Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Rumi dan Machiavelli

Jumat, 16 April 2021 - 10:24 | 61.01k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di dunia perpolitikan atau lainnya, gaya atau paradigma  yang  dikonstruksi ilmuwan politik kenamaan Nicollo Machiavelli dapat terbaca lewat slogannya “jangan dengarkan auman serigala jika ingin merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kebenaran tidak boleh jadi penghalang diraihnya kekuasaan. Kebohongan, penindasandan kesewenang-wenangan kalau perlu digunakan supaya setiap orang menjadi penakut dan kehilangan nyali untuk menyuarakan demokrasi”.

Gaya berpolitik Machiavelli itulah yang banyak dijadikan kiblat politisi kontemporer, bahwa untuk merebut, mempertahankan, dan meraih banyak kenikmatan dari kekuasaan (jabatan, kursi), maka setiap oportunis atau pemburunya harus punya keberanian mendesakralisasi  moral, agama, dan hukum.  Nilai-nilai moral, agama, dan hukum  hanya layak dijadikan sebagai macan kertas yang tak bermakna.

Bahkan gaya berpolitik seperti itu jelas akan mereduksi dan mendegradasi kesejatian mencintai sesama. Kehadiran orang lain ditempatkan tak lebih dari obyek yang sah dikorbankan. Sesama manusia masih diperlakukan sebagai “orang lain” dan bukannya saudara yang berhak memperoleh responsi cinta  atau kesalehan publik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW “tak (layak) disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai sesamanya  sebagaimana kalian mencintai diri sendiri”.  Sabda ini mengajarkan tentang kesalehan publik yang berelasi pada kesalehan vertical (hablumminallah). Allah tak akan mencintai seorang hamba (manusia), yang hamba  ini tak mencintai sesamanya.

Ukuran mencintai sesama terletak pada sikap, prinsip, dan rasa cinta pada diri sendiri. Seseorang pada umumnya lebih mencintai dan bahkan menkultuskan dirinya dibandingkan cintanya pada orang lain. Malah tak sedikit diantara kita yang terjebak lebih mencintai diri sendiri dibandingkan mencintai agama dan tuhannya.

Allah mencoba menunjukkan nilai tawarnya, bahwa kebiasaan manusia yang lebih mencintai dirinya atau mengabsolutkannya dibandingkan “segala-galanya” di muka bumi ini tetap tak bermaknakan apa-apa jika tak memancar secara deras  kepada area publik. Sikap manusia yang condong ke individualisme dan eksklusivisme dicoba olehNya untuk dibedah dan diseimbangkan kembali lewat jiwa humanitasnya.

Jiwa humanitas itu bermaknakan keberpihakan pada komitmen publik, ikut melindungi, mengamankan, dan menjaga kenyamanan hak-hak orang lain. Kalau organ tubuh bisa merasakan sakit, maka janganlah menimbulkan rasa sakit, derita, dan apalagi sampai mengakibatkan rusaknya organ tubuh sesamanya. Kalau kita sangat menyayangi harta kekayaan yang kita miliki, tentulah akan bisa memberikan manfaat publik jika sikap kita ini menjadi basis moral-teologis bagi konstruksi sosial, ekonomi, dan politik.

Jika sikap itu yang membara di masyarakat, maka kita layak disebut  beriman. Keberimanan kita terletak pada membuminya kesalehan publik, mencintai sesama yang tak dikalahkan oleh superioritas kepentingan  individu, kroni, dan partai. Kesalahen publik inilah yang bisa menjembatani terbentuknya iklim kehidupan yang mencerahkan. Iklim politik yang serba ganas, kejam, dan biadab dapat dicegah lewat pesonannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tujuh abad lalu, Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar asal Balakh dalam karya monumentalnya berjudul Matsnawi  mengungkapkan “tanpa cinta, dunia akan membeku. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan, dan antar sistem hidup yang berbeda”.

Ungkapan sang penyair itu menempatkan kata “cinta” sebagai nyawa yang menentukan  kesejatin diri dan bangunan kehidupan kemasyarakatan. Problem yang berat dapat dicairkan lewat cinta. Cinta dapat menjembatani terbentuknya  hubungan yang sehat antar individu  di tengah pluralitas kultur dan politik.

Cinta sesama yang mengedepan berarti mengalahkan panggilan kepentingan yang condong bersifat hewani.  Makhluk bernama manusia ini akhirnya terdidik menghormati hak bebas dari rasa takut, hak kenyamanan, dan hak untuk hidup (righr for life) sesamanya sebagai obyek agung.

Lain halnya jika kita memilih jalan tanpa cinta atau tak perlu kesejatian beragama, maka barangkali paradigma Machiavelli yang paling benar. Karena paradigma “het doel heiling de middelen”  merupakan cermin paradigma yang membuka kran dehumanistik dan animalistik. Artinya perlakuan tak manusiawi dan membinatangkan sesama dianggap sebagai bagian dari strategi untuk mewujudkan obsesi dan ambisi, termasuk mendulang kepentingan-kepentingan politik.

 Di tangan pemegang dan pemuja paradigma itu, konstruksi relasi social-politik akhirnya merekah karena masing-masing pelakunya terseret dalam lingkaran obsesi  untuk jadi pemenang atau takut jadi pecundang (kalah).  Sedang untuk sampai ke tataran ini, mereka siap jadi pengganggu, perusak, dan predator. Dalam prinsipnya, yang penting target politiknya bisa tercapai. Kalau ada yang jadi korban atau dikorbankan, hanya dikalkulasinya sebagai “political cost”. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES