Kopi TIMES

Mudik adalah Kerinduan Sebagai Manusia

Selasa, 25 Mei 2021 - 03:14 | 103.90k
Frida Kusumastuti, Dosen Komunikasi Sosial Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang.
Frida Kusumastuti, Dosen Komunikasi Sosial Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Larangan mudik saat lebaran berturut-turut dua tahun ini memang membuat banyak kalangan kecewa. Bukan hanya pemudik yang kecewa, orang tua dan handai taulan di kampung halaman juga menelan ludah. Kerinduan berkumpul dengan keluarga besar dalam suasana lebaran hanyalah tinggal kerinduan. Kesibukan menyiapkan perjalanan, dan kehebohan dalam menyambut tamu besar juga tinggal kenangan. Semua mesti menahan diri untuk berdamai dengan Covid-19 yang masih mengintai.

Mudik memang spesial. Meskipun berita meningkatnya kecelakaan juga sering mewarai berita mudik, ataupun berita tentang betapa sengsaranya berebut transportasi dan berdesak-desakan di angkutan publik, tidak membuat banyak masyarakat kapok mengalaminya. Bahkan seolah menjadi tradisi yang “wajib” dialami oleh generasi satu ke generasi berikutnya. Orang-orang rela menabung ataupun berhutang demi bisa mudik bersama keluarga.

Apa gerangan mudik begitu dirindukan dan diulang? Ritual silaturahim jelas. Bakti pada orang tua, iya. Namun ada juga yang melihat dari sisi negatif, yaitu katanya ajang pamer. Suatu hal yang sebenarnya memang tidak bisa dihindari. Semua berniat ingin membuat orang tua atau keluarga di kampung bangga atas keberhasilan anggota keluarga di kota. Tulisan ini ingin melihat mudik dari aspek yang lain, yaitu kerinduan sebagai manusia.

Fase-Fase Mudik

Mari kita ingat-ingat dan bayangkan cerita ataupun pengalaman orang-orang yang pernah mudik berulang kali. Bisa juga pengalaman kita sendiri. Sejenak lupakan hal-hal yang menyedihkan yang mungkin pernah dialami saat mudik. Ingat saja hal-hal yang menyenangkan saat mudik. Kita urutkan mulai dari persiapan mudik hingga nanti balik kembali ke tempat tinggal kita.

Persiapan mudik biasanya sudah dilakukan jauh hari. Paling enggak saat ramadhan tiba sudah mulai persiapan. Mulai memperkirakan berapa lama akan mudik? mendata kemana saja nanti di kampung yang akan dikunjungi? Akan bertemu siapa saja? Keputusan ini penting untuk menentukan seberapa banyak “sandang” atau pakaian dan pembekalan yang akan dibawa?  Oleh-oleh dan pemberian yang tepat untuk beberapa orang yang akan bertemu, dan mungkin juga bahan pembicaraan yang akan disiapkan. Sesi ini sebenarnya juga kadang menyurutkan semangat jika dirasa tidak bisa memenuhi ekpetasi atau standar yang ditentukan oleh keluarga masing-masing.

Namun menariknya, setiap keluarga akan memiliki cara bagaimana menyiasatinya. Jika memang keputusan mdik sudah bulat harus dilakukan. Siasatnya bisa dengan cara mengurangi kuantitas kunjungan, memperpendek waktu, dan menurunkan ekspetasi oleh-oleh yang akan diberikan. Pada fase ini, anak-anak biasanya ikut heboh. Memberi usul ini itu tanpa mempertimbangkan konsekuensi. 

Fase berikutnya adalah perjalanan mudik. Lupakan apakah mudik membawa kendaraan sendiri ataukah mudik dengan menggunakan transportasi publik, seperti pesawat, kapal, kereta api, bus, ataupun travel. Ingat saja situasi di jalanan yang sangat ramai. Kita akan menemui beragam tingkah laku orang. Beraneka ragam penampilan dan gaya. Beraneka ragam ekspresi. Semua itu adalah “bacaaan” yang mengasyikkan. Kita bisa tertawa lepas melihat kelucuan dan kegembiraan. Kita juga bisa memperbanyak rasa bersyukur melihat kemalangan. Bahkan kita juga bisa saling berbagi kegembiraan maupun kesedihan dengan orang yang baru kita kenal dalam perjalanan itu. Pertemuan yang tidak lagi melihat struktur dan pangkat melainkan perasaan senasib sebagai pemudik! 

Fase tiba di kampung halaman. Sambutan gembira dari orang tua terutama dan handai taulan. Rasa ingin tahu dari para tetangga yang ikut menyambut kedatangan para pemudik adalah ekspresi yang tidak terlupakan. Orang-orang yang lebih tua dari kita akan menghadapi kita sebagai anak-anak di masa lalu. Mereka mengingatkan kenakalan atau kepatuhan kita di masa kecil yang kini bisa menjadi bahan seru untuk tertawa bersama. Mereka mengingat apa yang kita sukai dan tidak sukai. Misal, soal makanan. Orang tua atau yang dituakan biasanya akan menyediakan secara khusus makanan-makanan kesukaan kita. Sementara itu orang-orang yang lebih muda akan mendapatkan cerita tentang kita dimasa lalu dan juga keberhasilan kita di masa kini. Orang-orang muda itu sebagian akan menjadi “fans baru” bagi sebagian yang lain. Fase ini bisa disebut sebaga fase “old and new”. Kita menjadi orang lama dan sekaligus orang baru.

Fase balik dari kampung halaman. Diawali dengan kehebohan mengepak barang-barang dan oleh-oleh, berpamitan, dan perjalanan balik. Kita akan mendapati ekpresi kehilangan, ekspresi kerinduan yang akan disimpan untuk tahun depan. Segala kesan baik menjadi etiket yang biasanya harus ditunjukkan oleh semuanya. Ungkapan sayang, terimakasih, dan harapan yang disampaikan berulang kali adalah energi yang membuat kita ingin selalu kembali.

Kerinduan Sebagai Manusia

Penulis memaparkan fase-fase mudik diatas untuk menggaris bawahi benang merah dari semua itu adalah eksistensi kita sebagai manusia. Mengapa mudik dirindukan? Karena proses mudik itu seolah mengembalikan kita sebagai manusia yang ingin dipahami dan diterima sebagai personal. Melalui ketulusan kita memberi, melalui apa yang kita sukai, melalui kelebihan dan kelemahan kita, kita diterima sebagai bagian yang sama dengan ‘yang lain”, melebur dalam kegembiraan dan berbagi sebagai personal.  Bukan lagi karena status dan jabatan kita di kota atau di tempat kerja. 

Kita diingat karena kenakalan ataupun kepatuhan di masa kecil, kita dikenali karena makanan kesukaan kita, kita dipahami karena proses kita menjadi dewasa. Semua itu seolah menjadi air sejuk yang menyirami lelahnya rutinitas sehari-hari sebelum lebaran tiba. Setahun sebelumnya kita biasa berproses menjalani fase berangkat kerja dan lalu pulang kerja, dimana interaksi dan relasi melihat apa pekerjaan dan status atau apa jabatan kita di kota? Seringkali seolah lupa akan diri sebagai personal yang memiliki masa lalu kanak-kanak, dan makanan kesukaan yang diingat orang lain.

Ya, mudik bukan sekedar heboh pulang ke kampung halaman. Mudik adalah pulang sebagai manusia dengan segala personalitinya. Namun kini atas nama sebagai manusia pula kita harus menahan diri karena tidak ingin menambah penularan virus kembali tinggi di setiap sudut negeri ini. Kepatuhan untuk tidak mudik justeru merupakan keyakinan bahwa tahun depan kita akan kembali normal. Mengapa mesti memaksa sekarang? Apakah tidak yakin tahun depan kita lulus dari pandemi tahun ini?

***

*)Oleh: Frida Kusumastuti, Dosen Komunikasi Sosial Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES