dan menjadikan orang lain sebagai “zombi”, alias mayat hidup, dan dengan kedudukannya potensial menggunakan pengaruh dan wewenangnya untuk menjadi pesulap struktural yang hebat, melebihi kemampuan pesulap kenamaan David Coperfield.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Salah satu pelaku kriminalitas berkadar membayakan kehidupan publik itu adalah oknum elit politik nekad terjun dan memerangkapkan dirinya menjadi segmen WCC atau mendisain dirinya seperti David Coperfield, yang lihai menyulap, merekayasa, menyalah-alamatkan, atau memproduk dalil-dalil pembenaran secara yuridis-politis yang diorientasikan untuk meregulasi dan memproteksi keserakahan yang sejatinya bercorak sebagai bentuk kejahatan terhadap hak-hak publik.

Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan terhadap sejumlah oknum dan tanpa mengurangi makna kinerja aparat dalam menggerakkan segenap mesin criminal justice system,  namun komunitas dewan yang sedang berurusan dengan hukum itu ternyata berkorelasi dengan masalah gaya hidupnya, setidak-tidaknya lewat tampilan gaya hidup beberapa oknum yang bercorak klas neo-kapitalis, orang kaya baru, atau orang kaya mendadak..

Gaya hidup yang didesain oleh dewan  baik dengan menggunakan “kendaraan” jabatan, ternyata mampu  menjebak dirinya dalam perilaku yang tidak menghormati  etika publik, irasional dari prinsip kelayakan hidup sebagai komunitas terpilih dan sedang memanggul amanat kerakyatan, dan berani secara “vulgar” maupun eksklusif melakukan  kriminalisasi structural dengan dalih apa yang dilakukannya ini termasuk kompetensinya.

Mereka terperangkap membangun gaya hidup yang bercorak borjuisme, yang mengotak atau memproduk stratifikasi sosial elit tersendiri, yang tentu saja mengakibatkan terjadinya polarisasi dengan konstituennya dan prinsip tanggungajwab publik. Keterjebakannya dalam perilaku bercorak malversasi norma publik lebih dominan disebabkan gaya hidup selebriti serba instan yang dibangunnya. Gaya hidup demikian membutuhkan “cost” yang tidak murah, yang mempertaruhkan anggaran atau pos penyangga publik. Malversasi norma hanya akan dianggap sebagai pelanggaran ringan dan bukan modus pembusukan nilai (values decay), karena besarnya daya rangsangan keuntungan yang diarihnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Hal itu lebih tampak pada gaya hidup oknum yang  berlatar belakang ekonomi pas-pasan, yang perubahannya radikal. Dewan yang berasal dari golongan ini seperti segerombolan orang yang baru menikmati hidup di atmosfir revolusi kebudayaan, yang di dalam dirinya bergolak keinginan untuk selalu tampil beda, mengemas dan unjuk diri   sebagai komponen the rulling class,  dan mempola  konstruksi relasi keluarfa dan sosialnya dengan serba eksklusif.

Mau makan misalnya, mereka kesulitan menentukan tempat, mau belanja harus mencari yang serba luar negeri, mobil harus sering gonta-ganti yang terbaru, perabotan rumah cari yang di tetangganya tidak punya, adalah beberapa sampel potret borjuismenya, yang “cost”-nya pasti mahal. Gaya hidup demikian jelas berotal belakang dengan aspirasi publik, apalagi jika disandingkan dengan “wong alit’ yang mau makan saja serba kurang gizi (malnutrisi).

Gaya hidup borjuisme itulah yang potensial membuka kran selebar-lebarnya bagi oknum untuk mengamalkan prinsip “differential association”  atau teori pembelajaran yang diberikan Sutherland, bahwa setiap penyimpangan norma hukum atau penyalahgunaan kekuasaan itu  produk pembelajaran. Oknum akan terus mempelajari celah-celah yang bisa digunakan untuk mengisi, mengumpulkan, dan memenuhi  pundi-pundi kekayaan seiring dengan besarnya magnet gaya hidup borjuisme yang menuntut dan menghegemoninya.

Dalam teori itu, tidak ada kejahatan di level elit yang tidak merupakan produk pembelajaran. Semakin pintar dan cerdas segmen elit mempelajari peluang di lingkaran strukturalnya, maka akan semakin banyak yang bisa dilahapnya demi memenuhi keserakahan yang tidak kenal titik nadir. Mereka yang jadi pembelajarnya akan terus berlomba untuk gali lobang dan memanfaatkan lobang yang tersedia untuk memakmurkan diri, kroni, dan kerabatnya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES