Peristiwa Nasional MPR Rumah Kebangsaan

Hardiknas 2021, Ahmad Basarah Ingatkan Krisis Kebangsaan di Sistem Pendidikan Nasional

Minggu, 02 Mei 2021 - 15:51 | 21.32k
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah. (dok/TI)
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah. (dok/TI)
FOKUS

MPR Rumah Kebangsaan

TIMESINDONESIA, JAKARTAHardiknas 2021 yang diperingati 2 Mei hari ini menjadi momentum merefleksikan diri demi pembangunan bangsa. Terutama demi menguatkan nilai-nilai kebangsaan di tengah ancaman ideologi trans-nasional. Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah, dalam pesan tertulisnya yang diterima TIMES Indonesia beberapa saat lalu. 

Basarah memandang, peringatan Hardiknas tahun ini harus diletakkan pada konteks historis dan reflektif mengapa tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. 

“Seperti kita ketahui, 2 Mei adalah hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara," ucapnya. 

Selain sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar merupakan tokoh kebangsaan. Ki Hajar bersama dua tokoh lain; Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, mengenalkan ideologi nasionalisme di Indonesia. 

"Mereka menjadi guru dari tokoh pergerakan nasionalisme seperti Bung Karno," ujar Basarah yang juga anggota Komisi Pendidikan DPR ini.

Menurut Basarah, ketika Ki Hajar mendirikan Perguruan Taman Siswa pada Juli 1922. Konsep dan praktik pendidikannya tidak lepas dari ideologi kebangsaan yang telah dikembangkan jauh hari.

Taman Siswa lalu menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi rasa cinta Tanah Air, khususnya semangat memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. 

“Visi dan misi inilah yang harus kita kembalikan dalam membangun pendidikan nasional kita," ujar ketua Umum Persatuan Alumni GMNI ini.

Basarah juga mengajak kepada pemangku kebijakan pendidikan agar menauladani visi Ki Hajar Dewantara dalam membangun sistem pendidikan nasional.

Perkuat Nasionalisme

Disinggung soal kontroversi pendidikan terkait Peraturan Pemerintah No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, Basarah mengatakan, hal itu justru harus menjadi pengingat bersama visi kebangsaan tersebut. 

"Ketika pendidikan Pancasila tidak dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib dari jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, ini menjadi tanda bahwa kita telah alpa akan visi kebangsaan dari konsep pendidikan nasional," tegas Basarah. 

Karena itu, sambung dia, segenap stakeholder pemerintahan mesti satu visi dan misi dengan semangat kebangsaan untuk menghidupkan kembali rasa cinta kepada ideologi negara.  Tujuannya agar menghasilkan peserta didik yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja memang realistis.

"Apalah artinya jika generasi penerus bangsa kita nantinya akan meninggalkan, apalagi  mengkhianati, nilai-nilai luhur bangsanya sendiri?" ucap penerima Bintang Jasa Utama ini mengingatkan. 

Budayakan Pendidikan Pancasila

Tantangan untuk menghidupkan dan membudayakan kembali pendidikan Pancasila, sambung dia, menjadi langkah wajib untuk membangun semangat kebangsaan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini menjadi tantangan besar sebab pendidikan kita belum mampu menghidupkan rasa kebangsaan di hati anak didik. 

“Kita harus betul-betul merekonstruksi pendidikan kita demi penguatan kebangsaan. Sebab sejak reformasi, bangsa ini telah digempur oleh berbagai ideologi trans-nasional yang merongrong nasionalisme kaum terpelajar," ujarnya.

Basarah mencotohkan, kasus teror yang dilakukan Zakiah Aini di Mabes Polri pada 31 Maret lalu. Itu harus menjadi pelajaran berharga. Sebab Zakiah merupakan mahasiswi yang terpapar ekstrimisme. 

Kalau dibaca surat wasiat kepada keluarganya, terlihat betapa virus ekstrimisme telah membuat Zakiah mengkafirkan Pancasila, NKRI, demokrasi dan nilai-nilai kebangsaan. "Ini harus menjadi lampu merah sebab pendidikan Pancasila yang telah diwajibkan di perguruan tinggi, ternyata tidak mampu membuat Zakiah mencintai negeri dan bangsanya sendiri,” tambah Basarah.

Belum lagi berbagai hasil survei yang melaporkan banyaknya geberasi muda kita yang sudah terpapar paham ideologi trans-nasional. Untuk itu pihaknya memperingatkan agar pemangku kebijakan pendidikan tidak menganggap remeh krisis kebangsaan dalam pendidikan nasional kita. 

Oleh karenanya, menghidupkan dan membudayakan kembali Pancasila sebagai pendidikan wajib. Sifatnya mutlak dilakukan. “Kalau kita lihat, ideologi trans-nasional ini memang menyasar ke kalangan terpelajar yang awam ilmu agama. Jika pendidikan kita tidak mampu membentenginya, maka pelan-pelan anak bangsa kita akan lebih mencintai falsafah kenegaraan bangsa lain, yang berbeda dan belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa kita sendiri,” papar Ahmad Basarah, dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Malang, di Hardiknas 2021 ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES