Peristiwa Internasional

Dokumen AAPP Sebut 700 Orang Meninggal Saat Protes Junta Militer Myanmar

Senin, 12 April 2021 - 10:02 | 30.52k
Penduduk Bago saat melakukan protes anti rezim pada hari Sabtu. (FOTO: The Irrawaddy)
Penduduk Bago saat melakukan protes anti rezim pada hari Sabtu. (FOTO: The Irrawaddy)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jumlah rakyat Myanmar yang dibunuh junta militer Myanmar selama aksi demo sampai hari Sabtu (10/4/2021) telah mencapai 700 orang lebih. Jumlah itu terdiri dari pengunjuk rasa anti-rezim, pengamat, pejalan kaki dan penduduk yang tidak terlibat apa-apa bahkan termasuk puluhan anak-anak.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) Myanmar, seperti dilansir The Irrawaddy telah mendokumentasikan daftar korban jiwa dan penahanan sejak kudeta 1 Februari. Terakhir, Jumat (9/4/2021) militer Myanmar membunuh 82 orang dalam penggerebekan di Bago.

Sekitar pukul 4 pagi waktu itu, lebih dari 250 pasukan rezim militer melancarkan serangan ke empat lingkungan permukiman,  Shinsawpu, Hmawkan, Nantawyar dan Ponnasu, kota Bago, 98 kilometer dari Yangon.

Saat berusaha membersihkan  penghalang jalan berupa karung pasir, pasukan itu sembari melepaskan tembakan dengan senjata otomatis dan bahan peledak berat. Bahan peledak itu diyakini adalah granat senapan, yang ditembakkan ke anggota tim pertahanan anti-rezim dan penjaga malam yang menjaga area pertemuan protes di bangsal.

Akibat penggerebekan tersebut, puluhan orang hilang. Beberapa orang terluka dan ditangkap, menurut penduduk setempat.

Pada hari Minggu, pasukan dikerahkan lagi kebangsal dan terus menembakkan peluru tajam. Banyak jalan di kawasan itu masih sepi. Tidak ada yang berani mendatangi, karena sudah banyak warga mengungsi.

Banyak jenazah dalam serangan fajar itu belum dikembalikan ke keluarga mereka. Pengembalian jenazah semakin rumit karena para penduduk telah meninggalkan rumah mereka karena takut ditangkap, menurut sumber setempat.

Selama serangan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang jalan di bangsal Ponnasu, seorang penjaga malam berusia 46 tahun, Ko Myo Min, ditembak mati oleh pasukan saat dia melarikan diri dari tembakan.

Ia meninggalkan tiga orang anak dan istrinya. Keluarganya segera menggelar pemakamannya karena pasukan keamanan sedang mencari jenazahnya.

Sebelum kematiannya, Ko Myo Min meminta istrinya, Ma Kay Khine, untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya jika negara tetap di bawah kendali rezim militer.

"Saya merasa sangat terluka. Kita semua tidak ingin hidup di bawah kediktatoran. Tolong bantu kami," kata Ma Kay Khine kepada The Irrawaddy pada hari Minggu.

Ia juga mengatakan, pasukan rezim juga mengirim mayat seorang pria yang ditangkap pada hari Jumat ke keluarganya pada hari Minggu, mengutip informasi dari keponakan pria tersebut. Pria itu diduga telah ditikam hingga tewas, berdasarkan luka yang ditemukan di perutnya, kata Ma Kay Khine, mengutip keponakan pria itu.

Pada hari Jumat, seorang pekerja sosial, Ko Thiha, termasuk di antara lebih dari 80 orang yang ditembak atau disiksa sampai mati oleh pasukan rezim selama penggerebekan. Ko Thiha sempat melarikan diri tetapi kemudian ditembak di paha saat memanjat dinding, menurut seorang temannya.

Saksi mata lainnya menceritakan kepada The Irrawaddy, bahwa dia melihat tentara memukuli Ko Thiha ketika dia jatuh dari tembok setelah ditembak. Saksi mengatakan dadanya memar dan ada penyok di kepalanya.

Perkumpulan Mahasiswa Universitas Bago mengatakan bahwa tiga mahasiswa, Ko Arkar Min Khant, mahasiswa zoologi tahun kedua, Ko Bo Bo Naing, mahasiswa zoologi tahun pertama, dan Ko Kaung Kyaw Tun, 19, mahasiswa matematika tahun pertama, juga terbunuh selama penggerebekan itu. Sedangkan dua mahasiswa, Ma Shwe Yi Aung dan Ko Aung Kyaw Khant, masih hilang, kata serikat mahasiswa.

Menurut organisasi penyelamat dan U Ye Htut, yang merupakan salah satu pemimpin pemogokan anti-rezim di kota, sulit untuk pergi ke daerah yang diserang untuk mengambil mayat atau memberikan perawatan medis bagi mereka yang terluka. Sebab pasukan akan menembaki semua orang yang muncul di jalan atau menunjukkan wajah mereka di jendela rumah.

"Ini bukan tindakan menangani, saya merasa mereka telah melakukan genosida terhadap kami karena mereka menembaki semua yang mereka lihat," kata U Ye Htut. Dia juga menghadapi surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh rezim militer.

Mengenai penggerebekan brutal di Bago, Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar pada hari Sabtu mengeluarkan pernyataan yang menyerukan diakhirinya segera kekerasan dan menuntut agar pasukan keamanan mengizinkan tim medis untuk merawat yang terluka.

Pada hari Minggu, beberapa anggota keluarga dilaporkan dimintai uang oleh pihak berwenang untuk mengambil jenazah mereka yang tewas dalam penggerebekan hari Jumat, menurut penduduk. Namun, The Irrawaddy belum bisa memastikan laporan tersebut secara independen.

Hingga Sabtu, sekitar 700 rakyat Myanmar dibunuh junta militer Myanmar dalam penggerebekan sejak kudeta 1 Februari 202. Selain menangkap, mereka juga menemkkan senjata secara acak. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES