Kopi TIMES

Mengeja Ulang Ramadan

Rabu, 28 April 2021 - 01:43 | 48.07k
Muhamad Sabilul Aslam, Santri Denanyar Jombang, Kader PMII Ciputat.
Muhamad Sabilul Aslam, Santri Denanyar Jombang, Kader PMII Ciputat.

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Ramadan kali tak berbeda jauh dengan sebelumnya. Bagaimana tidak, pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini sejak Maret 2020 belum juga mereda. Kondisi yang seperti ini memaksa kita membatasi aktivitas fisik sekalipun untuk beribadah. Terlebih untuk pulang menuju kampung halaman, pemerintah sudah menetapkan larangan akan hal tersebut. 

Meski begitu, sebagai seorang muslim di kondisi seperti ini malah seharusnya tidak menyurutkan kita untuk beribadah mengharap ridho dan berkah Allah. Karena beribadah bisa dilakukan dimana saja dengan diawali niat yang ikhlas. 

Potret ramadan kali ini memaksa kita untuk bermuhasabah diri seperti halnya Rasulullah. Mungkin dengan adanya pandemi seperti ini kita bisa lebih khusyuk dalam berkhalwat demi menggapai ridho Allah.

Tapi, di sisi lain ramadhan kali ini tidak berbeda dengan ramadan sebelumnya. Kualitas ibadah yang tidak kunjung membaik, emosional control yang masih semrawut dan hawa nafsu yang tidak dapat dibendung berupa sifat konsumtif yang berlebihan masih saja ada dalam diri ini. 

Kita masih sering membuka smartphone disbanding Al-Qur’an, lebih banyak zikir virtual alias scrolling timeline sosmed daripada memutar tasbih untuk menyebut asmaNya. Bahkan sepuluh hari terakhir ramadan yang menjadi waktu untuk menggapai lailatul qadar kita pergunakan untuk menunjukkan keserakahan kita dengan berjubel dan antri di beberapa pusat perbelanjaan tanpa memperhatikan protokol kesehatan.

Terlebih di tengah pandemi seperti ini kita lupa dengan hal fundamental yang harus kita prioritaskan yaitu Ukhuwah Basyariyah. Ukhuwah Basyariyah disini memiliki artian memiliki sense of crisis yang lebih untuk peka terhadap kondisi sekitar. 

Menurut data dari BPS, jumlah masyarakat miskin selama pandemi berlangsung meningkat hingga berjumlah total 27,5 Juta jiwa. Artinya banyak sekali warga masyarakat khususnya tetangga sekitar kita yang kesusahan akibat kehilangan pekerjaan dan tidak mempunyai penghasilan disebabkan pandemi corona ini.  

Belum lagi kita yang masih saja melanggar protokol kesehatan sehingga mengakibatkan penyebaran virus masih belum bisa berkurang secara siginifikan dan menyebabkan tenaga kesehatan yang sudah berjuang di garda terdepan kewalahan. 

Benar, kita tidak pernah menang dalam ramadan meskipun berkali kali bertemu dengannya. Kemenangan kita masih semu, tetap saja kalah dengan nafsu dan ego sendiri.

Allah dalam surat Al-Baqarah 183 berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ    . Allah dalam ayat ini menjanjikan gelar Al-Muttaqiy¬ yaitu orang yang bertakwa. Bertakwa disini dapat dimaknai dengan meningkatnya kesadaran kita sebagai hamba dan juga sebagai manusia yang seharusnya mengasihi yang lain, terutama dalam konteks kehidupan di tengah pandemi ini. 

Mengeja Ulang Makna Ramadan

Lantas, apakah gelar itu cocok untuk disematkan kepada hamba amatiran seperti kita semua ini. Tentu saja tidak, toh selama ramadan kita tidak dapat mengupgrading diri kita terutama dalam kualitas ibadah, apalagi setelah ramadan pergi. Namun faktanya kita tidak pernah bisa menahan nafsu amarah, terlebih sifat konsumtif. Jangan jangan serangkaian ramadan yang pernah kita lewati hanya sekedar menjadi ajang uji kekuatan menahan lapar dan dahaga, tapi tanpa dibarengi ujian menahan nafsu.

Jika kita melihat kilas balik pendiri bangsa, bulan ramadan menjadi sebuah waktu untuk memperkuat momentum keimanan dan kebaikan. Bulan ini pula, Indonesia mendapat kemerdekaanya pada 1945 lalu. 

Tapi benar kita tidak pernah menang meskipun kita telah melewati banyak ramadan, padahal sejak bulan sya’ban kita sering memanjatkan doa agar dipertemukan kembali dengan ramadan. Malah sambutan kita hanya sebatas euphoria belaka tanpa paham apa esensi ramadan secara utuh. Memang benar kemenangan kita masih semu. Kita semua tetap saja gampang dikalahkan oleh hawa nafsu dan egoisme yang ada dalam diri setiap insan. Memang benar kita hamba amatiran yang masih saja bengal ketika kita tidak mampu patuh kepada Ulil Amri terlebih mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. 

Memang benar kita ini masih remaja dalam berukuhuwah, faktanya kita tidak pernah bisa mengesampingkan ego sendiri untuk berdiam diri di rumah terlebih untuk membantu sesama yang sedang susah. Agaknya, hamba amatiran seperti kita ini perlu mengeja ulang ramadhan. Tidak hanya secara lughowi dan istilah saja, lebih daripada itu. Kita perlu mengeja ulang dengan nurani dan muhasabah diri. 

Semoga kita dapat bertemu dengan ramadan berikutnya. Tentunya dengan upgrading keimanan yang semakin menebal dan Ukhuwah antar sesama yang akan terus terjaga. Amiin.

***

*)Oleh: Muhamad Sabilul Aslam, Santri Denanyar Jombang, Kader PMII Ciputat.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES