Kopi TIMES

Penyesuaian Budaya Mudik di Tengah Pandemi

Sabtu, 08 Mei 2021 - 16:00 | 86.44k
Haris Zaky Mubarak, MA, Direktur Jaringan Studi Indonesia.
Haris Zaky Mubarak, MA, Direktur Jaringan Studi Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hampir dua tahun ini Indonesia dilanda krisis pandemi Covid-19. Situasi ini pun berdampak pada lemahnya sendi - sendi kehidupan ekonomi, politik, moral, dan sebagainya. Krisis yang kita rasakan hari ini merupakan bencana global yang hampir semua negara di dunia mengalami gangguannya.

Bahkan sekarang masuk fase kedua gelombang penyebaran virus Covid -19 yang lebih mematikan. Seperti yang ditunjukkan dalam gelombang tsunami Covid-19 di India baru-baru ini mencatatkan rekor baru penambahan 300.000 kasus Covid-19 pada 22 April 2021. Salah satu penyebabnya diduga adanya varian mutasi ganda B.1.617. Disebut mutasi ganda karena varian virus ini mengandung dua mutasi di dalamnya yakni L4525 dan E484Q. Kini semua negara bersiap-siap menghadapi gelombang baru penyebaran virus tersebut.

Sebagai antisipasi terhadap berbagai kemungkinan dampak buruknya, pemerintah melalui satuan Tugas Penanganan Covid-19, dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 yang bertujuan untuk pemantauan, pengendalian, dan evaluasi, dalam rangka mencegah peningkatan Covid-19 selama Ramadhan dan Idul Fitri 1442 H. Adanya aturan tersebut yang menjadi dasar adanya larangan mudik Lebaran.

Selain itu berbagai upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan penyebaran Covid-19 terus digalakkan, termasuk upaya antisipasi dampak jangka panjang dan jangka pendek. 

Perubahan Silaturahmi

Tradisi mudik atau pulang sebentar ke kampung halaman sudah menjadi budaya di Indonesia yang menjadi ajang temu silaturahmi dengan keluarga, sahabat atau tetangga yang lama tak berjumpa. Tradisi mudik lebaran dapat juga dikatakan sebagai masa relaksasi setelah melewati kepenatan rutinitas kerja di kota. Tradisi mudik lebaran juga merupakan wujud cinta kampung halaman manakala mereka yang pergi merantau ke kota rindu kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Tradisi mudik lebaran merupakan praktik budaya di Indonesia yang menarik untuk kita cermati dalam kesadaran simbolis beragama.Terutama dalam membangun solidaritas dan nilai kebersamaan yang memperkuat ikatan kekerabatan dan juga tindakan sosial. Jika kita melihat pada realita spirit berbangsa dan bernegara di Indonesia maka prinsip  silaturahmi kepada sesama merupakan hal ajeg yang memiliki strukturisasi sosial secara penuh dan nyata.

Dalam paradigma sosial, sebuah struktur terlahir atas beberapa kesadaran sebagai hasil dari pengaruh berbagai kejadian sehari-hari dan tindakan sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif)). Tradisi mudik lebaran merupakan wujud kesadaran sosial beragama setiap tahun yang dilakukan terus menerus hingga membuat keberadaannya kini sudah menjadi struktur sosial yang kokoh.

Menjalin silaturahmi secara nyata menjadi nilai pokok yang terpenting dari tradisi mudik lebaran. Konteks ini tentu menjadi hal baik bagi kontinuitas kesadaran simbolis agama sebagai pembentuk harmoni yang memproduksi dan juga mereproduksi beragam nilai untuk seluruh lapisan sosial masyarakat. Kesadaran tradisi mudik lebaran menjadi hal penting yang mempengaruhi integrasi budaya nasional. Keberadaan tradisi mudik lebaran bukan saja memunculkan proleferasi atas hidupnya praktik budaya secara parsial untuk kalangan tertentu tapi juga menggerakkan ruang budaya lain untuk melahirkan modernitas budaya baru.  

Meniadakan tradisi mudik di masa perayaan Idul Fitri boleh jadi merupakan hal yang tak biasa bagi masyarakat Indonesia. Hal inilah yang menjadi aktualisasi budaya yang sulit untuk diubah. Aktivitas mudik pun seolah menjadi hal yang tabu jika tidak dilakukan. Begitu pentingnya tradisi mudik,  Kuntowijoyo bahkan pernah mendefinisikan tradisi mudik sebagai proses pengembalian diri kearah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan yang nyata terjadi ditengah masyarakat. (Kuntowijoyo, 2006).  

Istilah mudik begitu popular di Indonesia pada dasawarsa 1970-an, istilah ini muncul ditengah rencana pembangunan nasional yang begitu besar saat itu. Istilah mudik ini sendiri diambil dari istilah yang popular pada masyarakat Jawa yakni Mulih Disikyang bisa diartikan pulang dulu atau pulang sebentar. Pengertian mudik yang diartikan secara luas sebagai aktivitas pulang sebentar ke kampung halaman sampai hari ini memberi makna besar bagi masyarakat Indonesia untuk melihat kembali nilai keluhuran tentang kampung halaman, keluarga dan kerabat.

Karenanya tak heran jika para pemudik (sebutan yang mudik) sangat begitu antusias saat waktu mudik telah tiba. Kita tentu memahami betapa besarnya rasa kerinduan setiap warga masyarakat yang tetap ingin mudik ke kampung halaman. Karena kampung halamanlah yang menjadi tempat kelahiran dan saksi titik awal seseorang yang berjuang dalam tantangan kehidupan.

Umar Kayam (2002) pun pernah menyebut bahwa aktivitas mudik akan selalu menjadi esensial dalam kebutuhan aktualisasi masyarakat Indonesia karena besarnya pemahaman asal usul genetis seseorang yang sangat kuat dalam ikatan emosional para pemudik. Hal ini disadari sangat mengakar kuat dalam nilai – nilai lama dan akan menjadi identitas asal usul hidup seseorang. Lebih jauh lagi,kepulangan pemudik dari kota ke desa telah dianggap sebagai simbol romantisme kenangan bagi jejak sejarah kehidupan seseorang.

Adaptasi Baru

Dimasa wabah pandemi Covid-19 dengan aturan protokoler kesehatan yang terikat, kita tentu berharap jalinan silaturahmi dan romansa kerinduan kita yang sangat memuncak terhadap kampung halaman dan keluarga dapat tetap terjaga dengan baik. Fisik mungkin tak dapat mudik tapi jiwa, hati dan pikiran kita tetap selalu semangat untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang yang sama kepada setiap keluarga dan kerabat yang

Budaya mudik untuk kondisi sekarang ini boleh jadi hanya akan dapat kita lakukan secara virtual melalui perangkat teknologi digital aplikasi online yang memungkinkan kita untuk saling tatap muka dan juga berbicara secara langsung kepada keluarga dan kerabat. Di tengah sepinya geliat ekonomi Ramadan 1442 H akibat pandemi Covid-19, momentum ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran dalam mengubah mindset pemudik yang selama ini terbiasa dengan aktivitas mudik secara langsung untuk dapat mengadaptasikan diri dalam kebiasaan dan tradisi baru yakni silaturahmi digital. 

Melalui silaturahmi digital menggunakan Interconnection-networking (internet) , jalinan silaturahmi diharapkan tetap terus terjalin tanpa mengurangi rasa kehangatan yang besar. Meski terbatas,tapi percayalah penyesuaian budaya mudik melalui cara seperti ini turut memberi nilai tradisi yang penting dalam menjaga kehangatan silahturahmi kita yang sangat rindu akan kampung halaman.

***

*)Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Direktur Jaringan Studi Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES