Kopi TIMES

Kebijakan Penataan Kebun Rakyat di Kawasan Hutan, Solusi atau Masalah?

Senin, 03 Mei 2021 - 12:58 | 97.71k
Arifin Ma’ruf, S.H., M.H., (Asisten Teknis Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia-Yayasan KEHATI).
Arifin Ma’ruf, S.H., M.H., (Asisten Teknis Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia-Yayasan KEHATI).

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada akhir tahun 2020 silam, Pemerintah telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang – Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Terlepas dari banyaknya pro dan kontra atas lahirnya UUCK tersebut, namun pemerintah beranggapan lahirnya undang – undang ini dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang selama ini belum juga terselesaikan, salah satunya adalah problem adanya kebun – kebun rakyat yang berada di dalam Kawasan Hutan.

Dalam ketentuan Pasal 17A Jo Pasal 110B UUCK mengatur bahwa lahan – lahan masyarakat yang luasnya maksimal 5 hektar dikecualikan dari pengenaan sanksi administratif dengan syarat bahwa masyarakat tersebut telah tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan minimal 5 tahun berturut – turut dibuktikan dengan surat keterangan domisili dan/atau Kartu Tanda Penduduk (KTP).  Untuk lahan dibuktikan dengan bukti penguasaan tanah, surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah setempat; atau surat pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan termasuk di dalamnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Ketentuan tersebut selanjutnya di atur lebih lanjut dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Denda Administratif Bidang Kehutanan (PP 24/2021) Dalam aturan ini, dipertegas bahwa penduduk yang yang sudah tinggal minimal 5 tahun dan memiliki lahan di dalam kawasan hutan maksimal 5 hektar akan dikecualikan dari pengenaan sanksi administratif dan akan diselesaikan dengan kebijakan penataan kawasan hutan. 

Penataan Kawasan Hutan? 

Klausul penataan kawasan hutan dalam PP 24/2021 tidak serta merta diartikan sebagai legalisasi lahan/aset. Namun PP 24/2021 menterjemahkan penataan kawasan hutan dilakukan dengan program perhutanan sosial, Penyediaan tanah obyek reforma agraria (TORA), dan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Dengan demikian, anggapan sebagian masyarakat bahwa lahan kawasan hutan yang ia kuasai  nantinya akan diberikan sertifikat hak atas tanah (HAT) tidak sepenuhnya benar.

Pertanyaanya, lalu bagaimana jika lahan yang dikuasai masyarakat berupa kebun kelapa sawit? padahal, pranata kehutanan sama sekali tidak mengizinkan tanaman ini ada di kawasan hutan?. Sebenarnya PP 24/2021 masih sama dengan kebijakan – kebijakan sebelumnya, yakni melarang adanya tanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Namun, tidak serta merta dilarang, dalam Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, memberikan kelonggaran  yakni dilakukan jangka benah selama 25 tahun pada hutan produksi dan 15 tahun pada hutan lindung/konservasi. Angka 25 tahun dan 15 tahun adalah batas umur tanaman kelapa sawit diperbolehkan ada di dalam kawasan hutan.

Solusi atau Masalah?

Kebijakan penataan kebun rakyat di kawasan hutan ini masih menimbulkan banyak pertanyaan, misalnya, bagaimana jika masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan menguasai kebun diatas 5 hektar? apabila dibaca secara normative tentu kriteria ini tidak bisa masuk dalam program penataan kawasan hutan dan akan dikenakan sanksi administratif, apabila seperti itu, tentu tidak akan bisa memberikan rasa keadilan di masyarakat.

Selanjutnya kebijakan jangka benah dengan memberikan batasan 25 tahun pada hutan produksi dan 15 tahun  pada hutan lindung/konservasi tentu akan menimbulkan permasalahan baru, yakni ancaman sumber penghidupan masyarakat yang bisa jadi berkurang. Seharusnya pemerintah membaca ulang konsep jangka benah yang ditawarkan Fakultas Kehutanan UGM – SPOS Indonesia dimana strategi jangka benah tidak dilakukan dengan membatasi umur tanaman kelapa sawit, namun membiarkan tanaman kelapa sawit berbaur dengan tanaman kehutanan secara alami dengan dilakukan strategi perencanaan dan pelaksanaan yang matang.

Tawaran dan Usulan

Konsep penataan kebun rakyat di kawasan hutan harus dijabarkan sedetail – detailnya. Karena fakta dilapangan sebagian besar masyarakat setempat menguasai di kawasan hutan lebih dari 5 hektar. Apabila kebijakan ini hanya dimaknai secara normative tentu kebijakan ini akan ditolak oleh masyarakat pekebun. Kebijakan ini harus dilihat sebagai salah satu alternatif penyelesaian kebun rakyat di kawasan hutan, sehingga perumusan kebijakan teknis setingkat Peraturan Menteri jangan hanya copy paste dari yang ada di Peraturan Pemerintah.

Perumusan kebijakan teknis, harus benar – benar melihat fakta dan data di lapangan, hal ini penting sebagai pertimbangan dalam merumuskan norma – norma teknis agar kebijakan penataan kebun rakyat di kawasan hutan dapat dilaksanakan dengan seadil – adilnya. Pemerintah dalam hal ini KLHK, perlu melibatkan Pemerintah Daerah bahkan sampai Pemerintah Desa, sebagai entitas mengetahui kondisi nyata di lapangan.    

***

*)Oleh: Arifin Ma’ruf, S.H., M.H., (Asisten Teknis Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia-Yayasan KEHATI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES