Kopi TIMES

Gagasan Perubahan  Kelima UUD NRI 1945 Keinginan Elit Atau Rakyat?

Senin, 12 April 2021 - 14:26 | 115.81k
Muhammad Hasan Basri; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia & Peneliti Indonesia Justice Watch.
Muhammad Hasan Basri; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia & Peneliti Indonesia Justice Watch.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penulis mengambil judul diatas berdasarkan pada wacana gagasan amandemen UUD NRI 1945 kelima yang ramai diperbincangkan oleh kalangan elit dan beberapa pakar hukum tata negara akhir-akhir ini.

 Menurut KC. Wheare Konstitusi adalah rusltante (kesepakatan) apabila kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya berubah maka harus disesuaikan dengan penyesuaian konstitusi dari sebuah negara. Berdasarkan pendapat KC. Wheare dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan perlu dilakukan untuk mengikuti perkembangan yang terjadi dimasyarakat.

Tetapi pertanyaannya adalah apakah wacana perubahan UUD NRI 1945 adalah keinginan elit ataukah rakyat? Ketakutan penulis ketika wacana ini hanya dikonsumsi dan diperbincangkan oleh kalangan elit yang berkuasa, maka hasil dari perubahan itu tidak akan mengubah substansi dari UUD NRI 1945 melainkan hanya mengakomodir keinginan sekelompok orang bukan kehendak rakyat indonesia. Sebab bagi Cooter melakukan amandemen konstitusi, menafsirkan konstitusi tidak lebih dari permainan politik tingkat tinggi. Oleh karenanya aktivitas perubahan itu harus membutuhkan moralitas dan kebijaksanaan sebagai tiang penyangga bekerjanya konstitusi. 

Bila kita mengkaji lebih jauh wacana perubahan kelima UUD kerap kali digulirkan oleh elit-elit partai pendukung pemerintah. Polanya hampir sama, wacana amandemen kelima kerap digulirkan diperiode kedua pemerintahan. Wacana ini kembali muncul di periode kedua pemerintahan Jokowi. Dengan dukungan  mayoritas partai di DPR bukan tidak mungkin amandemen kelima menjadi pintu masuk dan sangat terbuka untuk dilakukan. 

Materi Perubahan

Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan UUD cenderung bersifat sangat kompromistis dan tidak menghendaki keinginan publik. Sebut saja soal gagasan perubahan pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GHBN) sampai dengan isu perubahana Pasal 7 UUD NRI 1945 yang mengatur tentang masa jabatan Presiden. Wacana ini digulirkan untuk menambah masa jabatan Presiden menjadi tiga periode menurut penulis ini sangat bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme yang menghendaki pembatasan kekuasaan. 

Wacana amandemen kelima masih menjadi konsumsi para elit partai politik (parpol) yang cenderung mewakili warna kepentingannta masing-masing. Alih-alih menjadi sarana untuk membatasi kekuasaan, wacana amandemen konstitusi dikhawatirkan berubah menjadi alat untuk memperluas daya kekuasaan. Sebagai norma dasar bernegara, amandemen UUD wajib disandarkan pada nilai moralitas konstitusi (moral reading). Bahwa perubahan UUD  bukan hanya aktivitas pembentukan norma, tetapi juga menyangkut etika moral, dan semangat pembatasan kekuasaan. jelas, praktik perubahan konstitusi wajib disandarkan pada pembatasan atas materi dan aturan main perubahannya. 

Belajar Dari Perubahan Sebelumnya

Meskipun amandemen UUD sebelumya telah dilakukan (1999-2022) dan telah mengubah kondisi ketatanegaraan Indonesia dan jauh lebih demokratis tetapi ada catatan bagi penulis masih ada kekurangan dari hasil perubahan yang dilakukan sebanyak empat tahapan itu. Beberapa studi juga menegaskan hal yang sama. Misalnya Indrayana menyebut proses kacau dan materi muatannya insidentil, Mochtar menyebut prosesnya tergesa-gesa sehingga mempengaruhi kualitas hasil oleh sebab itu  perubahan kelima UUD harus lebih di prioritaskan pada konsep serta materi perubahannya yang menjadi kekurangan dalam UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini. 

Closing Statmen 

Perubahan sebuah konstitusi merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan berdasarkan pada perkembangan dan kondisi masyarakat, perubahan itu harus menyentuh pada substansi materi bukan untuk memperluas kekuasaan kepentingan elit , ruang publik menjadi entitas dalam negara demokrasi artinya setiap warga negara harus diberikan kebebasan untuk mendikusikan perubahan kelima UUD 1945 sebagai bagian dari wacana publik maka setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berbicara dan melakukan kritikan terhadap gagasan amandemen kelima.

Perubahan ini harus dilakukan secara transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga jika amandemen kelima benar-benar dilakukan, pendekatannya atau metode perubahannya tidak lagi insidentil melainkan dilakukan desain yang memadai baik itu kematangan konsep, cara, dan daya guna perubahannya. Perubahan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan di era demokrasi sehingga konstitusi itu benar-benar mencerminkan keinginan rakyat  (salus populi vox dei) suara rakyat adalah hukum tertinggi. 

***

*)Oleh: Muhammad Hasan Basri; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia & Peneliti Indonesia Justice Watch.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES