Kopi TIMES Universitas Islam Malang

APBD dan HAM

Senin, 26 April 2021 - 10:36 | 58.30k
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP APHTN/HAN, dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP APHTN/HAN, dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG”HAM itu hak yang melekat dalam diri manusia yang tanpa dengannya manusia tidak bisa hidup sebagai manusia” (Jan Materson, PBB)

Apa yang disebut Materson tersebut menunjukkan, bahwa setiap diri manusia mempunyai  hak fundamental yang menentukan keberlanjutan dan keberdayaan hidupnya, yang jika terabaikan, akan membuatnya kehilangan kebermaknaan hidupnya sebagai manusia.

Dalam rangka merefleksi hari Hak Asasi Manusia (HAM), yang oleh sebagian pakar  bisa diperingati masyarakat setiap saat/hari, di sejumlah sahabat yang yang lagi berdiskusi,  memunculkan pertanyaan apakah pemerintah daerah, yang berposisi sebagai pilar sangat istimewa (exstra ordinary) perlindungan atau penegakan HAM di daerah, sudah mewujudkan atau membumikanya secara maksimal?

Masyarakat selama ini masih diposisikan underprivillege  atau ”warga kelas dua” oleh pemerintah atau pemimpin daerah. Mereka terbatas jadi alat pembenaran untuk memperlancar terimplementasinya diskresi-diskresi dan  kultur pemimpinnya yang sesat fikir, sikap, dan perbuatannya. Mereka masih belum merdeka sejati dari ”jajahan” pemimpinnnya yang sibuk menikmati kursi kemapanan dan kenyamanannya, atau masih terkebiri oleh praktik kepemimpinan yang berpenyakit ”abus of power”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bagaimana tidak distigma sesat fikir dan perilaku, memang senyatanya, mereka lebih senang dan bangga beramai-ramai”berselancar” di atas penderitaan masyarakat dengan menggunakan APBD.

Terbaca  misalnya mulai dari eksekutif hingga legislatifnya masih sering sama-sama menyukai gaya kepemimpinan kompetitif dalam menggunakan dan memboroskan APBD. Sikap memahami realitas kepentingan publik yang benar-benar membutuhkan dukungan APBD, tidak dimilikinya atau jauh dari lubuk hatinya, sehingga di berbagai daerah di sejumlah daerah, sulit menemukan masyarakat yang bisa menikmati keberdayaan, kesejahteraan, dan kebahagiannya. Kalaupun mereka tidak bisa menghabiskannya atau kesulitan memperuntukan bagi kepentingan eksklusifnya, mereka membiarkannya sebagai ”anggaran sisa”.  Akibat serapan anggaran yang minim ini, otomatis banyak hak-hak masyarakat yang tidak bisa dipenuhinya.

Kinerja pemerintahan di, khususnya di bidang penyerapan anggaran, ternyata sering memprihatinkan. Sebab, banyak dana pembangunan yang sudah disiapkan tidak termanfaatkan sesuai dengan perencanaan.

Sungguh ”memilukan” kalau serapana APBD rendah, padahala problem di daerah sangatlah komplikatif. Mulai dari angka kemiskinan yang tidak terkendali, pengangguran yang terus menumpuk, buta huruf yang belum teratasi dengan baik, korban bencana alam yang sering tak terurus, anjal yang kian memadati jalanan,  orang dan pengemis yang mudah ditemukan dimana-mana, hingga gizi balita serta kesehatan ibu melahirkan yang memprihatinkan, adalah beberapa sampel yang menunjukkan, bahwa APBD belum memihaknya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pos dana bantuan sosial atau penyangga kepentingan publik masih sebatas das sollen,  dan belum sampai dinikmati secara riil oleh masyarakat. Hak-hak masyarakat msihlah manis di atas kertas atau menggiurkan dalam angka-angka yang tertera di APBD, sementara dalam kenyataannya, APBD ini salah alamat dalam penggunaannya atau jauh dari membahasakan secara empirik dan futuristik belanja publiknya.

Filosof ternama Plato dalam buku masterpiece-nya  berjudul “Republic” mengingatkan,  bahwa “penguasa dima­natkan oleh Tuhan pertama-tama dan terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik seperti terhadap anak mereka sendiri.”

Apa yang dipesankan Plato itu jelas ditujukan pada komunitas pemimpin yang sedang menduduki posisi elitisme kekuasaan supaya mereka jadi pegiat dalam penegakan atau perlindungan HAM, menegakkan amanat sosial yang diembannya. Kedudu­kannya merupakan jembatan fundamental yang menentukan baik buruknya kehidupan masyarakat. Masyarakat bisa menuai kesejahteraan, bebas dari ketidakberdayaan, dan mampu menikmati kedamaian berkat kepemimpinannya.

Masyarakat akan jadi kuat di tangan pemimpin yang kuat. Begitupun masyarakat akan kehilangan hak-haknya di tangan pemimpin yang lemah dan suka membenarkan oportunisme. Masyarakat menjadi lemah, tak terdidik, berkeliaran di jalanan sebagai golongan yang tersinbgkir dan tak terurus di tangan pemimpin yang lebih mementingkan menjaga dan mengurus kepentingan eksklusifnya.

Bilamana pemimpin itu mampu menunjukkan peran-peran sejati dan sucinya sebagai mediator, mobilisator dan advokator atas hak-hak asasi masyarakat, maka pemimpin itu telah menjalankan etos kepemimpinannya yang berbasiskan amanat keberagamaan. Pemimpin yang keluar dari ”zona:” kepentingan publik, misalnya  terlibat penyalah-alamatan alokasi APBD,  merupakan deskripsi sosok pemimpin pecundang, yang rawan mendatangkan (mengakibatkan) konstruksi kehidupan kemasyarakatan ini akrab dengan madarat (kerusakan) publik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Masyarakat akan diantarkan oleh sosok penguasa (pemim­pin) seperti itu pada tataran kehinaan dan kekalahan, banyak dihimpit penderitaan, akrab denngan kesulitan yang menyesakkan bangunan kehidupan atau sulit terbebaskan dari ancaman kemiskinan sistemik dan absolut.

Sosok penguasa itu tidak menempatkan atau member­dayakan sumpah jabatannya sebagai “generator”  sosial struktural yang mendukung dan memperlancar hak-hak masyarakat, pencari dan perindu keadilan.  Sosok penguasa yang mengeroposi, memubadzirkan, dan menyalah-alamatkan APBD merupakan cermin pemimpin daerah yang terjebak pada praktik mafia atau sindikasi struktural, dehumanisasi, arogansi, despot­isasi, “kriminalisasi pembangunan” dan beragam malversasi kekuasaan, yang  nota bene pemroduk dan penyemarak pelanggaran HAM.

Dampak yang harus dibayar dari praktik malversasi kepemimpinan atau praktik patologi kekuasaan pemerintah daerah itu antara lain tereduk­si dan terdegradasinya sikap kasih masyarakat kepada pemimpinnya, di samping masyarakat kehilangan sikap kredibilitasnya kepadanya, mudah terjebak pada aksi ekstremis-radikalistik dan praktik “main hakim sendiri” (eigenrichting is verboden), serta makin terpuruk dalam kehidupan serba tidak berdaya. Ini artinya, masyarakat pun rawan terjebak menjadi pelanggar HAM level konvensial akibat ulah pemimpin yang memperlakukannya sebagai tumbal pelanggaran HAM-nya.

Pelaksanaan APBD yang jujur, akuntabel, transparan, atau tidak disalah-alamatkan demi kepentingan pribadi, golongan, dan partai  merupakan obsesi yang sudah lama dinantikan masyarakat. Penantian ini sudah seharusnya menjadi  enerji penyemangat untuk menyadarkan dan menggairahkan pemimpin di negeri ini, bahwa  keberlanjutan hidup yang lebih baik, menyejahterakan, dan memberdayakan di berbagai lini strategis  sudah lama sekali menjadi impian  masyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP APHTN/HAN, dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES