Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Orang Kalah Diledek Impian

Kamis, 27 Mei 2021 - 09:45 | 29.24k
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP AP-HTN/HAN dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP AP-HTN/HAN dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “PKL akan jadi teroris jika Perda PKL tidak dicabut”, demikian salah satu bunyi judul spanduk  yang pernah diusung demonstran dari PKL di salah satu kota di Jatim (Khalid, 2019). Ini peristiwa lama yang setidaknya bisa digunakan jadi bahan refleksi dan evaluasi atas kebijakan pembangunan akhir-akhir ini.

Ekspresi itu mencerminkan suatu gugatan atau “ancaman” yang serius dari sekelompok masyarakat  yang hidupnya sedang terhegemoni dan “terjajah” oleh problem penyakit social-ekonomi yang serius. Sebab, ancaman yang diluapkan itu berkaitan dengan keniscayaan hadirnya ancaman, yang mengerucut pada  “penggusuran” sumber pendapatannya.

Ekspresi itu menjadi wujud jerit tangis  hati sekelompok orang yang sebenarnya selama ini secara ekonomi sudah menempati kantong-kantong kepapaan atau ketidakberdayaan,  dan ekspresi itu terasa menguat tatkala ketertindasannya dalam bentuk etos kerja yang sudah carut-marut  terancam akan dikorbankan ke tataran “mustadh’afin”, meminjam istilah Jalaluddin Rahmat, “orang-orang yang “dibuat” tertindas atau teraniaya”.   Mereka  terancam ditindas dan dilindas oleh lahirnya ketentuan dan diskresi yang membahayakan masa depannya. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Salah satu ciri utama negara  berkembang itu adalah dilanda “banjir” hukum (peraturan perundang-undangan) dan diskresi-diskresi atau kebijakan-kebijakan pemerintah seiring dengan tuntutan dan “birahi” pembangunan yang gencar digalakkannya. Hukum lebih sering dipaksakan selaras  dengan produk political will  yang dikeluarkan pemerintah. Tatkala penguasa sedang ngidam untuk memenuhi “periuk” pembangunan, maka dilahirkanlah peraturan yang ditujukan untuk mengamankannya.

Negara demikian  itu terus berusaha memoles, mendisain, dan menkonstruksi tataran fisik  yang tentu saja konsentrasinya  bagaimana “mengail” sebanyak-banyaknya demi memenuhi target pertumbuhan ke tingkat yang menggairahkan, kalau tak dibilang mengejar target-target yang berstigma menakjubkan dan mencerahkan (secara fisik-ekonomi).

Dalam gairah negara demikian itu, akhirnya yang tampil ke tataran empirik adalah wujud komoditi dan kapitalisasi pembangunan  yang tentu saja “hukum kapitalisme” menjadi superioritas dibandingkan kepentingan strategis lainnya. Prinsip yang dikedepankan hanya bagaimana tampilan fisik negara menarik, sementara di sisi lain, keuntungan ekonomi dari kaum pemilik modal kuat tetap membingkainya.

Corak pembangunan seperti itu akhirnya melahirkan profil negara yang  tak ramah dan  tak dialektis-demokratis.  Penyelenggaraan pembangunan menampilkan apa yang disebut “berbasis negara”, sementara idealitas yang berbasis kerakyatan” (base of society) ditinggalkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebagai bentuk pembangunan yang “berbasis negara”,  adalah tak bisa dihindari kalau kemasan wilayah di daerah juga metropolistik-kapitalistik,  dimana gairah atau “birahi” pembangunannya menggenjot “kecantikan” kota semata, seperti bagaimana fisiknya tampak mengkilat, mempesona, dan “ningrat”, mesikpun kemudian  terlahir banyaknya kelompok sosial yang dikalahkan (losser community), dipinggirkan, tergusur, dan terbuang.

Itulah bentuk pengemasan kota yang tak ramah, jauh dari prinsip-prinsip kemanusiaan dan kerakyatan, suatu potret metropolitanisasi dehumanistik. Komunitas yang lemah, tak punya akses kekuasaan, dan bukan kelompok “gurita” ekonomi (pemilik modal) menjadi kelompok yang benar-benar tidak berdaya dan jadi objek rekayasan politik lokal dan sektoral yang bercorak dehumanisasi dan represip.

Orang-orang Miskin, orang-orang di jalanan, yang tinggal dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan”, demikian  kritik WS Rendra, sang penyair berjuluk “Burung Merak”

Sajak tersebut mengisyaratkan nasib komunitas “akar rumput” (grass root community), kelompok masyarakat bawah, lapisan masyarakat miskin atau segmen warga yang terpinggirkan, yang kehidupan sehari-harinya sibuk “ berjihad” mengatasi kesulitan panggilan isi perutnya.

Mereka, kelompok masyarakat yang sudah kalah dan bahkan dikalahkan tersebut sudah sangat sering mendengar dan dibuai janji-janji elit kekuasaan lewat “syahadah” struktural yang  tak pernah ditepatinya atau barangkali sekedar bunyi nyanyian yang tak berbekas. Mereka selalu dijanjikan diberi limpahan kesejahteraan, namun faktanya penderitaan dan keprihatinan yang ditimpakan, bahkan secara berlapis-lapis.

Mereka konon dijanjikan tempat yang baik, yang mendukung  kreatifitas, area yang  kondusif dalam mengimplementasikan etos juangnya, dan akan bisa memperoleh hasil mencukupi, hidup sejahtera  lewat pekerjaan yang digelutinya. Mereka dijanjikan akan dijadikan kelompok usaha binaan yang tak ditinggalkan yang akan terus diperhatikan prospek ekonominya.

Faktanya kemudian, mereka tetap diledek impian yang ditabur punggawa-punggawa kota. Mereka tetap objek yang tak lekang dari gerilya kaum oportunis yang gemar menjadikannya sebagai bahan percobaan.   Mereka dibuai oleh janji menggiurkan.

Mereka saat ini merupakan subordinasi kepentingan besar, yang dinasibkan mengenaskan. Mereka  adalah bagian dari komunitas miskin, yang hidupnya, sedang terpuruk jadi “mustadh’afin”, alias dibikin hidup teraniaya. Mereka sudah teraniaya, tapi dimarjinalkan lagi menjadi komunitas “orang-orang yang dikalahkan”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itulah deskripsi komunitas anak bangsa yang terasa tak kenal titik nadir untuk berjuang berlapis-lapis dalam hidupnya.  Mereka diakui sebagai warga kota yang strategis politis, namun tatkala kepentingan politik sudah menuai hajatnya, mereka bukan lagi subjek. Mereka tetap jadi anak tiri yang merana dan terpekur meratapi  produk hukum dan diskresi Pemerintah daerah yang belum memanusiakannya.

Mereka  direlokasi, dijauhkan dari area tata kota yang berbirahi mengemas fisiknya, dan dipinggirkan supaya tak berdekatan dengan kekuatan-kekuatan kapitalistik. Sulit untuk dikatakan sebagai diskresi dan regulasi yang bermuatan humanistik jika  relokasinya bukannya memperbaiki  akses keadilan humanitas ekonominya, tetapi mereduksi dan bahkan mendegradasinya.

Kondisi mereka yang sudah sulit di tengah perjuangan  mengail sumber pendapatan yang serba keras, vulgar, dan kadang-kadang membahayakan hidupnya,  membutuhkan “kecerdasan” moral, struktural, dan kemanusiaan dari kalangan komunitas punggawa negara  Komunitas elit ini penentu ke arah mana “takdir” kehidupan kelompok “akar rumput” menuai perbaikan nasibnya.

Kecuali jika komunitas elit ini  sudah menjatuhkan pilihan absolut, bahwa “birahi” pembangunan kota wajib hukumnya dimenangkan atau disuperioritaskan, maka barangkali sulit sudah menyelamatkan anak bangsa yang sedang terpuruk nasibnya. Egoisme komunitas elit yang terbawa oleh romantisme pembangunan  niscaya akan mengalahkan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, atau barangkali apakah ini yang disebut sebagai “pemanusiaan gaya baru” atau “penindasan kontemporer”?  barangkali fakta dan hati nurani yang bisa menjawabnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP AP-HTN/HAN dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES