Kopi TIMES

Psychological Well Being Buruh Perempuan Selama Pandemi

Jumat, 30 April 2021 - 19:00 | 109.17k
Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Setahun lebih sudah kita hidup dalam pandemi. Dampak pandemi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali buruh. Pandemi telah meningkatkan kerentanan dan ketidaksetaraan struktural buruh yang mendasar, yang dialami oleh buruh berupah rendah, kaum pekerja minoritas, wiraswasta dan buruh perempuan, yang secara langsung mengalami krisis tersebut. Buruh perempuan khususnya akan menjadi sorotan dalam artikel ini.

Beberapa dari mereka menghidupi diri sendiri sekaligus menjadi tulang punggung keluarga. Tidak dapat dibayangkan bagaimana mereka berjuang dari ancaman pemberhentian kerja, penurunan upah karena pengurangan jam kerja, hilangnya hak-hak sebagai buruh perempuan dan bekerja dalam kondisi yang penuh ancaman akan covid-19. Kerentanan perempuan semakin meningkat, saat pada proses mitigasi bencana covid-19, mereka merupakan kelompok terpilih untuk ‘dirumahkan’ daripada buruh laki-laki, sebagai implementasi kebijakan perusahaan merespon kondisi pandemi covid-19.

Menteri Keuangan Republik Indonesia ikut menegaskan bahwa pekerja perempuan merupakan kelompok yang paling terdampak oleh pandemi ini, bahkan perempuan yang bekerja di sektor informal sudah colaps sejak awal pandemik. Itu sebabnya partisipasi pekerja perempuan turun dari 55,5 persen menjadi 54,56 persen pada tahun 2020, yang diikuti dengan  meningkatnya ketimpangan gender di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, partisipasi gender Indonesia dan ketimpangan upah (pay gap) masih 23 persen, artinya perempuan mendapatkan upah 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. 

Work, Motherhood dan School From Home

Hingga saat ini, pandemi masih menyisakan permasalahan bagi buruh perempuan. Buruh perempuan yang memiliki kesempatan untuk tetap bekerja, memikul beban kerja yang tidak proporsional.  Mereka dihadapkan pada tuntutan dan prioritas yang sama-sama meminta perhatian. Mereka harus bergelut dengan pekerjaan dalam situasi yang penuh risiko baik psikologis maupun kesehatan, dan saat kembali ke rumah, mereka harus berperan sebagai seorang istri, ibu yang mengasuh anak dan tanggungjawab akan tugas-tugas domestik.

Pengasuhan selama pandemi ini juga memiliki tantangan tersendiri. Kondisi anak-anak selama beraktivitas di rumah dalam jangka waktu panjang begitu kompleks. UNICEF (2021) melaporkan bahwa anak-anak menghadapi situasi yang tidak mudah menghadapi era kenormalan baru, setelah setahun lebih mereka terisolasi, cemas, abusive, terhambat pendidikan dan aksesnya terhadap layanan kesehatan dan perlindungan. Ibu, dengan stereotip sebagai pengasuh utama, harus bekerja lebih keras untuk turut mengatasi hal tersebut.

Mereka berusaha menciptakan rasa aman dan nyaman selama proses pengasuhan, mengakomodasi semua yang dibutuhkan anak selama situasi krisis, merupakan hal yang sangat menguras energi serta pikirannya. Ibu pula yang harus mendampingi anak sekolah dari rumah, sebagai manifestasi dari kebijakan pendidikan global dan nasional dalam merespon pandemi. Ibu  mendadak harus hadir setiap kali anak sekolah, mendampingi mereka school from home, sehingga harus membagi waktu dengan pekerjaannya. Buruh perempuan barangkali sulit memenuhi tuntutan ini, karena mereka memiliki fixed working hours, sehingga mereka terpaksa mendelegasikan tugas mendampingi anak-anak kepada pihak lain.

Belum selesai sampai disitu, mereka juga kemudian dihadapkan pada risiko tentang jaminan keselamatan anak, atau konflik dengan pasangan yang berpotensi memicu kekerasan dalam rumah tangga. Sementara itu untuk berhenti bekerja bukanlah opsi yang akan mereka pilih dengan mudah, karena kebutuhan hidup tak bisa menunggu untuk segera dipenuhi. Banyak buruh perempuan mengalami work-family conflict yang menimbulkan tekanan, bahkan sampai menghambat pencapaian kesejahteraan psikologis mereka.

Tantangan Psychological Well Being Buruh Perempuan

Kesejahteraan psikologis (psychological well being) merupakan sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, membuat hidup lebih bermakna, berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan diri (Ryff,1989). Buruh perempuan mengalami banyak hambatan untuk mencapai psychological well being, karena besarnya tuntutan, keterbatasan sumber daya dan kelelahan yang amat sangat karena multiple roles yang mereka emban akibat pandemi. Banyak studi menjelaskan pentingnya individu memiliki kesejahteraan psikologis, yakni agar mereka hidup lebih sehat, bahagia, memiliki kualitas hidup yang baik, meningkatkan performance kerja dan mendorong perilaku positif lain.

Oleh sebab itu, penting bagi perempuan untuk tetap bahagia, ditengah krisis yang sedang dialami. Bukan tidak mungkin, perempuan bekerja bisa mencapai keadaan well being jika didukung oleh beberapa hal berikut : (1) mengelola perasaan negatif akibat stressor yang dialami dalam kehidupan dan tidak perlu merasa malu untuk mengakses bantuan yang disediakan oleh perusahaan atau yang bisa di akses secara mandiri; (2) seringkali krisis menyulitkan fokus pada tujuan yang ingin dicapai dan perempuan dengan multiple roles belajar untuk terap fokus dengan hal-hal yang sedang dihadapi saat ini, tidak perlu membanding-bandingkan kondisi pribadi dengan orang lain; (3) tetap berpikir positif dan meningkatkan keyakinan akan hal-hal baik untuk diri sendiri dan keluarga, meskipun rasanya semua persoalan muncul dalam waktu yang bersamaan, namun yakinlah bahwa kita pernah melalui banyak kesulitan dengan baik; (4) meningkatkan perilaku positif lain, perilaku berbuat baik misalnya, yang akan menambah nilai positif kita terhadap diri sendiri; (5) bersyukur atas semua yang masih bisa kita lakukan dan kita miliki; (6) membangun relasi yang positif dengan rekan kerja dan relasi kolaboratif dengan pasangan agar terbangun support system yang juga diperlukan saat kita berusaha pulih dari situasi krisis.

Hal penting untuk diperhatikan oleh perusahaan yang didominasi oleh buruh perempuan adalah menciptakan workplace happiness, agar terbangun atmosfir saling mendukung yang diperlukan oleh semua tenaga kerja perempuan, memberikan kompensasi secara adil atas pekerjaan mereka, memudahkan akses mereka ke layanan kesehatan medis dan mental untuk membantu deteksi adanya problem mental agar tidak berdampak negatif terhadap performance kerja mereka, dan mengembangkan kebijakan ramah keluarga untuk mendukung buruh perempuan yang telah berkeluarga. Semoga semua buruh perempuan hidup dapat dalam harmoni, mendapatkan hak-hak yang adil dan setara, dan sehat fisik, mental, sosial juga spiritual. Selamat hari buruh.

*)Oleh: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya; Ketua Program Studi Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga; Ketua Kelompok Kajian Gender dan Anak Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES