Kopi TIMES

Perang Bintang PDIP dan Konstelasi Politik Simbolik Menuju Pilpres 2024

Rabu, 26 Mei 2021 - 07:03 | 114.90k
Verdy Firmantoro, Dosen & Peneliti Indopol Survey dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Verdy Firmantoro, Dosen & Peneliti Indopol Survey dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Secara tersirat konstelasi politik di tubuh partai banteng mulai memanas. Kondisi ini terjadi bukan tanpa alasan, absennya Ganjar Pranowo dalam acara pengarahan kader PDI Perjuangan se-Jawa Tengah oleh Puan Maharani menuai polemik.

Apalagi dalam arahan Ketua Dewan Pimpinan Pusat itu menyinggung soal kriteria pemimpin yang baik versi PDI Perjuangan adalah pemimpin yang menunjukkan kerja di lapangan, bukan sekedar di media sosial. Narasi simbolik itu seketika memantik beragam interpretasi politis di ruang publik.

Politik wacana sangat subur di era media sosial. Lebih lanjut jika merujuk pandangan Bourdieu, politik wacana berkaitan dengan penggunaan bahasa sebagai instrumen kekuasaan simbolik. Di situlah bahasa tidak pernah lepas dari relasi kepentingan-kepentingan para aktor politik yang menggunakannya. Bahasa tidak hanya sebagai medium komunikasi, lebih dari itu sebagai politik representasi.

Ganjar vs Puan: Berebut Pengaruh dan Legitimasi?

Manuver dan interaktivitas Ganjar Pranowo di ruang publik tidak terelakkkan. Bahkan setiap survei elektabilitas dan popularitas kandidat capres 2024, namanya tidak pernah absen menjadi figur yang diperhitungkan. Apalagi sebagai kepala daerah dengan jabatan Gubernur Jawa Tengah menjadi panggung politik yang representatif.

Sementara itu, Puan Maharani juga digadang-gadang menjadi penerus tahta putri mahkota. Figurnya tidak bisa lepas dari sosok presiden ke-5 Indonesia sekaligus ketua umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Kini sebagai ketua DPR RI menjadi panggung politik bagi Puan untuk berkiprah. Namun, berbeda dengan ranah eksekutif, ruang legislatif dengan berbagai stigma dinilai belum optimal untuk menggaransi tingkat penerimaan publik secara luas.

Terlepas dari posisi dan penetrasi masing-masing figur, baik Ganjar dan Puan tetaplah kader PDI Perjuangan. Perebutan pengaruh dan legitimasi tidak dapat dilepaskan dari politik internal partai di satu sisi maupun uji publik di sisi lain. Dalam konteks ini, bisa jadi Ganjar dianggap tuntas untuk urusan publik, tetapi belum tentu tuntas di internal partai politik. Sebaliknya, bisa jadi Puan mempunyai dukungan internal partai yang lebih memadai, tetapi belum tentu tuntas di level publik. Artinya dua figur yang moncer sebagai representasi PDI Perjuangan itu mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Apalagi harapan melanjutkan estafet kekuasaan pasca kepemimpinan Jokowi, menjadi beban tersendiri. Jika masing-masing saling bersitegang dan memilih mengedepankan ego politiknya, bisa jadi justru menjadi boomerang dan sinyal bahaya yang mengancam potensi kemenangan di Pemilu 2024.    

Dari Politik Kelembagaan ke Kontestasi Citra Politik

PDI Perjuangan, secara kelembagaan menjadi instrumen simbolik telah mempunyai identitas yang panjang di mata publik. Kader-kader yang bernaung di dalamnya membentuk narasi kolektif. Hal itulah yang kemudian terus menerus dinegosiasikan baik yang sifatnya ideologis maupun praktis.

Perlahan, politik kelembagaan tidak cukup menjadi modalitas simbolik. Belum lagi apatisme dan resistensi terhadap partai politik juga cukup menguat. Melihat realitas ini, para kader terutama yang sedang mempunyai jabatan publik berpeluang meningkatkan personal branding untuk mengisi celah tersebut. Hal itu ditopang oleh rezim informasi yang mengarusutamakan pesan-pesan politik melalui ruang-ruang digital seperti media sosial.

Perang bintang PDI Perjuangan yang melibatkan Ganjar dengan Puan sudah bukan sekedar adu politik kelembagaan, melainkan lebih pada kontestasi citra politik. Elit politik menggunakan beragam pernyataan untuk membentuk wacana (discourse) dan elit politik lain pula menggunakan pernyataan untuk memberikan kontra wacana (counter-discourse). Dunia digital menyuburkan politik berbasis story telling. Di sinilah seringkali timbul persoalan antara politik substantif dengan politik artifisial. Politik substantif mendorong adanya kerja-kerja konkret di lapangan, sedang politik artifisial lebih mengutamakan pencitraan dengan membangun narasi cerita-cerita di media sosial.

Berkaitan dengan pendekatan komunikasi politik strategis, kemampuan kerja lapangan disertai upaya diseminasi informasi melalui media justru dapat saling menguatkan, bukan saling menegasikan. Artinya aktor politik yang kerja di lapangan perlu mempublikasikan kinerjanya agar diketahui publik, sedangkan aktor politik yang banyak bermain media sosial harus disertai kerja nyata tidak sekedar pencitraan. Sebab dalam politik wacana itu perlu koherensi, korespondensi juga konsistensi.

* Penulis Verdy Firmantoro, Dosen & Peneliti Indopol Survey dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES