Kopi TIMES Universitas Islam Malang

“Profesi” Demagogisme

Rabu, 14 April 2021 - 13:59 | 55.23k
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP AP-HTN/HAN, dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP AP-HTN/HAN, dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Diskresi dan ulah elemen negara seringkali terbaca secara paradok oleh rakyat. Rakyat mencurigainya ada praktik demagogisime (kebohongan serius). Demagogisme merupakan deskripsi praktik-praktik pendustaaan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang terlibat dalam praktik-praktik tidak terpuji seperti melanggar kode etik jabatannya.

Seseorang atau sejumlah orang itu mendustai kebenaran dan kejujuran. Norma yuridis yang seharusnya memerintahkan untuk menjaga martabat institusi, khususnya institusi negara  tidak dilaksanakannya dengan benar, konsisten, egalitarian, dan berkeadilan.

Norma yuridis justru dijadikannya sebagai instrumen melindungi praktik kotornya. Norma yuridis ditempatkan sekedar sebagai pembenaran dan proteksi atas perbuatan buruknya.

Ragam jenis penyimpangan kekuasaan, sekecil apapun penyimpangannya merupakan wujud demagogisme. Norma yuridis sudah menentukan rambu-rambu pelarangannya, akan tetapi para oknum aparat (negara) menjadikannya sebagai instrumen melancarkan ”profesi” sampingan. ”profesi” kotor itu.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mereka yang menjadi komunitas demagogis itu merupakan kumpulan orang-orang pintar atau berpengetahuan hukum. Mereka ini pintar berdalil dan berlogika,  namun gagal menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya.

Mereka itu bukan hanya mendustai rakyat, tetapi juga membodohi dirinya sendiri. Apa namanya sosok berilmu pengetahuan yang memahami norma-norma, yang kemudian norma-norma ini didustainya sendiri kalau tidak ”demagog” nama yang pantas untuknya.

 Dalam kondisi apapun, para demagog itulah yang faktanya masih mencengkeram kuat negeri ini. Mereka menancapkan kuku-kukunya dalam lingkaran kekuasaan atau jabatan yang dipercayakan kepadanya. Mereka jadikan kekuasaan untuk membuka jalur dan memasifikasikan ”profesinya”.

Kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini.”, demikian ajakan pakar hukum Edwin Markham, yang ditujukan pada setiap pengemban amanat negara untuk mewujudkan sikap dan perilaku yang tidak mendustai kebenaran.

Pengemban amanat negara merupakan sosok yang sudah pintar melafazkan hukum, namun fakta yang terbaca, mereka belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Pengemban amanat ini dipercaya oleh negara untuk menjadi pelayan rakyat yang baik, adil, dan menjadi”pekerja suci” di ragam jalur birokrasi. Namun banyak diantaranya yang masih suka menjatuhkan opsi pada ”profesi” demagogisme. Mereka itu memang paham regulasi negara, tetapi faktanya mereka tidak bermental konsistensi dan militansi dalam penerapannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ketika dimana-mana masih gampang ditemukan praktik ”penyalahalamatan” dana bansos Covid-19 dan lainnya, maka ini mengindiksikan kegagalan mewujudkan negara berbasis pemartabatan norma yuridis. Para punggawa negara atau mitranya sejatinya adalah pelaksana utama gerakan pembumian norma yuridis, namun ketika dalam realitasnya rakyat masih ”terjajah” oleh penyulapan hak-haknya, berarti gerakan itu bisa terbilang gagal serius.

 “State without law” adalah stigma untuk menyebut dampak jatuhnya martabat negara akibat berlaku absolutnya egoisme dan sikap ambisius pemegang kekuasaan, yang suka mengembangkan berbagai jenis “profesi” demagogisme.

Stigma itu tidak salah. Hukum kausalitas (sebab akibat) terjadi di negeri ini. Rentannya konstruksi konstitusi secara empiric atau ternodanya marwah negara hukum, adalah akibat sepak terjang aparatnya yang lebih menyukai mempermainkan (memandulkan) norma-norma yuridis dan sibuk menahbiskan kejahatan yang menguntungkan secara ekonomi dan politik.

Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang ditahbiskan oleh oknum aparat negara, pasalnya kejahatan ini menjadi sumber strategis mendapatkan kekayaan berlimpah. Rakyat diperas dan ditakut-takuti supaya hartanya bisa diberikan kepadanya.

Rakyat dibuat tidak berani bersuara dan hanya bisa “mengamini” ajakan dari oknum aparat atau pemerintah (rezim) yang nakal karena dirinya digiring supaya dirinya juga berlanjut melakukan berbagai jenis perbuatan melanggar norma.

Rakyat dijerumuskan menjadi segmentasi dari keterorganisasian praktik pelanggaran hukum yang diproduknya, sehingga terbentuk kelompok-kelompok yang membudayakan sikap dan perilaku anomaly atau menoleransi praktik kriminalitas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Praktik ituidentik dengan “begal berdasi”, yang memanfaatkan kekuasaan untuk menekan rakyat supaya bertindak di luar hukum. Yang diutamakannya tentulah bagaimana berjumlah  uang tetap berlanjut secara kultural dan structural mengalir pada dirinya.

Demagogisme itu potensial mempercepat laju pelumpuhan identitas konstitusionalitas Indonesia sebagai negara hukum. Kejahatan ini mengisyaratkan kemenangan sindikasi kriminalistik dibanding budaya hukumnya.

Konstruksi negara ini akan bisa kuat bilamana hukum sukses ditegakkan tanpa tebang pilih, berprinsip keadilan, dan  tentu saja mendaulatkan prinsip kejujuran dalam setiap tahapannya. Siapapun  dan dari golongan manapun yang melakukan dan mengelola “profesi” ini harus ditebas tuntas, bilamana konstruksi Indonesia sebagai negara hukum tetap ingin terjaga marwahnya.

Selain itu, “profesi” demagogisme tergolong serius dalam mempermainkan hukum. Di tangannya, hukum digunakan sebagai instrumen untuk menciptakan horror di tengah masyarakat. Setelah masyarakat menjadi penakut, kembali hukum digunakannya sebagai instrumen menghancurkan  dan melumpuhkan bekerjanya sistem hukum dalam ranah makro kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam ranah seperti itu, jelas aparat yang jujur menghadapi tembok kultural yang  yang bersifat luar biasa (exstra ordinary). Obyek yang diberantas merupakan “lahan” yang selama ini barangkali telah menghidupi dan menyejahterakan orang-orang dekatnya, yang tidak terbaca kalau mereka ini adalah aktor yang dibentuk oleh kekuatan ekonomi ilegalistik.

Jaringan “profesi” demagogisme yang dibangun mereka itu telah berlangsung lama, sehingga memberantasnya butuh dukungan total masyarakat. Kekuatan seluruh elemen bangsa inilah yang harus menjadi pemberantasnya, pasalnya seperti yang disampaikan sosiolog kriminalitas Laccasagne, bahwa kejahatanitu penyakit yang bersumber dari masyarakat, yang penyembuhannya juga melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai dokternya.

Masyarakat memang harus menjadi dokter yang menyembuhkan  “profesi” demagogisme. Berakar dari sikap masyarakat yang terdesak “mengamini” “profesi” ini,  maka sekarang saatnya masyarakat yang menyudahinya. Masyarakat harus tegas menolak setiap ajakan okunum aparat yang bermaksud menyeretnya dalam ragam  “profesi” demagogisme.

Kalau masyarakat semakin gigih dan konsisten menjalankan norma-norma yuridis atau dengan aparat manapun berurusan terus istiqamah menyerasikan dengan norma ini, maka praktik  “profesi” demagogisme akan mati dengan sendirinya. “Membunuh” kejahatan haruslah dari akarnya. Ketika akar utamanya bisa disembuhkan (disadarkan), maka kejahatan tidak akan sampai mengalami dinamisasasi dan kulturisasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI wwww.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), PP AP-HTN/HAN, dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES