Peristiwa Daerah

Pengendalian Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus di Kota Yogyakarta Belum Kolaboratif

Senin, 10 Mei 2021 - 13:28 | 30.48k
ILUSTRASI: Dokumen Humas UGM for TIMES Indonesia
ILUSTRASI: Dokumen Humas UGM for TIMES Indonesia

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK UGM) dr. Merita Arini, MMR dalam ujian terbuka promosi doktor, Senin (10/5/2021) mengatakan Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus atau TB-DM merupakan penyakit penyerta yang dianggap memiliki risiko keparahan tinggi apabila terinfeksi virus Covid-19.

Meskipun di fasilitas layanan primer telah terdapat panduan nasional pengelolaan TB-DM, namun implementasinya di fasilitas kesehatan belum rutin dan sistematis. Menurutnya hingga saat ini masih terdapat hambatan dari aspek penyelenggaraan layanan kesehatan termasuk dampak pandemi Covid-19, faktor pasien, faktor petugas kesehatan, serta regulasi BPJS.

Oleh karena itu, capaian pelaksanaan skrining 2 arah masih sangat rendah yakni rata-rata 16,5 persen meskipun terus mengalami peningkatan. Bahkan capaian indikator proporsi temuan kasus TB-DM baru juga masih rendah dimana 5,8 persen dari seluruh pasien TB. Sedangkan capaian proporsi pengobatan TB 100 persen dan capaian pasien DM terkendali gula darahnya 85,7 persen.

Merita menjelaskan secara epidemiologis, gambaran beban penyakit menular di Indonesia dalam kasus TB sangatlah berat, di mana Indonesia menyumbang 8,5 persen jumlah penderita TB atau peringkat kedua terbanyak di dunia menurut WHO, 2020. Dalam Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, diketahui bahwa jumlah kasus TB yang ditemukan sebanyak 543.874 kasus.

"Tingginya prevalensi TB di Indonesia membutuhkan penemuan kasus TB (case finding) dan notifikasi yang lebih signifikan," katanya

Sementara penyakit Diabetes Mellitus, Indonesia menduduki peringkat 7 dunia jumlah penderita DM pada usia 20-79 tahun. Di sisi lain, prevalensi DM di Indonesia terus meningkat dan ditunjukkan dengan peningkatan yang mencolok dalam hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2006 sebanyak 5,9 persen menjadi 6,9 persen pada tahun 2016.

Mayoritas penduduk penderita DM (75 persen) tidak menyadari kesakitannya dan umumnya datang ke fasilitas kesehatan dalam keadaan terlambat dengan sudah beragam komplikasi. Prevalensi DM yang yang terdiagnosis dokter sebesar 2,1 persen dan prevalensi tertinggi berada di Provinsi DIY  sebesar 2,6 persen.

“Dibutuhkan pendekatan komprehensif agar kondisi pre-diabetik dapat diidentifikasi sedini mungkin, salah satunya melalui skrining pada individu berisiko,” ujarnya

Dosen Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menuturkan penelitian yang dilakukannya terhadap 18 Puskesmas di Kota Yogyakarta, disimpulkan bahwa pengelolaan TB-DM di Kota Yogyakarta belum kolaboratif meskipun terdapat peningkatan beban kasus.

Kolaborasi TB-DM telah mulai dikenalkan dalam bentuk sosialisasi dan didukung dengan kebijakan-kebijakan. Namun dari aspek kesiapan struktur dan proses, Puskesmas memiliki jenis sumber daya yang memadai namun membutuhkan kolaborasi multisektor.

Model kolaborasi TB-DM secara teknis meliputi upaya skrining dua arah, edukasi, penatalaksanaan TB-DM terintegrasi serta pencatatan dan pelaporan. Perumusan model melibatkan perspektif dan pengalaman pasien, petugas kesehatan, pemangku kepentingan, serta pakar untuk memastikan terpenuhinya komponen-komponen pelayanan penyakit kronis terintegrasi yang appropriate (berkualitas, aman) dan dapat diterapkan.

Kolaborasi TB-DM yang dirumuskan dan telah diujicobakan di tiga  Puskesmas potensial dapat diterima dan diterapkan meskipun masih didapatkan beberapa hambatan yang dapat menurunkan acceptability dan feasibility. Kata Merita, faktor-faktor penghambat meliputi hambatan penyelenggaraan layanan kesehatan termasuk dampak pandemi Covid-19, faktor pasien, faktor petugas kesehatan, serta regulasi BPJS.

“Faktor pemungkin yang dapat mendukung penerapan kolaborasi TB-DM meliputi aspek komunitas dan kebijakan, sistem kesehatan, serta pola komunikasi dan karakteristik individu petugas,”ungkap Merita

Menurutnya dibutuhkan peningkatan upaya-upaya pelayanan yang berpusat pada pasien, peningkatan kapasitas petugas, institusionalisasi kolaborasi hingga tingkat faskes, termasuk perlunya advokasi kepada pemangku kepentingan terkait, serta monitoring dan evaluasi yang intensif.

“Pelibatan fasilitas kesehatan swasta, RS, dan lintas sektor penting untuk diupayakan guna meningkatkan kolaborasi pelayanan dan pengendalian Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus di Kota Yogyakarta," papar Merita dalam ujian promosi doktor FKKMK UGM. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES