Kopi TIMES

Pesona Sekolah Pinggiran di Era Merdeka Belajar

Jumat, 23 April 2021 - 22:19 | 82.00k
Ashhabul Yamin, S.Pd, (Pengajar Praktik Guru Penggerak Provinsi NTB).
Ashhabul Yamin, S.Pd, (Pengajar Praktik Guru Penggerak Provinsi NTB).

TIMESINDONESIA, MATARAM – Di pertengahan tahun 2020 saya menulis buku yang berjudul ‘Guru Penggerak dari Pinggir’.  Inspirasi kuat dari buku tersebut sebagian besarnya saya kulik dari pesona sekolah pinggiran. Ya, hemat saya sekolah pinggiran memiliki sejuta pesona terpendam.

Sebuah prinsip yang saya pegang adalah ‘pendidikan bukanlah sesuatu yang selalu ideal terjadi, padanya terdapat dinamika yang sejatinya menjadi challenge bagi guru dan para pegiat pendidikan untuk terus berkarya’ dan ‘sekolah pinggiran tidak boleh terpinggirkan’. Dalam konteks ini, jika para guru digarda terdepan selalu mengeluh dengan setiap keterbatasan yang terdapat pada sekolah dipinggiran, maka ‘selesai sudah’. Tidak ada lagi harapan. Tulisan ini saya buat agar sekolah pinggiran senantiasa memiliki harapan untuk terus eksis, meski ditengah keterbatasan sekalipun. 

Hari ini orang-orang berfokus pada sekolah-sekolah di perkotaan, sekolah di pinggiran nyaris luput dari perhatian. Sorot kamera hanya tertuju pada sekolah di perkotaan. Hemat saya sekaligus saran saya bagi para guru di sekolah pinggiran, ciptakanlah sorot kamera sendiri dari pesona sekolah pinggiran ditempat anda mengabdi. Jadi jangan menunggu disorot kamera oleh pemerintah. Lakukan inisiatif praktik baik dengan konsep piramida terbalik, atau dengan kata lain menggunakan pendekatan bottom-up. Jangan menunggu aba-aba dari atasan, lakukanlah yang terbaik bagi mereka para wajah polos anak pinggiran yang berharap banyak pada sekolahnya. Barangkali sekolah yang berada dipinggiran itu merupakan satu-satunya harapan tempat mereka merajut mimpi mereka agar tidak terus menerus terpinggirkan, agar tidak terus menerus termarjinalkan.

Sayapun meyakini bahwa tidak ada satu sekolahpun yang tidak memiliki kekurangan, dan tidak ada satu sekolahpun yang tidak memiliki kekuatan. Jadi dimanapun guru bertugas sejatinya harus memiliki sense terhadap kekuatan dan potensi yang dimiliki. Saya ingin tegaskan, mari berfikir berbasis aset, jangan berfikir defisit. Tentu saja kekuatan atau aset itu bisa berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki.

Maka sangat aneh jika guru hanya terus menerus berfokus pada kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki, lagi-lagi inilah yang saya maksud berfikir defisit tadi. Tidak punya sarana, kurang lengkap ini, kurang lengkap itu, minim anggaran, dan seterusnya. Mengapa tidak kita buka ruang berfikir berbasis aset, bukan seterusnya terjebak pada berfikir berbasis defisit. Ingat apa yang kita pikirkan akan direspon oleh semesta dengan pikiran kita tersebut. Negatif yang kita pikirkan, maka negatiflah responnya, namun sebaliknya positif yang kita pikirkan, maka positiflah responnya.

Adalah pendekatan Inkuri Apresiatif yang teramat penting untuk dipahami oleh para guru terlepas dari sekolah kota atau sekolah pinggiran tempatnya mengabdi. Inkuiri Apresiatif dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep Inkuiri Apresiatif ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Dalam sebuah video di Youtube, Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan Inkuiri Apresiatif dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas,  serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa.

Konsep Inkuri Apresiatif sederhananya adalah mengajak para guru untuk senantiasa berfikir positif. Lebih jauh lagi padanya terdapat pesan tersirat bahwa insan pendidikan sejatinya memiliki rasa kesyukuran atas apa yang dimiliki. Jika rasa syukur telah terpateri dalam diri, maka dapat dipastikan keluhan-keluhan tidak akan terjadi. Disinilah urgensi mengasah hati dan mengolah rasa menjadi penting untuk terus menerus dilatih dan konsisten dilakukan oleh para guru.

Sekolah pinggiran memiliki pesona yang sangat kuat. Kata kuncinya pada tiga elemen dasar transformasi pendidikan, yakni Inisiatif praktik baik, pemimpin, dan pengikut. Jika ketiga elemen dasar ini terlaksana dengan baik. Maka pesona sekolah pinggiran bukan kalimat utopis untuk dibaca, didengarkan, dan diperjuangkan.

1. Inisiatif praktik baik

Insiatif praktik baik adalah aspirasi yang diejawantahkan dalam aksi nyata. Inisiatif praktik baik adalah segala aktivitas positif yang mendorong terjadinya gerakan secara bersama-sama untuk mewujdukan budaya positif. Inisiatif praktik baik ini harus jelas dan spesifik agar mudah untuk dieksekusi. 

Sebuah inisiatif praktik baik tidak selalu dimulai dengan hal besar dan spektakuler, ia dapat berbentuk langkah-langkah kecil, namun dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Ingat, hal besar tidak akan mungkin dirasakan jika hal kecil saja belum mampu untuk dilewati.

Inisiatif praktik baik adalah keniscayaan untuk dilakukan oleh seorang guru. Artinya guru tidak sekedar menggugurkan kewajiban dan merasa belum terpuaskan jika belum tunai amanah mendidik dengan hati menuntun semua anak didiknya. Inisiatif praktik baik terkadang membuat guru harus keluar dari zona nyaman. Saya teringat dengan ungkapan salah seorang sahabat guru yang menurut saya begitu dalam maknanya, “saya tidak bekerja untuk pimpinan saya, namun saya bekerja untuk murid-murid saya”.

2. Pemimpin

Menurut Peter F. Drucker Tugas kepemimpinan adalah menciptakan keselarasan kekuatan, dengan cara yang membuat kelemahan suatu sistem menjadi tidak relevan. Drucker kemudian mempertegas pendapatnya, bahwa kepemimpinan dan manajemen adalah keabadian. Oleh sebab itu seorang pemimpin bertugas menyeleraskan kekuatan yang dimiliki organisasi. Caranya adalah dengan mengupayakan agar kelemahan suatu sistem dalam organisasi menjadi tidak relevan, karena semua aspek dalam organisasi fokus pada penyelerasan kekuatan, dengan satu tujuan yaitu mengatasi kelemahan.

Sebuah inisitaif praktik baik harus ada yang memimpin. Di tangan pemimpin yang visioner dan berintegritaslah, sebuah inisiatif praktik baik akan melesat berakselerasi dengan kondisi dan kebutuhan ekosistem pendidikan mewujudkan budaya positif disekolah. Namun sebaliknya ditangan pemimpin yang tidak visioner, maka inisiatif praktik baik akan berdampak pada segelintir orang dan cenderung rapuh.

3. Pengikut 

Pengikut adalah elemen dasar transformasi pendidikan yang tidak kalah pentingnya dari inisiatif dan pemimpin. Tanpa pengikut, maka tidak ada pemimpin, dan insiatif praktik baikpun yang terjadi cenderung rapuh. Semakin banyak pengikut, maka semakin mempertegas bahwa inistaif praktik baik tersebut layak untuk diperjuangkan.

Menjadi pengikut bukan berarti membuat posisi guru selalu dibelakang. Prasayarat seorang pengikut adalah harus open minded. Ia harus terbuka terhadap setiap gagasan-gagasan baru yang berpotensi membawa kepada perubahan budaya positif. Keterbukaan itu adalah cerminan ilmu dan wawasan yanr terejawantahkan dalam sikap bijaksana yang dimilik oleh seorang pengikut.

***

*)Oleh : Ashhabul Yamin, S.Pd, (Pengajar Praktik Guru Penggerak Provinsi NTB).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES