Kopi TIMES

Problem Sosioyuridis Standar Kompetensi Pengasuh Anak

Kamis, 20 Mei 2021 - 20:33 | 56.61k
A.P. Edi Atmaja, Mahasiswa doktoral ilmu hukum Universitas Indonesia.
A.P. Edi Atmaja, Mahasiswa doktoral ilmu hukum Universitas Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa waktu lalu, ramai diberitakan soal penganiayaan terhadap perawat perempuan yang bertugas di bangsal anak di rumah sakit swasta. Penganiaya merupakan orangtua dari pasien yang masih berusia dua setengah tahun. Kepolisian akhirnya menetapkan pelaku penganiayaan sebagai tersangka dengan ancaman pidana penjara dua tahun delapan bulan.

Respons cepat kepolisian tak lepas dari viralnya kasus tersebut di media sosial. Dorongan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pun memiliki andil tak kecil untuk mengawal proses hukum terhadap pelaku penganiayaan. Di relung-relung digital menggelora ajakan untuk memuliakan kehormatan profesi perawat: betapa perawat menduduki garda terdepan bagi keselamatan manusia dan kemanusiaan sehingga, oleh karenanya, harkat dan martabat mereka wajib dilindungi.

Lain perawat, lain pula pengasuh anak atau bayi (baby sitter). Jika harkat dan martabat perawat begitu mendapat perhatian dari negara dan publik luas, bagaimanakah dengan pengasuh anak? Pengasuh anak sejatinya profesi yang memadukan keahlian perawat dan pendidik sekaligus. Namun faktanya, kebanyakan pengasuh anak di Indonesia kurang memadai dari segi pendidikan dan kompetensi, sehingga harkat dan martabat mereka pun jadi kurang terlindungi.

Profesi pengasuh anak

Di kota-kota besar di Indonesia, pengasuh anak telah menjadi bagian integral dari masyarakat urban. Lazimnya, dalam suatu keluarga di kota besar, anak (usia prasekolah) dirawat, dijaga, dan diasuh oleh pengasuh anak yang bekerja secara penuh waktu di rumah atau secara paruh waktu di tempat penitipan anak (daycare). Kondisi yang tak terelakkan akibat desakan ekonomi biaya tinggi di kota-kota besar membuat ayah dan ibu sama-sama keluar dari rumah untuk bekerja mencari nafkah dan menaruh kepercayaan kepada pengasuh anak.

Maka muncullah lembaga-lembaga swasta, baik berbadan hukum maupun tidak, yang menangkap peluang usaha jasa pelatihan dan penyaluran tenaga-tenaga kerja pengasuh anak. Lembaga-lembaga ini umumnya beroperasi di kantong-kantong daerah di mana angka putus sekolah pelajar perempuan demikian tinggi yang biasanya terkait pula dengan indeks pembangunan manusia yang rendah.

Posisi perempuan yang marjinal dalam struktur kuasa patriarkal masyarakat rural kerap menjadi penyebab tumbuh suburnya angka putus sekolah. Himpitan ekonomi membuat orangtua rural berperspektif patriarkal kurang menganggap penting pendidikan buat anak-anak perempuan mereka sehingga anak-anak perempuan itu hanya memiliki pilihan yang terbatas di usia mereka yang teramat dini: menikah atau bekerja. Kemunculan lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja pengasuh anak pada gilirannya kian memupuk kondisi ini. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika dengan ijazah seadanya pun sudah dapat bekerja sebagai pengasuh anak bergaji lumayan dengan julukan terhormat: “suster”.

Sebagai sebuah profesi yang semestinya memegang teguh profesionalisme dan turunannya seperti etika profesi, kualifikasi keahlian, dan kompetensi laiknya profesi-profesi lain semisal dokter, perawat, guru, akuntan, dan advokat, pengasuh anak yang lahir dalam situasi di atas tentu jauh dari harapan. Hal ini ditunjukkan dengan begitu banyaknya daftar pengasuh anak bermasalah yang terekam dalam akun-akun yang dikelola secara swadaya di media sosial—dan umumnya viral.

Produk hukum yang cacat

Sesungguhnya telah ada regulasi yang secara khusus mengatur standar kompetensi pengasuh anak, di antaranya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 197 Tahun 2014. Beleid ini mengatur aneka kompetensi yang mesti dimiliki oleh para pengasuh anak, mulai dari kompetensi merawat, menjaga, dan mengasuh anak hingga kompetensi menjalin hubungan kerja dan komunikasi dengan pengguna jasa.

Keputusan menteri ini berlaku secara nasional dan menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, uji kompetensi, serta sertifikasi profesi pengasuh anak.

Sebagaimana umumnya produk hukum di Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 197 Tahun 2014 mengandung beberapa cacat. Pertama, kuranglah tepat jika produk hukum yang memuat norma-norma umum yang bersifat mengatur dituangkan dalam bentuk keputusan (beschikking). Semestinya, produk hukum ini berbentuk peraturan (regeling).

Kedua, norma-norma yang termaktub dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 197 Tahun 2014 tampaknya sebatas hitam di atas putih. Penegakannya? Tunggu dulu. Ketidakjelasan pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan dan ketiadaan pengaturan soal sanksi membuat produk hukum ini laksana macan ompong yang tak memiliki daya guna.

Namun demikian terdapat muatan yang cukup futuristik dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 197 Tahun 2014, yakni gagasan tentang pembentukan asosiasi profesi yang mewadahi profesi pengasuh anak secara nasional. Asosiasi profesi semacam PPNI ini penting untuk menjaga harkat dan martabat profesi pengasuh anak, baik secara internal (semisal menyeragamkan kompetensi seluruh pengasuh anak) maupun secara eksternal (seumpama melindungi pengasuh anak dari kesewenang-wenangan pengguna jasa dan pihak eksternal lainnya).

Bagaimanapun wujudnya, segala upaya pemerintah untuk memberi perhatian terhadap profesi pengasuh anak patut kita apresiasi. Pada zaman yang berubah dengan begitu cepat seperti sekarang ini, pilar utama terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas tinggi tidak hanya terletak pada orangtua dan guru, melainkan juga para pengasuh anak.

Pengasuh anak yang berkompetensi baik akan menghasilkan anak-anak yang juga baik, begitu pun sebaliknya. Mental dan karakter anak sedikit-banyak dibentuk oleh kompetensi pengasuh anak.

***

*)Oleh: A.P. Edi Atmaja, Mahasiswa doktoral ilmu hukum Universitas Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES