Kopi TIMES

Menakar Kebijakan Larangan Mudik bagi Santri

Kamis, 29 April 2021 - 17:02 | 39.39k
Abdurrahman Addakhil, Mahasiswa Syarif Hidayatullah jakarta.
Abdurrahman Addakhil, Mahasiswa Syarif Hidayatullah jakarta.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tiap bulan Ramadan menjelang Syawal biasanya menjadi momentum bahagia umat muslim di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Berbagai tradisi lokal yang dianggap memiliki semangat spiritualitas luar biasa dimiliki masyarakat Indonesia secara jamak.

Tingkat ukhuwah umat yang begitu erat, bahkan dari tingkat keluarga dibuktikan dengan tradisi mudik yang biasanya diadakan tiap libur lebaran idul fitri. Namun, kondisi saat ini memukul mundur keinginan tersebut karena ancaman persebaran covid-19 yang kian parah. Secara terpaksa, umat muslim Indonesia yang rutin mengadakan mudik harus rela menahan rindu bertemu keluarga demi keselamatan bersama.

Pelarangan mudik yang berlaku sejak tahun lalu (2020) akibat pandemi mengisahkan rindu mendalam. Himbauan pemerintah dan tokoh masyarakat agar umat sekalian memperhatikan konsekuensi serius di balik aksi nekat apabila melanggar aturan tersebut.

Kebijakan larangan mudik pada tahun ini memasuki babak dilema baru bagi pemerintah selaku pemangku kebijakan. Pasalnya, santri yang sekolah di pondok pesantren tidak diperkenankan mudik walaupun sebelumnya terdengar kabar bahwa Wakil Presiden Republik Indonesia mengusulkan agar santri diizinkan mudik.

Pemerintah melalui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, menegaskan tidak ada dispensasi khusus bagi santri untuk melakukan mudik (Times Indonesia, 28/4/2021). Alasan kuat yang disampaikan adalah menjaga keselamatan bersama lebih penting daripada memaksakan diri bertemu keluarga yang riskan penularan virus tak kasat mata tersebut.

Nampak di mata pemerintahan siap menanggung konsekuensi kritikan bahkan cemooh ketika mengeluarkan pernyataan ini. Bagaimana tidak, sebagian besar pelajar muslim di Indonesia adalah santri dan mereka telah mengalami setahun penuh minimal tidak bertemu keluarga, di samping pesantren memiliki kebijakan khusus larangan kunjungan wali santri untuk bertemu anaknya.

Kegelisahan campur kesal juga terlihat dari santri apabila kebijakan ini diterapkan. Setelah setahun tidak berjumpa dengan keluarga karena terhalang kebijakan internal pesantren, hal ini diperparah dengan tekanan luar dari pemerintah untuk melarang mudik bagi santri. Dilema dirasakan oleh kedua belah pihak, baik pemerintah maupun santri.
Santri Mudik 

Larangan mudik yang tertuang dalam Surat Edaran  Nomor 13 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadan 1442 Hijriah menjadi regulasi yang mengatur mobilisasi masyarakat agar tidak nekat mudik.

Pemerintah tampak serius dan sedikit mengancam bagi mereka yang tetap nekat mudik. Berbagai sanksi yang dikeluarkan, seperti putar balik ke domisili sebelum bepergian atau mungkin pemberian surat tilang. Tapi, tetap saja bagi mereka yang memiliki siasat di atas rata-rata akan memiliki seribu jalan ninja demi menghindari razia tersebut. Tidak sedikit yang mengecoh petugas dengan melewati jalan tikus.

Memasuki ranah pelajar yang menetap di luar daerah. Pemerintah tidak mau kehilangan perhatian turut serta melakukan pelarangan mudik bagi santri, sebagaimana pernyataan Menteri Agama. Yang menjadi perhatian adalah pengeluaran kebijakan yang dilakukan secara universal., sedangkan sektoral masih terabaikan. 

Menurut saya, kebijakan terkait larangan mudik kepada santri harus dikaji ulang menimbang beberapa faktor yang cukup serius. Pertama, tidak semua pesantren memiliki santri yang berasal dari luar kota. Karena ada juga pesantren lokal yang hanya ditempati santri sekitar daerah tersebut, sehingga kecil kemungkinan kontak fisik secara luas dengan orang asing.

Kedua, sebagian pesantren memiliki kebijakan khusus seperti larangan wali santri mengunjungi anaknya selama masa pandemi atau melarang orang luar selain penghuni pesantren memasuki pesantren. Dengan deimikian tidak ada akses keluar masuk dari orang asing, yang selama ini digadang sebagai faktor penyebab penyebaran virus. 

Ketiga, sebagian pesantren siap menyediakan moda transportasi santri untuk pulang, sehingga menjamin keselamatan dan keamanan santri selama proses perpulangan. Dan juga menimalisir kontak fisik dengan orang ketika berada di angkutan umum.

Dari ketiga pandangan tersebut, alangkah baiknya mendapat perhatian dan diskusi pemerintah dengan pihak pesantren secara intim, dalam hal ini mengajak dialog pengasuh pesantren. Sejatinya, kebijakan yang tanpa memperhatikan dan menimbang fakta lapangan akan menimbulkan kegaduhan dan meningkatkan tingkat sentimen, apalagi apabila belum ada upaya dialog di antara pemerintah dan pengasuh pesantren.

Jika kebijakan universal ini masih terus diterapkan sampai batas akhir bulan Ramadan, dikhawatirkan akan mendapat sentimen masyarakat yang kelak berdampak pada citra buruk pemerintah yang dianggap otoriter. 

Membangun komitmen bersama antara pemerintah dan pengasuh pesantren juga merupakan bentuk sinergisitas bak sutradara dan lakon. Apabila memang dirasa tidak memungkinkan perizinan mudik bagi suatu pesantren, hendaknya menerapkan kebijakan tersebut secara objektif dan solutif.

Melihat dari mental masyarakat Indonesia yang berani karena benar, bahkan yang salah terkadang dianggap benar, bisa jadi kebijakan larangan mudik tidak mendapat perhatian khusus karena masyarakat menilai pemerintah terlalu labil. Salah satu faktor adalah minimnya keteladanan pejabat publik terhadap rakyat.

Kalau memang pemerintah mengkhawatirkan terhadap proses arus balik santri ke pesantren, cukup bagi pesantren sanggup berkomitmen menjemput santrinya melalui rombongan atau menggunakan kendaraan pribadi untuk transportasi. Dan untuk menjamin keselamatan para pengajar dan pengasuh, sebaiknya tetap menjaga jarak serta tidak sungkem secara kontak fisik.

Bisa jadi masyarakat umum atau santri yang nekat mudik ketika terjaring operasi mudik akan menyangkal pernyataan bahwa dirinya sedang mudik. Mungkin mereka akan menerapkan anekdot, “Saya tidak mudik, tapi hanya pergi ke tempat wisata di rumah” atau “Saya tidak mudik, tapi hanya mau pulang kampung”. 

Permasalahan nyata di muka publik saat ini adalah butuh adanya kebijakan pemerintah yang objektif dan keteladanan pejabat publik bagi rakyatnya. Dan agar tidak terulang tebang pilih hukum selanjutnya.

***

*)Oleh: Abdurrahman Addakhil, Mahasiswa Syarif Hidayatullah jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES