Glutera News

Bisnis Monyet

Sabtu, 10 April 2021 - 14:19 | 104.63k
FOTO: Glutera
FOTO: Glutera

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Suatu saat datanglah seorang saudagar bersama dengan beberapa orang asistennya ke sebuah desa, dan mereka bermaksud untuk berdagang dengan penduduk desa setempat.

Maka dikumpulkanlah semua penduduk desa termasuk kepala desa, di balai desa, untuk diberitahu tentang rencana dagang saudagar tersebut.
Sang saudagar menyampaikan, bahwa dia bermaksud untuk membeli seluruh monyet yang berada di hutan di sekitar desa, dan dia bersedia membayar Rp 500.000 untuk setiap ekor monyet hidup.

Keesokan harinya semua laki-laki di desa pergi ke hutan untuk memburu monyet. Hari pertama terkumpul 600 monyet, dibayar lunas oleh sang saudagar dan dimasukkan ke kandang yang sudah disiapkan.
Penduduk desa gembira karena monyet yang sebelumnya tidak ada harganya, tiba-tiba dihargai mahal dan dibeli oleh saudagar.

Hari kedua terkumpul 500 monyet, dibayar lunas oleh sang saudagar.
Hari ketiga terkumpul 300 monyet, dibayar lunas juga oleh sang saudagar.
Sampai pada hari ketujuh, total sudah terkumpul 3.000 monyet dan semuanya sudah dibayar lunas oleh saudagar dan disimpan di kandang milik saudagar.

Karena diburu terus-menerus, populasi monyet di hutan makin menipis sehingga hasil tangkapannya juga makin sedikit, dan penduduk desa jadi malas untuk ke hutan berburu monyet. Akhirnya, sang saudagar mengumumkan bahwa dia menaikkan harga belinya, dari Rp 500.00/ekor menjadi Rp 750.000/ekor.
Para penduduk desa kembali semangat untuk berburu monyet, walaupun sudah susah untuk mendapatkannya. Akhirnya terkumpul 200 ekor monyet dan dibayar lunas oleh saudagar seharga Rp 750.000/ekor.

Seminggu kemudian tidak ada penduduk desa yang membawa monyet untuk dibeli oleh saudagar, akhirnya saudagar menaikkan harga beli monyet menjadi Rp 1.000.000/ekor.

Penduduk desa akhirnya kembali bersemangat untuk berburu monyet di hutan. Semua orang di desa pergi ke hutan, laki-laki dan wanita, tua dan muda. Semuanya pergi berburu monyet. Pada akhir hari, hanya terkumpul 50 monyet, dan semuanya dibayar lunas oleh saudagar.

Menurunnya jumlah tangkapan monyet membuat saudagar untuk kembali lagi menaikkan harga beli monyet menjadi 3 kali lipat, yaitu Rp 3.000.000/ekor, tetapi sang saudagar harus kembali ke kota selama sebulan untuk mengambil uang, agar bisa membayar lunas monyet-monyet yang akan dibeli.

Keesokan harinya, setelah saudagar pergi ke kota, salah seorang asisten saudagar kembali mengumpulkan seluruh warga di balai desa.
Sang asisten menawarkan kepada penduduk desa, bagaimana kalau warga desa membeli semua monyet yang ada dikandang saudagar seharga Rp 2.500.000/ekor, dan kemudian penduduk desa dapat menjualnya kembali kepada saudagar seharga Rp 3.000.000/ekor, setelah saudagar kembali dari kota.

Sang asisten akan bilang kepada saudagar bahwa pintu kandang rusak dan jebol, sehingga monyet-monyet yang ada di kandang kabur dan kembali ke hutan.

Akhirnya penduduk desa setuju untuk membeli monyet-monyet di kandang tersebut dari sang asisten, karena sudah terbayang keuntungan Rp 500.000/ekor tanpa harus berburu di hutan. Masing-masing penduduk desa akhirnya mengumpulkan uang, ada yang mengambil dari tabungan, pinjam dari saudara, menggadaikan emas, pinjam dari bank, jual motor, jual tanah, dan lain sebagainya.

Setelah seluruh monyet di kandang saudagar habis dibeli oleh penduduk desa, pada malam hari sang asisten pergi secara diam-diam dari desa tersebut dengan membawa seluruh uang hasil penjualan monyet.

Keesokan harinya, tinggallah penduduk desa terbengong-bengong, sang asisten telah pergi dan sang saudagar tidak pernah kembali lagi ke desa.

Penduduk desa menangis karena menyimpan ribuan ekor monyet, tidak mempunyai harta benda, mempunyai hutang dan sebuah kandang besar yang kosong.

Dari ilustrasi di atas, percaya atau tidak, sang saudagar dengan omzet 8,125 milyar dan dengan hanya mengeluarkan modal 1,7 milyar, mendapatkan laba bersih dari berdagang monyet sebesar 6,425 milyar rupiah.
Kalau tidak percaya, coba anda hitung sendiri  

Nah, sekarang ganti kata-kata monyet pada cerita di atas dengan kata “ikan cupang”, “tanaman gelombang cinta”, “batu akik”, “tokek”, “burung love bird”, “tanaman janda bolong”, dan sekarang sedang trending “bitcoin”. Belum lagi investasi investasi bodong yang berkedok bermacam-macam.

Di bisnis monyet ini ada dua jenis games yang dimainkan:
1. Commodity Mining / Harvesting = Greedy Games (serakah).
Yang paling diuntungkan adalah orang-orang yang berjualan perangkat untuk mining dan harvesting komoditi.
2. Commodity Trading = Gambling Games (judi).
Yang paling diuntungkan adalah para penyelenggara perdagangan (jual/beli) komoditi.

Jebakan Bisnis Monyet

Itulah gambaran dari monkey business atau bisnis monyet ini. Pebisnis akan kabur dengan membawa keuntungan yang telah ia dapatkan dari korban. Karena. Impian ingin cepat kaya menjadi mindset utama para korban.

Contoh di dunia nyata adalah banyaknya kasus arisan bodong yang berakhir kerugian bagi para anggotanya.

Awalnya anggota diiming-imingi arisan dengan keuntungan berlipat. Di awal waktu atau di satu putaran pertama hingga selesai, keuntungan bisa dirasakan oleh warga sehingga pada periode berikutnya warga diminta untuk meningkatkan jumlah saldo arisannya.

Warga juga tidak khawatir awalnya karena keuntungan sebelumnya yang mereka dapatkan. Kemudian dengan jumlah anggota yang lebih banyak serta iuran yang lebih tinggi, tentu uang yang dikumpulkan oleh pihak penyelenggara sangat banyak sekali hingga mencapai angka ratusan bahkan mencapai miliaran. Penyelenggara arisan kemudian kabur dengan uang yang ada di tangan.

Ada contoh lain seperti batu akik, tokek dan lain sebagainya yang booming dengan harga fantastis kemudian orang ramai membelinya walau harganya selangit. Tokek atau batu akik kemudian dipajang di rumah dengan harapan ada orang lain yang membelinya dengan harga yang tinggi pula. Sebenarnya tidak masalah karena kalau sudah suka, harga berapapun tidak akan menjadi kendala.

Yang menjadi masalah adalah cara berpikirnya yang rela membeli barang dengan harga fantastis namun tidak memiliki kegunaan apapun untuk hidupnya bahkan tidak jarang jika barang tersebut sebenarnya barang yang tidak terpakai dan tidak berguna.

Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan jika pada dasarnya semua orang pasti ingin mendapatkan keuntungan. Meski begitu tidak baik jika keuntungan tersebut diperoleh dari hasil menipu orang. Sebaliknya sebagai masyarakat yang cerdas ada baiknya kita bisa lebih waspada pada bisnis atau investasi yang tidak jelas seperti Monkey Business. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES