Kopi TIMES

Berpuasa dan Bercinta

Senin, 10 Mei 2021 - 17:29 | 72.82k
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.; Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum; Koordinator Pusat Pendidikan Karakter & Kepemimpinan Universitas Ma Chung.
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.; Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum; Koordinator Pusat Pendidikan Karakter & Kepemimpinan Universitas Ma Chung.

TIMESINDONESIA, MALANG – Kata “bercinta” memang terkesan tidak etis jika disandingkan dengan kata yang jelas bernuansa religius itu. Barangkali orang memandang makna “berpuasa” dan “bercinta” sebagai dua aktivitas yang saling bertolak belakang. Di satu sisi berbicara soal menahan hawa nafsu, pada sisi yang lain soal melampiaskannya. 

Dalam konteks bulan Ramadhan seperti saat ini, tentu puasa merupakan ibadah yang selalu dinanti-nanti oleh orang muslim. Kita semua tahu bahwa ibadah puasa tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga merupakan ruang dan waktu untuk mendekatkan diri pada Ilahi dengan segala konsekuensi tindakan dan sikap yang menyertainya. Sampai di sini tidak perlu kita pertanyakan lagi soal itu. Akan tetapi, ada soal lain yang perlu dijernihkan, yaitu: apa dan bagaimana hubungannya dengan bercinta?

Bercinta adalah aktivitas mencintai. Aktivitas mencintai bisa dimengerti secara dangkal sebagai upaya untuk mendapatkan cinta. Orang yang mencintai seseorang adalah subjek yang mengobjektivikasi subjek lain. Maksudnya, mencintai berarti sebuah disposisi mendapatkan cinta dari orang lain untuk mengisi kekosongan di dalam dirinya. Tetapi, apakah benar bahwa cinta itu sekedar mengisi kekosongan? 

Mencintai bukanlah aktivitas sebatas mempedulikan diri sendiri. Cinta merupakan hal yang sangat mendasar dalam kodrat manusia. Sekurang-kurangnya terdapat tiga dimensi cinta yang menjadikannya utuh. Cinta pertama-tama tidak selalu berurusan dengan seksualitas. Ia juga tidak melulu berkutat dalam bahasa puitis romantis. Cinta bukanlah perkara rasa suka, senang dan gembira yang terarah pada interioritas (diri sendiri).

Cinta adalah itu yang terarah pada orang lain. Jika aku mencintaimu, semata bukan karena aku ingin dicintai. Pun juga bukan karena hatiku yang kosong ingin terisi. Justru sebaliknya, aku ingin mengisi kekosongan hatimu dengan mengenal, memahami, memeluk serta menolongmu. Semua ini kulakukan tanpa sedikitpun berharap mendapatkan kembali cintamu. Ikhlas, inilah kodrat cinta.  

Bercinta dan saling mencintai adalah dua hal yang berbeda. Saling mencintai tidak dapat dipaksakan dari salah satu pihak. Orang kerap ingin mendapatkan balasan cinta karena mendaku telah mencintai. Padahal, egoisme tidak tertulis di dalam kamus cinta. 

Jika anda tulus mencintai tetapi tidak mendapatkan balasan cinta, maka cinta anda akan tetap mengalir dan terarah pada orang yang anda cintai. Sebaliknya, benih kebencian dapat muncul jika mencintai semata karena diri anda ingin dicintai yang pada akhirnya anda tidak mendapatkan hubungan saling mencintai. 

Cinta yang terarah keluar sepintas mengandung paradoks yang bersifat positif. Seperti halnya orang yang berpuasa, bercinta berarti memberikan usahanya pada orang yang kita cintai untuk minimal tidak dirugikan atau tersakiti atas sikap, perbuatan dan tutur kata kita. Upaya mengendalikan hawa nafsu dan emosi yang sulit terbendung ini, dapat aktif bekerja karena rasa mencintai itu juga turut aktif ambil bagian di dalamnya. 

Di sinilah pertama-tama sebuah aktivitas berpuasa itu bermuatan cinta. Berpuasa dan bercinta bagaikan dua sisi keping uang. Tanpa cinta, puasa hanya akan terselubungi oleh kepentingan dan keinginan diri (pahala, surga, dst.) yang pada sudut ini semua itu akhirnya barangkali hanyalah sebuah ilusi.     

Selain terarah keluar, cinta juga berkaitan dengan perbedaan. Dengan kata lain, cinta tidak meminati persamaan perspektif, ideologi, politik atau keyakinan agama. Cinta tidak meminati itu semua. Ketika cinta difondasikan pada persamaan sudut pandang, maka dengan sendirinya (tanpa disadari) eksklusivisme kian mendominasi sudut pandang yang berbeda.

Cinta mengejar masyarakat yang heterogen, sedangkan kebencian menginginkan homogenisasi. Mencintai adalah berada dan bersanding di tengah perbedaan. Kebencian menghancurkan dan menjauhi kemajemukan. 

Mencintai berarti memaafkan, menerima, dan merekonsiliasi relasi kemanusiaan. Sebaliknya, kebencian melakukan devaluasi (merendahkan status kemanusiaan) baik terhadap mereka yang berbeda maupun yang bersalah. Simpati dan empati lenyap di dalam diskursus kebencian.

Sedangkan cinta, hidup di atas fondasi keduanya.

Bagaimana dengan berpuasa? Salah satu fungsi dari berpuasa adalah mampu menghadapi rintangan nafsu rendah yang distimulus oleh orang lain maupun lingkungan sekitar. Kendati yang-berbeda itu tidak selalu dapat dimengerti sebagai sesuatu yang negatif, orang lain dapat memproduksi sekaligus menguji ketahanan nafsu rendah kita.

Demikian halnya dengan lingkungan sekitar seperti ideologi, politik atau agama yang berbeda. Di dalam berpuasa, perbedaan itu sendiri menjadi salah satu pilar tegaknya ibadah puasa. Tanpa menghadapi perbedaan, kenaikan tingkat spiritualitas-religius seseorang tak mungkin terjadi.   

Dalam rangka meningkatkannya, cinta perlu memperluas dimensi “aku”. Konsep ini sebetulnya berkaitan dengan kedua pengertian cinta yang telah saya paparkan. Saya tidak mungkin mencintai tangan, kaki atau tubuh saya sendiri. Sebab, tubuh saya sudah dengan sendirinya mendapatkan cinta yang ada begitu saja baik disadari maupun tidak. 

Demikian halnya dengan sosok seorang Ibu. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa cinta kepada seorang Ibu tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketika tangan anda sakit atau ibu anda jatuh sakit, maka secara spontan anda akan menolong dan merawatnya.

Pada titik inilah cinta perlu diperluas pada orang lain yang-berbeda. Jika dimensi "aku" pada cinta diperluas pada yang-berbeda, maka semua spesies manusia dipandang sebagai "kita". Kata ganti tersebut dengan sendirinya berbeda dengan kata “kami” atau “mereka”. Kedua kata tersebut masih bermuatan “aku” dan “kamu” (subjek-objek) sebagai wujud pemisahan dan perpisahan. Sementara “kita” tak lain merupakan wujud dari persatuan dan kesatuan. 

Dalam hal ini, bercinta itu merupakan wujud aktivitas menyatukan yang-berbeda. Bukan menggali jurang jarak yang dalam diantara kita. Demikian halnya dengan berpuasa yang berarti menyebarkan cinta sebagai wujud nyata mendekatkan diri pada Ilahi. 

Berpuasa tanpa bercinta melahirkan manusia yang semata mementingkan kepentingan dirinya. Berpuasa tanpa bercinta hanya akan memberikan kesempatan tumbuhnya benih-benih kebencian. Berpuasa tanpa bercinta berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan umat manusia. Berpuasa adalah cinta itu sendiri. 

Bulan suci Ramadhan sebentar lagi akan berakhir, marilah kita sama-sama terus belajar untuk bertumbuh menjadi manusia yang senantiasa menebar benih-benih cinta. Mari bercinta dengan cara menjadi tuan atas hasrat nafsu rendah kita. Mari berpuasa dengan mengarahkan diri pada yang-berbeda untuk mendekat pada Yang-Esa.

***

*)Oleh: Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.; Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum; Koordinator Pusat Pendidikan Karakter & Kepemimpinan Universitas Ma Chung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES