Kopi TIMES

Catatan untuk Kasus Gus Miftah

Sabtu, 08 Mei 2021 - 12:12 | 200.49k
Moh. Syaeful Bahar.
Moh. Syaeful Bahar.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kehadiran Gus Miftah dalam pembukaan Gereja Bethel Indonesia (GBI) terus menjadi perdebatan publik. Pro dan kontra terus bermunculan. Terutama di dunia maya, perdebatannya lebih sengit, mulai dari adu dalil hingga saling hujat. Dari yang sangat argumentatif hingga yang dangkal argumentasinya.
Saya sendiri awalnya tak tertarik untuk ikut serta berkomentar, kenapa? Karena ini tema lama. Kasus lama. Tak terlalu urgen terlibat dalam diskusi yang tak poduktif ini.

Sebelum Gus Miftah, Gus Dur dulu juga pernah mengalami. Di hujat, bahkan dihukumi kafir. Gus Dur pernah difitnah dan dituduh telah dibaptis menjadi Nasrani, itu semua karena Gus Dur sering keluar masuk gereja.

Artinya, apa yang dialami oleh Gus Miftah tak seberapa dibanding dengan Gus Dur. Fitnah dan tuduhan pada Gus Miftah tak seberat tuduhan dan fitnah pada Gus Dur. Tapi Gus Dur terus berjalan, tetap bergeming, tak peduli atas semua tuduhan, pendiriannya kokoh, tujuannya adalah membumikan toleransi. Kemungkinan besar Gus Miftah akan mengambil jalan yang sama, bergeming memperjuangkan keyakinannya.

Perdebatan tentang boleh tidaknya seorang muslim masuk dan melakukan aktivitas bersama dengan non muslim di rumah ibadah mereka adalah wilayah furu’iyah (cabang) dalam Islam. Masuk dalam wilayah interpretasi, karenanya, persoalan boleh dan tidak bolehnya seorang muslim masuk ke dalam rumah ibadah non muslim menjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) para ulama.

Empat Imam Madzhab yang paling banyak dirujuk dalam tradisi Islam Sunni, yaitu Imam Abu Hanifah (Abu Nu’man bin Tsabit), Imam Malik (Malik bin Anas al-Asbahi) , Imam Safi’i (Muhammad bin Idris Al Syafi’i) dan Imam Ahmad bin Hambal (Ahmad bin Hambal Al Syaubani) berbeda pendapat tentang hal ini.

Kajian tentang hal ini telah banyak dilakukakan. Tulisan atau penjelasan tentang hal ini juga gampang ditemukan, baik dalam bentuk tulisan online, bentuk cetak (buku dan jurnal) ataupun sekadar video-video sebagaimana banyak ditemukan di chanel youtube.

PERDEBATAN YANG TAK PRODUKTIF

Menjadi persoalan, ketika perdebatan menjadi liar dan tak terkendali. Dilakukan bukan oleh mereka yang berilmu, tapi dilakukan oleh orang yang tak berilmu. Pun, bukan dilakukan di warung-warung kopi, sebagaimana biasanya debat kusir dilakukan, tapi dilakukan di media-media sosial. Di group-group WA, di Facebook, di Twitter dan Instagram. Dengan daya jangkau yang luas tanpa batas dan tentu saja, serta cenderung menyertakan tensi emosi yang tinggi.

Orang-orang yang terlibat dalam diskusi saling bantah bukan di dunia nyata, tidak berhadap-hadapan, tapi dunia maya, sehingga rasa empati, rasa menghormati pihak lain tak muncul. Mereka abai pada sikap saling menghargai, sekali lagi, ini karena efek mereka tak bertatap muka. Etika yang biasanya dipakai dalam komunikasi tatap muka menjadi hilang, pudar.

Tak heran, karena alasan perdebatan yang sama sekali jauh dari kata ilmiah ini, ketegangan sering muncul menyertai. Saling hujat terjadi. Saling ejek dan saling serang kerap terjadi. Perdebatan menjadi tak terkendali. Tentu tak ada dalil yang menjadi dasar argumentasi. Hanya atas dasar cocok dan tak cocok saja. Paling banter, argumentsi yang dibangun berdasarkan “dalil” copy paste dari berbagai potongan pernyataan pendapat para tokoh.

Ironisnya, para tokoh yang dirujukpun, bukan semuanya adalah orang yang memiliki kapasitas yang cukup. Jikapun ada pendapat yang muncul dari seorang yang memiliki kapasitas (ulama), hampir bisa dipastikan bahwa pendapat tersebut sudah tersajikan dalam bentuk tak lagi utuh. Diedit sedemikian rupa, disesuaikan dengan selera dan arah kepentingan editor.

LUPAKAN PERDEBATAN, WASPADAI EFEKNYA

Alasan saya menulis dan sekaligus fokus tulisan ini adalah efek buruk dari perdebatan yang tak sehat di atas. Karena perdebatan tak lagi berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, maka yang muncul bukan saling adu ide dan kesahehan refrensi, namun yang muncul hanya provokasi dan caci maki.

Problemnya, tema yang diperdebatkan adalah tema yang cukup sensitif. Bukan hanya sensitif pada persoalan aqidah keIslaman namun juga sensitif atas kekokohan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Pertama,  persoalan aqidah keislaman. Pendapat kelompok yang menyederhanakan kehadiran Gus Miftah ke Gereja Bethel Indonesia (BTI) sebagai sebuah kegiatan yang tak perlu ditarik-tarik pada persoalan aqidah, berpotensi melahirkan sikap acuh pada ajaran Islam sendiri. Beberapa prilaku anak-anak muda  Islam yang hadir ke acara-acara peribadatan agama lain, tanpa didasari oleh alasan kuat adalah bukti dari kekhawatiran munculnya sikap acuh di atas.

Bisa jadi kehadiran mereka sekadar meniru apa yang dilakukan oleh Gus Dur ataupun Gus Miftah. Tanpa mereka tahu, dasar atau dalil yang dipakai oleh Gus Dur dan Gus Miftah, serta tujuan dari kehadiran keduanya. Padahal, dalil atau seperangkat pengetahuan tentang boleh tidak (halal haram) dan baik tidak (maslahah atau mafsadat) adalah sesuatu yang fundamental dalam melakukan interaksi dengan non muslim.

Prilaku yang acuh atas dalil-dalil agama ini yang rawan menjadikan mereka “tersesat” tak menemukan arah yang sebenarnya dalam menyikapi dan memahami makna toleransi yang diajarkan oleh Gus Dur dan Gus Miftah.

Berikutnya, bagi kelompok yang memprovokasi bahwa apa yang dilakukan Gus Dur atau Gus Miftah adalah bentuk kesesatan, bahkan dengan terbuka mengatakan sebagai sebuah kekafiran, juga melahirkan masalah yang serius. Kelompok ini rawan mengajak dan menciptakan radikalisme agama.

Sesuatu yang selama ini sangat dikhawatirkan tumbuh kembangnya di Indonesia. Beberapa kasus terorisme yang dilakukan oleh orang-orang soleh tapi lugu (tak memiliki ilmu agama yang cukup) adalah buah dari provokasi murahan semacam ini.

Kelompok ini dengan mudah mengatakan bahwa ini persoalan ushuluddin (dasar agama) sehingga berkonsekwensi pada kemurtadan. Padahal hal ini adalah persoalan furu’iyah (cabang agama) yang memang masuk wilayah interpretable bagi para ulama. Padahal jelas-jelas nabi mengatakan bahwa tuduhan kafir pada seorang muslim dapat mengakibatkan kekafiran bagi penuduhnya. Ini menunjukkan betapa seriusnya tuduhan kafir pada identitas keIslaman seseorang. Salah menuduh, maka dirinya (penuduh) yang menjadi kafir.

Kedua, persoalan kekokohan kerukunan umat beragama di Indonesia. Perdebatan yang tak produktif ini dapat menganggu dan merusak kerukunan yang selama ini telah ada di Indonesia.

Bagi kelompok yang membabi buta mendukung Gus Dur dan Gus Miftah tanpa didasari dengan pengetahuan yang cukup dapat terjebak pada perbuatan pelecehan atau penistaan pada agama lain atau pada agamanya sendiri. Akibat terburuknya adalah hancurnya kerukunan umat beragama di Indonesia.

Misal, mencampur adukkan peribadatan beberapa agama dalam satu ritual. Tentu ini adalah bentuk toleransi yang kebabbalasan. Prilaku ini tidak hanya menghancurkan sendi-sendi agama, tapi juga dapat menyinggung perasaan umat beragama lainnya, atau bahkan bisa saja menyinggung perasaan umat seagamanya. Sehingga perbuatan mencampuradukkan ritual agama tersebut memiliki potensi merusak lebih besar dari pada potensi merawat terhadp nilai-nilai kerukunan beragama.

Pada sisi yang lain, sikap kelompok yangde pandai memprovokasi perbuatan Gus Miftah atau Gus Dur sebagai perbuatan sesat juga sangat berpotensi menghancurkan kerukunan umat beragama di Indonesia, bahkan, hemat saya, potensi kelompok ke dua ini lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang pertama.

Provokasi dan agitasi yang mereka lakukan tidak hanya menyinggung pribadi Gus Miftah tapi juga menyerang agama lain. Berdalih bahwa kebenaran hanya milik mereka, lalu mereka mencari dalih atas kesalahan agama lain. Parahnya, tuduhan itu dilakukan secara terbuka, berulangkali dan disampaikan dengan penuh kebencian.

Catatan Akhir

Masa depan Indonesia sedang dipertaruhkan, wajah Islam juga dipertaruhkan. Membiarkan perdebatan yang tak produktif terus ini berlanjut sangat beresiko pada Islam dan Indonesia.

Sudah saatnya masyarakat belajar bermedia sosial yang benar. Mengedepankan etika, belajar klarifikasi (tabayun) sebelum menghukumi dan menuduh pihak lain. Jika perlu, bertanyalah pada mereka yang memiliki kapasitas untuk menjawab.

Masyarakat juga harus mulai sadar bahwa tak semua isu yang berkaitan dengan agama adalah benar-benar untuk kepentingan agama. Pasca Pilpres yang begitu keras, harusnya masyarakat mulai sadar bahwa dalam konteks politik, agamapun dapat dijadikan komuditi. Agama sekadar menjadi instrumen konsolidasi kepentingan, hanya untuk meraup insentif elektoral di saat Pemilu dilaksanakan. Sayapun yakin, bahwa perdebatan tentang kasus Gus Miftah tak benar-benar berdasarkan kepentingan agama, namun sangat kental warna ambisi kekuasaan. Wallahu a’lam.

***

•) Penulis adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES