Kopi TIMES

Komitmen Berdemokrasi

Jumat, 07 Mei 2021 - 20:14 | 74.99k
M. Dwi Sugiarto, Pemerhati politik dan pemilu, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang, Anggota Panwascam Teras pada Pilkada Boyolali 2020.
M. Dwi Sugiarto, Pemerhati politik dan pemilu, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang, Anggota Panwascam Teras pada Pilkada Boyolali 2020.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Salah satu ujian paling nyata dalam berdemokrasi adalah memaksakan kehendak atas kekuasaan untuk terus berkuasa tak terbatas. Kenyataan dalam demokrasi menghadirkan dua poros kekuatan yaitu kekuatan menjaga kelestarian berkuasa (dinasti) serta kekuatan merebut kekuasaan (oposisi).

Melanggengkan kekuasaan tidak terbatas jelas bentuk penghianatan terhadap demokrasi secara utuh baik melalui proses demokrasi maupun “seakan demokrasi”, karena pergantian kekuasaan menjadi sebuah keniscayaan, artinya tidak ada kekuatan abadi dan terlalu dominan atas kekuatan yang lain. Bila ada kekuatan yang powerfull dominan akan menimbulkan penyalahgunaan terhadap power (kekuatan/kekuasaan) itu sendiri. Ungkapan power tends to corrupt, but power absolutelly corrupt absolutelly menjadi warning atas tidak bolehnya kekuasaan mutlak dimiliki oleh sebuah kekuatan.

Ujian dalam berdemokrasi di Indonesia menghadapi tantangan dengan masih sempat beredarnya isu penambahan masa jabatan presiden-wakil presiden untuk dapat dipilih kembali dari dua periode menjadi tiga periode. Walaupun isu tersebut akhirnya tenggelam dengan sendirinya tetapi patut untuk direfleksikan agar tidak menjadi kenyataan dimasa depan. Isu tersebut jelas menimbulkan gonjang-ganjing dan muncul tenggelam begitu saja, tetapi hal tersebut menjadi pengingat bahwa potensi tersebut dapat terjadi kapan saja dan dilakukan oleh siapa saja. Menambah masa jabatan presiden-wakil presiden menjadi tiga periode atau lebih berarti menarik mundur kebelakang perjalanan demokrasi sebuah bangsa.

Wacana presiden-wakil presiden menjadi tiga periode bukan kali pertama berdengung di perpolitikan Indonesia pasca reformasi 1998, sebelumnya di periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang menjabat juga pernah terjadi. Popularitas dan kekuatan politik yang dimiliki SBY waktu itu dianggap sangatlah besar. Pertama, SBY memenangkan kursi presiden di periode kedua dengan memperoleh dukungan 60 persen suara melalui satu putaran. Kedua, Partai Demokrat sebagai pengusung utama SBY menjadi pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 dengan 20 persen suara.

Seandainya pada waktu itu pembatasan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode atau justru kembali tidak dibatasi mungkin SBY masih menjabat hingga sekarang atau setidaknya regenerasinyalah yang menjabat sebagai presiden/wakil presiden sekarang. Perlu diingat bahwa semangat melakukan amandemen UUD 1945 pasal 7 untuk membatasi masa jabatan presiden-wakil presiden hanya dua periode adalah hasil dari perjalanan politik bangsa Indonesia agar tidak terjadi kepemimpinan otoriter dengan masa kekuasaan tak terbatas.

Sikap SBY yang tegas menolak wacana tersebut sangat patut diapresiasi dan diteladani, mengingat kesempatan yang bisa dan mungkin saja dilakukan oleh SBY pada waktu itu mendesain masa jabatan presiden hingga tiga periode bahkan lebih. Jika SBY berkenan, pembenaran lainnya adalah berkaca dari gejolak politik yang terjadi dimasa awal reformasi saat Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diturunkan dari jabatannya. Memori pemakzulan Gus Dur jelas bukan sebuah pengalaman yang baik dalam rangka konsolidasi politik dimasa awal reformasi membangun demokrasi yang kuat, yang terjadi justru demokrasi yang liar. Reformasi akhirnya hanya menghasilkan demokrasi, tetapi demokrasi tanpa arah dan tidak menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.

Tantangan atas komitmen berdemokrasi selalu hadir beriringan dengan hadirnya kekuasaan dalam genggaman. Sulit memang melepaskan nikmatnya kursi kekuasaan untuk ditinggalkan dan bersusah payah terlibat untuk memperebutkannya kembali. Tetapi inilah pilihan demokrasi yang membuat siapapun berkesempatan duduk di singgasana kekuasaan sebagaimana syarat dan ketentuan yang berlaku dalam konstitusi. SBY yang menjabat presiden dua periode dalam sistem demokrasi pemilihan langsung pasca reformasi menjadi orang pertama yang menghadapi ujian demokrasi tersebut dan kini di periode kedua Presiden Joko Widodo wacana tersebut kembali muncul.

Ujian komitmen presiden

Presiden Jokowi pada beberapa kesempatan telah tegas menyatakan menolak dan akan menjaga amanat konstitusi bahwa presiden-wakil presiden cukup dua periode. Sangat wajar jika Presiden Jokowi bereaksi keras karena wacana tersebut mutlak menyangkut dirinya, fakta bahwa hal tersebut dapat menjadi jalan baginya untuk memungkin kembali maju dalam pilpres mendatang. Ini menjadi ujian dan tantangan atas komitmen berdemokrasi presiden karena dihadapkan pada kemungkinan menjabat sebagai presiden lebih lama atau cukup berakhir dua periode seperti SBY.

Seandainya nantinya dalam dua tahun kedepan sebelum Pilpres 2024 terjadi amandemen UUD 1945 dan presiden-wakil presiden boleh menjabat lebih dari dua periode maka sepatutnya Presiden Jokowi tidak mencalonkan diri. Hal ini guna membuktikan komitmen beliau dalam berdemokrasi dan tidak tergiur secara gila dalam berkuasa.

Selain maksud politik untuk melanggengkan kekuasaan presiden-wakil presiden, masa jabatan presiden/wakil presiden rasanya sudah cukup maksimal 10 tahun (dua periode). Dua presiden terakhir masing-masing menjabat dua periode dengan hasil kerja yang dapat dilihat dan dinilai oleh masyarakat. Jika kemudian muncul argumen menambah masa jabatan presiden karena kurang optimalnya hasil kerja presiden karena kurangnya waktu yang diberikan, maka pernyataannya dapat dibalik agar ketika menjabat sebagai pemimpin harus diiringi dengan target waktu dan tidak melebihi dari batas waktu yang dimiliki. Untuk itulah pentingnya membangun visi misi bagi pimpinan eksekutif baik pemerintah pusat maupun daerah memperhatikan masa tugasnya dengan tidak berjanji secara berlebihan saat berkampanye.

Peluang Jokowi tiga periode

Menghitung skema memasukkan wacana penambahan masa jabatan presiden-wakil presiden hingga tiga periode sangat mungkin dilakukan oleh koalisi pemerintah. Melihat komposisi yang ada di koalisi pemerintah saat ini untuk memenuhi syarat dapat dilakukannya amandemen cukup besar peluangnya, dengan catatan tentunya koalisi pemerintah solid menyetujui untuk melakukan amandemen.

Syarat untuk dapat melakukan amandemen UUD 1945 diatur dalam ketentuan Pasal 37 ayat 1-3. Langkah pertama untuk melakukam perubahan pasal atau amandemen UUD 1945 diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 jumlah anggota MPR, atau saat ini sekitar 237 dari total 711 jumlah anggota MPR. Kemudian dalam hal sudah disepakati untuk melakukan amandemen dalam sidang MPR maka untuk dapat melakukan persidangan harus dihadiri minimal 2/3 anggota MPR yaitu sekitar 474. Sedangkan untuk dapat memutuskan mengubah pasal maka harus disetujui sekurang-kurangnya 50 persen+1 anggota dari seluruh anggota MPR RI yaitu sekitar 357 anggota.

Komposisi anggota MPR RI saat ini berjumlah 575 anggota dari unsur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 136 anggota dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Koalisi pemerintah saat ini di DPR ada sekitar 427 anggota atau setara 74 persen dan memiliki kekuatan 60 persen di MPR. Bila ada tambahan dukungan dari DPD setidaknya 47 anggota maka sudah sangat mungkin amandemen akan terlaksana.

Tambahan anggota koalisi pemerintah jelas akan memuluskan agenda amandemen UUD 1945 menambah masa jabatan presiden-wakil presiden. Tetapi perlu diingat kembali bahwa Presiden Jokowi telah tegas menolak tidak akan setuju dengan wacana presiden tiga periode. Namun presiden tetaplah jabatan yang sangat menggiurkan, bila rakyat menghendaki mungkin Presiden Jokowi juga masih mungkin mau menjadi presiden kembali.

***

*) Oleh: M. Dwi Sugiarto, Pemerhati politik dan pemilu, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang, Anggota Panwascam Teras pada Pilkada Boyolali 2020.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES