Kopi TIMES

Lonjakan Permohonan Diska, Potret Pencegahan Perkawinan Anak yang Terabaikan

Sabtu, 08 Mei 2021 - 02:30 | 64.03k
Suwarti, Ketua KPR Tuban.
Suwarti, Ketua KPR Tuban.

TIMESINDONESIA, TUBAN – Undang - undang nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas UU tahun 1974 tentang Perkawinan menitikberatkan pada pasal 7 yakni batasan usia perkawinan dari semula usia 16 tahun menjadi 18 tahun. Perubahan itu sebagai upaya mencegah terjadinya perkawinan anak.

Perkawinan anak merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak dan perlindungan anak diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak, Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak dan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin. 

Dalam Kepres 36/1990 ratifikasi dijelaskan, perlindungan anak adalah segala kegiatan menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Serta mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) tahun 2015-2030 dalam tujuan kelima 5 point 3 yaitu menghapuskan segala semua praktek-praktek membahayakan seperti perkawinan anak. 

Dari laporan penelitian mengenai perkawinan anak oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) dengan UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diterbitkan laporan 2020 lalu, populasi penduduk Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia, diangka 1.220.900 anak di Indonesia dari data BPS. 

Sedangkan K.P.Ronggolawe sejak tahun 2004 - 2020 telah mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan total 1617 kasus. setiap klien/korban didampingi KPR dari tahapan konseling baru kemudian tahapan-tahapan lain. Hasil konseling rata-rata kasus KDRT disebabkan karena mereka menikah di usia anak bahkan kasus kekerasan seksual/KS. 

Sebab lainya, adanya kerentanan dan dampak terburuk bagi  anak menikah, sebenarnya oleh pemerintah lewat KPPA melalukan pembentukan forum PUSPA dan forum anak yang di intruksikan ke seluruh tanah air Indonesia. Berlanjut tingkat daerah pemerintah Kabupaten Tuban melalui Dinas Sosial dan P3A membentuk kedua forum tersebut. Akan tetapi forum ini pun mati suri. 

Lucunya, Kabupaten Tuban langganan mendapatkan penghargaan Kabupaten Layak Anak (KLA). Sebuah penghargaan diberikan untuk Kabupaten/Kota yang memenuhi indikator salah satunya tentang pencegahan atau menekan terjadinya perkawinan anak.

Namun siapa sangka, jumlah perkawinan usia anak (PUA) di Kabupaten Tuban Tahun 2019-2020 terdapat 781 kasus dengan prosentase PUA 4,10% tahun 2019 dan 4,07% tahun 2020. Dan pada tahun 2021 lonjakan permohonan dispensasi nikah (diska) mencapai angka 224 perkara dengan rincian bulan Januari 72 perkara, Februari 37 perkara, Maret 47 perkara dan April 68 perkara.

Sampai muncul dalam sebuah pemberitaan yang berjudul "Ketua Pengadilan Agama Keluhkan Banyaknya Permohonan Diska"

Hal ini sungguh ironis. Melihat kondisi diatas sangat memprihatinkan apabila Pemda Tuban hanya terfokus penilaian KLA. Tetapi abai situasi perkawinan anak di Tuban melonjak tajam.

Kian meningkatnya permohonan dispensasi nikah memperlihatkan bahwa pemkab Tuban belum bergerak secara nyata melakukan kampanye dan sosialisasi peraturan nomor 16 tahun 2019 perubahan atas Undang-undang nomor 1974 tentang Perkawinan UU Nomor 35 Tahun 2014 perubahan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlidungan Anak dan Kepres nomor  36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak utamanya pada aparat tingkat Kecamatan, Desa dan juga masyarakatnya. Dan juga pemkab Tuban disinyalir belum menjalankan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin.

Dari Advokasi dilakukan K.P.Ronggolawe menemukan beragam alasan selalu jadi dalih permohonan Diska diantaranya menghindari zina dan anak perempuan korban kekerasan seksual yang dinikahkan dengan pelaku. 

Bertolak saran dunia medis dijelaskan bahwa anak perempuan rentan berisiko mengalami gangguan reproduksi, psikologis, anak lahir cacat dan stunting akibat dari belum siapnya system reproduksi untuk dibuahi. Selain itu, korban kekerasan seksual dinikahkan dengan pelaku bisa berakibat menjadi korban yang kedua kali. 

Korban kekerasan seksual harusnya mendapat perlindungan bukanya malah harus mengalami trauma kembali akibat dipertemukan dengan pelaku dalam ikatan perkawinan. Alasan mengakar ini kemudian bisa menjadi penyebab terjadikan KDRT. 

K.P.Ronggolawe juga menemukan fakta lapang tentang faktor terjadinya gugatan perceraian yakni KDRT dimana korban ketika menikah usia dibawah 18 tahun. Sebab usia belasan, anak belum matang mengelola emosi, belum memahami cara mengurai permasalahan, belum mengetahui cara mengasuh anak dengan memberikan perindungan, tumbuh kembang yang baik serta keterbatasan skill situasi tersebut.

Angka perceraian di Kabupaten Tuban, kurun waktu Januari-April 2021 sebanyak 1.513 perkara dengan rincian bulan Januari 355, Februari 377, Maret 404 dan April 377. 

Panitera Muda PA Tuban Qomarul Huda mengatakan bahwa beberapa faktor menjadikan angka perceraian di Tuban, diantaranya meninggalkan salah satu pihak, pertengkaran secara terus menerus dan KDRT sampai permasalahan ekonomi. 

Sebab itu, Pemerintah Daerah melalui P2TP2A mempunyai tanggungjawab menjalankan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin yang tertuang dalam pasal 15 d, meminta rekomendasi dari Psikolog atau Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD); "pasal 16 h" mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orang tua, berdasarkan rekomendasi dari Psikolog, Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, P2TP2A atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD);  dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tentang batasan usia perkawianan serta dampak perkawinan anak dengan mensosialisasikan UU PA dan UU Perkawinan kepada aparat desa, KUA dan masyarakat.(*) 

***

*)Oleh: Suwarti, Ketua KPR Tuban.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES