Kopi TIMES

Menyoal (Kembali) Pendidikan Pancasila

Kamis, 29 April 2021 - 13:33 | 34.28k
Dr. Asep Totoh, SE., MM, Dosen Ma’soem University.
Dr. Asep Totoh, SE., MM, Dosen Ma’soem University.

TIMESINDONESIA, SUMEDANG – Kritik kembali bergulir atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 soal Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hal ini dikarenakan PP tersebut tidak lagi memuat pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib bagi siswa. Baik pada pendidikan tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi.

Terkait hal tersebut, sejumlah pihak mendesak agar pemerintah segera merevisi 57/2021. Pasalnya, Pendidikan Pancasila sudah menjadi mata pelajaran yang wajib sejak tahun 1975 silam. Banyak saran yang menginginkan Pendidikan Pancasila harus ekspilisit disebutkan sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan nasional. 

Apabila tidak, bisa muncul banyak interprestasi dari penyelenggara dan tenaga kependidikan. Keberadaan Pendidikan Pancasila tidak bisa diganti oleh Pendidikan Kewarganegaraan, karena Pendidikan Pancasila adalah salah satu pilar pendidikan untuk membentuk karakter cinta tanah air peserta didik.

Menarik jika mencermati mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri, dalam sejarah perjalannya kita mengenal mata pelajaran  PMP (1984), PPKN (1994), PKN (2006), PPKN (2013) serta perbedaannya. Empat mata pelajaran tersebut mengandung nilai-nilai yang sangat baik bagi peserta didik, nilai-nilai tersebut antara lain Nilai Moral, Kebersamaan, Kerukunan, Keadilan, Kerukunan, dan masih banyak lagi. 

Namun empat mata pelajaran tersebut juga memiliki perbedaan yaitu; Pertama, PMP 1984 : Berisi materi dan pengalaman belajar mengenai P4 yang mengajarkan pelajaran moral yang berdasar Pancasila. Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam PMP berdasarkan pada Pancasila yang dijadikan acuan tunggal. 

Kedua, PPKN 1994 : Berisi materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Jadi konsep nilai-nilai terkandung pada Pancasila dengan pengorganisasian secara spiral/artikulatif.

Ketiga, PKN 2006 : Memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Jadi nilai-nilai yang terkandung bersumber dari UUD 1945 dan Pancasila. 

Dan Keempat (4) PPKN 2013 : Mempunyai ruang lingkup materi yang bersumber pada 4 Pilar Kebangsaan ( UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI ). Dan Nilai yang terkandung dalam PPKN 2013 dianggap bagus jika ditinjau dari ruang lingkupnya dan bisa dibilang sebagai mata pelajaran yang hampir sempurna. 

Penguatan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib bisa disepakati sebagai keharusan oleh banyak pihak dikarenakan nilai-nilai kebangsaan saat ini dinilai memudar dan meredup dalam kehidupan bermasyarakat. Kita harus akui jika Pancasila sebagai sistem nilai belum dijewantahkan dalam seluruh aspek kehidupan.

Pendidikan Karakter

Melihat berbagai persoalan yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka penguatan pendidikan karakter menjadi sangat penting dan mendesak harus diimplementasikan di setiap jenjang pendidikan mengingat; (1) pembangunan SDM merupakan pondasi pembangunan bangsa, (2) menuju generasi emas 2045 yang dibekali keterampilan abad 21, (3) kencendrungan terjadinya degradasi moralitas, etika, dan budi perkerti. Niscaya menjadi pertanyaan dan harus dicari solusinya adalah model pendidikan karakter bagaimanakah yang seharusnya dan tepat saat ini? 

Nilai karakter dan budi pekerti anak bangsa merupakan bagian vital dari fondasi kebangsaan, dan kondisi saat ini bisa dengan mudah kita menyatakan beberapa contoh konkret lunturnya karakter bangsa itu di era kekinian; meningkatnya radikalisme, intoleransi, penyebaran berita bohong (hoaks), demagogi kebencian SARA, kian redupnya integritas dan kesantunan, maraknya korupsi, termasuk pula aksi-aksi kejahatan lainya yang semua menjadi tontonan gratis yang sungguh memilukan.

Pencapaian nilai-nilai Pancasila di era digital saat ini kerap dianggap tidak konkret dan mengawang-awang dan kompetensi lulusan pasca milienial yang belum utuh memiliki nilai-nilai luhur pancasila. Tentunya penguataan Pendidikan Pancasila itu mesti diimbangi dengan modifikasi metode pembelajaran yang kekinian dan dapat diterima anak-anak di generasi pascamilenial saat ini, prosesnya tidak balik lagi lagi ke zaman pengajaran Pancasila ala Orde Baru. 

Hal lainnya yang dibutuhkan adalah tokoh keteladanan untuk membumikan Pancasila daripada sekadar memformalkannya dalam Pendidikan Pancasila. Ketauladan para pemimpin bangsa ini yang nyata dari para pemimpin, tokoh, atau elite, yang harus memiliki dan menjadi tauladan dalam hal perilaku, integritas, dan tentu saja kekuatan karakter. 

Masalah utama saat ini yang juga dibutuhkan untuk ketauladanan pemimpin kita adalah krisis pemimpin autentik yang menyatu antara kata dan perbuatan. Jadi konkretnya, sesuatu yang mustahil tercapai jika nantinya di usia dini anak-anak di sekolah diberikan pelajaran dan ilmu budi pekerti yang luhur ala Pancasila, tetapi di luarnya atau tontonannya para pemimpin, elite, orang tua atau para guru-guru mereka justru terus memperlihatkan perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.

Sejatinya, seluruh anak bangsa ini harus berjalan beriringan untuk membumikan Pendidikan Pancasila bukan sebagai hanya gerakan wacana semata, tetapi harus menjadi gerakan nyata yang mencerahkan dan  dapat menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai  jiwa, pandangan hidup, dan pola tingkah laku seluruh anak bangsa ini. “Kita Indonesia, Kita Pancasila, Kita Cinta NKRI dan Kita Siap Mengamalkan nilai nilai Pancasila dalam kehidupan sehari hari.”

***

*) Oleh: Dr. Asep Totoh,SE.,MM, Dosen Ma’soem University.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES