Kopi TIMES

Mengenang Kiai Shaleh Lateng, Saksi Sejarah dan Tuan Rumah Lahirnya GP Ansor

Sabtu, 24 April 2021 - 11:41 | 114.53k
Dr Supriyanto. Dosen Universitas Islam Malang
Dr Supriyanto. Dosen Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Tulisan ini kami dedikasikan kepada GP Ansor atas peringatan hari lahirnya yang ke-87. Dalam catatan sejarah, GP Ansor lahir 24 April 1934 di pesantren asuhan Kiai Shaleh Lateng (KH Agus Muhammad Shaleh) di Kelurahan Lateng, Kecamatan Kota, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, saat Muktamar ke-9 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1353.

Dalam buku Antologi Nahdlatul Ulama disebutkan: Gerakan Pemuda Ansor yang waktu itu bernama Ansoru Nahdlatul Oelama' atau ANO diterima dan disahkan sebagai bagian pemuda NU. Susunan pengurus antara lain: Ketua HM. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam. Tanggal 24 April 1934 kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor.

Adalah Kiai Shaleh sosok yang memiliki jasa besar dalam pembentukan ANO. Sayap organisasi NU ini kemudian berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Ansor. Bertempat di Pondok Pesantren Lateng, Banyuwangi, pimpinan Kiai Shaleh, inilah ANO terbentuk. 

Kiai Shaleh juga memegang peranan cukup penting dalam membidani kelahiran ormas terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Terutama di Wilayah Blambangan yang sekarang menjadi Kabupaten Banyuwangi. 

Menurut penuturan keluarga, sebelumnya, Kiai Saleh Lateng telah bergabung dengan Sarekat Islam. Pada tahun 1913 beliau memimpin Rapat Umum Sarekat Islam yang diadakan di Glenmore Banyuwangi. Selanjutnya, pada 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 M bersama dengan tokoh-tokoh ulama nusantara lainnya mendirikan Nahdlatul Ulama. 

Secara nasab Kiai Saleh merupakan keturunan kerajaan Palembang. Tetapi sudah lahir di Kampung Mandar, Banyuwangi pada tahun 1862, dengan nama lengkap Kiagus Muhammad Saleh. Ayahnya yang berdarah bangsawan Palembang bernama Kiagus Abdul Hadi dan ibunya yang asli Banyuwangi memiliki nama Aisyah.

Pada usia remaja, kiai Saleh belajar mengaji di pondok Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Lalu mondok ke Kiai Kholil Bangkalan Madura, kemudian melanjutkan ke Bali, yakni berguru kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana. Shaleh muda juga belajar di Makkah selama enam tahun.

Selepas menimba ilmu di tanah suci, Kiai Saleh, diutus Kiai Kholil untuk segera pulang dan menyebarkan Islam di tanah kelahirannya di Kelurahan Lateng, Banyuwangi. Inilah awal mula nama Kiai Saleh Lateng mulai dikenal.

Kiai Saleh Lateng sangat tegas dan melawan penjajahan. Beliau sering berpesan kepada santri-santrinya untuk berusaha keras menjadi orang pintar agar tidak terus dijajah oleh bangsa lain. 

Selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, Kiai Saleh juga mengajarkan kesaktian-kesaktian kanuragan. Maka tak heran jika murid Kiai Saleh bukan hanya terdiri dari kaum santri yang taat beribadah melainkan juga kalangan preman. 

Dalam berbagai pertempuran melawan penjajah, Kiai Saleh juga mengutus beberapa anaknya dan santrinya ke medan perang gerilya dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Selama masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Kiai Saleh juga sempat menghadapi kejaran kumpeni Belanda dan harus menghindar keluar dari Lateng dan pindah ke Pakistaji. 

Beliau juga pernah terlibat secara langsung di garis depan ketika memimpin salah satu pasukan laskar rakyat dalam penyerbuan terbuka saat berkumandangnya Resolusi Jihad ke Surabaya tahun 1945.

Dalam proses berdirinya NKRI, Kiai Shaleh juga memiliki andil dalam pembentukan awal Kementrian Agama Republik Indonesia. 

Diceritakan bahwa saat Menteri Agama Republik Indonesia pertama KH Wahid Hasyim mencari kitab yang akan digunakan sebagai pedoman pembentukan kementrian. KH. Wahid Hasyim saat itu mencarinya ke seluruh pondok pesantren, namun belum juga menemukannya. Maka KHA Wahid Hasyim mengutus seorang kurir untuk menanyakannya kepada Kyai Saleh Lateng yang masih berada di tempat persembunyian di Pakisaji Kabat. 

Kurir tersebut meminta dengan membeli atau mengganti harga atas kitab tersebut. Maka Kiai Saleh Lateng pun kemudian memberikan kitab bernama Mu’jamul Buldan dengan bersedia menerima separo harga dari harga semestinya. Kitab ini merupakan salah satu sumbangan Kiai Saleh Lateng dalam pembangunan Kementrian Agama Republik Indonesia.

Dalam berbagai cerita, Kiai Saleh pernah disebut oleh Kiai Kholil Bangkalan sebagai ulama yang sangat memahami kitab Alfiyah. Bahkan Kiai Kholil Bangkalan pernah mengatakan “se Jawa Timur tidak ada yang dapat menandingi kemampuan Kiai Saleh dalam Kitab Alfiyah. 

Kiai Saleh adalah ulama yang sangat sederhana dan tidak mau ditonjolkan, bahkan beberapa sumber menuturkan bahwa Kiai Shaleh merupakan ulama yang produktif menulis. Namun dari berbagai kitab-kitab karya Kiai Sholeh, Kiai Sholeh jarang mencantumkan nama beliau dibali karya-karyanya. Kesederhanaan inilah yang membuat ulama-ulama ketika itu hormat dan kagum Kiai Shaleh.

Kiai Shaleh Lateng berpulang ke Rahmatullah pada malam Rabu, tanggal 29 Dzulqo’dah 1371 H. bertepatan dengan 20 Agusrus 1952 dalam usia 93 tahun.

Kiai Shaleh Lateng dimakamkan tak jauh dari Masjid Komplek Pesantrennya Jalan Riau Kelurahan Lateng Kota Banyuwangi. (*)

*) Penulis adalah Dr Supriyanto. Dosen Universitas Islam Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES