Kopi TIMES

Kesederhanaan Hidup dalam Ikatan Hak dan Kewajiban

Selasa, 13 April 2021 - 12:33 | 62.16k
Vadilah Anggraeni, Mahasiswi pendidikan bahasa Inggris Universitas Peradaban
Vadilah Anggraeni, Mahasiswi pendidikan bahasa Inggris Universitas Peradaban

TIMESINDONESIA, BREBES – Dunia tempat berpijak saat ini luas cangkupan nilainya. Peristiwa yang terjadi di segala penjuru benua dan samudra tidak akan pernah bisa di ketahui keseluruhannya dalam satu hari. Sekalipun diminta merangkum kejadian di seluruh dunia selama satu minggu hanya untuk satu bidang pembahasaan.

Sebuah nilai kehidupan teramat kompleks meskipun hanya satu bidang kajian dan tiap diri seseorang memiliki keterbatasan memahami suatu bidang. Karena hal tersebut bergantung pada pengalaman, keahlian, dan ketertarikannya.  

Pengalaman adalah guru pertama mengenal satu persatu isi keadaan dunia yang di lalui dengan proses sangat panjang. Tidak semua pengalaman yang terjadi hari itu dapat di tarik kesimpulan dan hikmahnya secara cepat. Perlu waktu lama untuk beberapa pengalaman pahit dapat di terima lapang dada. Bahkan pengalaman manis pun memerlukan pengalaman lagi untuk menjadi tahu seberapa kuat kemanisan itu dapat bertahan dan siapkah jika di balik kemanisan menyisakan sedikit saripati (ampas) pahit layaknya minum segelas kopi hitam.

Manis yang berubah pahit menjadi bumerang dan berang manakala tak siap menerima kepahitan sehingga tidak jarang telunjuk jari lebih sering menuding menuntut hak tanpa tahu seberapa kewajiban yang telah dikerjakan. Hak dan kewajiban adalah dua kata saling berikatan. Sebuah nilai keterkaitan yang kerap membingungkan alias banyak pergulatan dalam mencapai dan memaknainya.

Sederhananya, sebagaimana pengalaman adalah guru pertama berbaur dalam berkehidupan. Maka tidak akan ada sebuah pengalaman itu tercipta tanpa adanya sebuah keluarga. Jadi dapat disimpulkan pengalaman yang di sebut sebagai guru datang dari pengalaman yang hadir di tengah-tengah keluarga.

Oleh sebab itu, untuk memulai proses memahami hak dan kewajiban pun bermula dari lingkup keluarga sebelum hak dan kewajiban menjadi lebih luas makna ketika usia semakin beranjak dewasa dan proses interaksi semakin meluas. Tidak lagi harus mengerti hak dan kewajiban diri sendiri di dalam keluarga namun lingkungan sekitar dari lingkungan terkecil seperti lingkungan pertemanan hingga lingkungan besar yaitu negara. Bahkan hak dan kewajiban sebagai seorang insan di hadapan sang pencipta.

Dalam sebuah keluarga, seorang anak di hadapkan pada hak dan kewajibannya sebaliknya orang tua. Sudah menjadi hak seorang anak menerima perlindungan, kasih sayang, tumbuh kembang, pendidikan yang memadai dan di bebaskan memilih apa yang menjadi pilihan atas hidup dirinya. Sebaliknya orang tua berhak menerima penghargaan bentuk bakti seorang anak atas asuhan yang ia terima. Pandangan seperti sangat umum sekali dan memang sudah menjadi barang tentu timbal balik yang berlaku adalah demikian.

Secara praktik kehidupan normal berdasarkan pandangan secara umum tersebut. Namun, ada beberapa kisah tragis pula banyak mengisahkan tentang keluarga yang kurang menerapkan nilai hak dan kewajiban orang tua dan anak seperti di atas. Banyak faktor yang melatarbelakangi. Jika dipikirkan kembali sangat miris melihat fenoma seperti ini. Lantas dimana letak kesalahan yang ditimbulkan?

Jawabannya adalah penyederhaan sikap memaknai hak dan kewajiban paling mendasar. Penguraiannya menjadi seperti ini; keberadaan seorang anak adalah berawal dari proses ketertarikan dua pihak lawan jenis pada satu titik ketertarikan yang berlebih, jika kedua orang ini adalah orang normal maka akan berlanjut pada jenjang lebih serius.

Letak kesalahan yang dibangun oleh beberapa orang tua dalam tanda kutip tidak paham akan kewajibannya dan kesiapannya sebagai orang tua. Hasilnya adalah melampiaskan kemarahan pada anak yang tidak mengetahui akar masalahnya dan hal ini akan berimbas tumbuh kembang perilaku yang terbentuk dalam anak. Oleh karena itu, seharusnya sebelum melampiaskan hasrat ketertarikan itu lebih penting berfikir ulang kesiapan dirinya mengemban sebuah tanggungjawab, kewajiban besar sebagai orang tua. 

Kemudian, kesalahan yang juga banyak terjadi adalah seorang anak begitu tega terhadap orang tuanya. Kejadian seperti ini bukan hanya satu dua kasus saja melainkan banyak jumlahnya. Beberapa anak menganggap dirinya tidak minta di lahirkan kedunia. Sungguh miris rasanya mendengar perkataan yang keluar seperti ini. Setan apa yang telah merasuki itu tidak bisa di gapai nalar dalam sekali duduk kok bisa seorang berkata demikian. Bagaimana bisa sudah mengatakan demikian masih pula menuntut haknya dalam kasus yaitu medeng minta uang dengan cara memaksa. 

Hak kerap kali lebih sering di tuntut daripada menunaikan kewajiban. Kebanyakan orang tua normal akan berbesar hati dan bangga telah membesarkan, merawat dan mendidik anaknya penuh kasih dan sayang tanpa memaksakan kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya di tunaikan. Contoh paling sederhana adalah bertanya kabar dan mengunjungi orang tua ketika seorang anak itu juga telah memiliki anak dan keluarga. Sesederhana itu suatu teori namun praktik kasih sayang selalu diwarnai derai air mata keharuan.  

Anak dilahirkan karena kasih dan sayang di antara dua lawan jenis. Seorang anak yang telah terlahir kedunia, tumbuh dan dewasa juga memiliki seorang anak, ia tetap seorang bocah kecil di mata orang tuanya. Sudah hal tentu tanpa penawaran bahwa kewajiban seorang anak adalah berbakti sebagai wujud bakti terpenuhinya semua hak atas dirinya sejak di kandung badan, lahir dan dibesarkan. 

Setelah dasar menafasi hak dan kewajiban dalam dirinya telah mendasar. Maka menunaikan hak dan kewajiban yang lebih luas cangkupannya akan semakin mudah di jalankan. Semoga kita senantiasa diberikan petunjuk dan bimbingan untuk tegak adil akan suatu hak dan kewajiban yang dimiliki tiap diri individu.  Sebagaimana hal tersebut sejalan dengan Hadits riwayat Bukhari r.a., Rasullullah SAW bersabda: Sesungguhnya Rabb-Mu punya hak yang harus engkau tunaikan dan dirimu punya hak yang harus engkau tunaikan. Dan keluargamu, istrimu/suamimu, anak-anakmu punya hak yang harus engkau tunaikan. Maka, berikan semua orang, semua pihak haknya masing-masing.

***

*)Oleh: Vadilah Anggraeni, Mahasiswi pendidikan bahasa Inggris Universitas Peradaban.  

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES