News Commerce Indonesia Bangkit

Pakar STAI Taswirul Afkar: Pendidikan Islam Berkesempatan Mengisi Spiritualitas Society 5.0

Kamis, 08 April 2021 - 18:48 | 59.08k
Dr H Rangga Sa'adillah SAP MPdI saat menyampaikan materi di kuliah pakar secara online yang digelar UMM, Kamis (8/4/2021).
Dr H Rangga Sa'adillah SAP MPdI saat menyampaikan materi di kuliah pakar secara online yang digelar UMM, Kamis (8/4/2021).
FOKUS

Indonesia Bangkit

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pendidikan Islam berkesempatan untuk mengisi ruang hampa pada era society 5.0Ruang hampa tersebut ialah spiritualitas yang kering pada masyarakat society 5.0. Hal itu seperti diungkapkan Dr H Rangga Sa’adillah SAP MPdI, pakar Pendidikan Islam STAI Taswirul Afkar Surabaya.

Pernyataan akademisi STAI Taswirul Afkar itu diungkapkan saat mengisi kuliah pakar yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), secara online, Kamis (8/4/2021).

Menurut Rangga, perubahan adalah sebuah keniscayaan, termasuk kecanggihan teknologi yang semakin lama semakin maju hal tersebut tidak bisa kita hindari. “Saat ini kita sudah masuk pada era society 5.0 artinya saat ini ialah era lompatan peradaban kecanggihan manusia babak kelima,” ujarnya.

Dalam kuliah pakar yang dihadiri oleh 200 peserta yang tergabung dalam platform digital zoom dan Youtube, Rangga menjelaskan, revolusi industri 3.0 mengakibatkan manusia terperangkap dalam materialisme dan pada akhirnya berujung pada modernisme besar-besaran di penghujung revolusi industri 4.0.

“Arus modernisme dapat menggerus sisi-sisi kemanusiaan yang berperan sebagai energi pendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan,” kata dia.

Meski demikian, lanjut Rangga, pada sisi yang lain kejumudan manusia terhadap modernitas justru akan berbalik arah membuka peluang yang lain seperti kerinduan terhadap sisi kemanusiaannya.

“Era society 5.0 ialah sebuah gerakan untuk mengembalikan sisi humanitas manusia yang selama ini tergerus akibat arus modernism,” tandas dia.

Empat peluang pendidikan Islam dalam menyejukkan spiritualitas di era society 5.0 disampaikan oleh Rangga yakni, pertama, modernitas membawa manusia pada sikap egois, merasa menang sendiri dan merasa dirinya ialah superior.

“Pendidikan Islam berkesempatan untuk menyadarkan masyarakat yang demikian ini dengan nilai-nilai ukhwah dan ta’awun,” ujar dia.

Kekeringan spiritualitas yang kedua, menurut Rangga, ialah manusia berkesempatan untuk disalurkan pada agama akan tetapi sayangnya bukan spiritualitas nyata yang diperoleh melainkan spiritualitas semu.

Dia menjelaskan, agama menawarkan kedamaian kepada pemeluknya akan tetapi bila agamawan salah mengajarkan pesan perdamaian kepada pemeluknya bukan malah menjadikan pemeluk tersebut merasa nyaman justru sebaliknya.

Rangga menilai, agamawan yang mengajarkan terorisme dan radikalisme justru semakin merusak citra agama yang dianutnya.

“Agamawan harus mampu menyebarkan pesan cinta dan kasih kepada siapa pun seperti halnya pesan cinta dari Nabi Muhammad yang dituliskan  oleh Imam Nawawi, la yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi ma yuhibbu linafsihi (tidak sempurna iman seseorang di antara kamu semua sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya),” papar dia.

Rangga melanjutkan penjelasannya, kekeringan spiritualitas yang ketiga, ialah rasionalitas manusia lebih didahulukan ketimbang emosional. Pekerjaan manusia yang padat berupa rutinitas mulai dari pagi hingga petang yang dilakukan setiap hari berimbas pada cara berpikir yang rasional dan individual.

“Setiap kali manusia menjalani pekerjaan harus dipenuhi dengan target dan strategi untuk meraih tujuan tersebut. Manusia begitu egois dan ambisius untuk merengkuh target pekerjaan hingga sisi emosional terlupakan, jarang berkomunikasi dengan orang lain bahkan justru menganggap orang lain adalah pesaing yang harus dimusnahkan,” jelas Rangga.

Kekeringan spiritualitas yang terakhir disebut oleh Rangga sebagai fenomena konsumerisme religius. Ritual religius seperti pernikahan, puasa, hingga umroh dan haji menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan di era revolusi industri 4.0.

Dia mengatakan, misi ritual religius yang semula dilakukan oleh pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat agamanya dengan ikhlas, pada era revolusi industri 4.0 menjadi komoditi yang menggiurkan.

Demikian juga produk religius seperti wakaf dan perbankan syariah semakin menjamur. Tentu saja semakin meluasnya ritual dan produk religius bisa jadi baik akan tetapi bila berujung pada komoditi, ritual dan produk religius tersebut hanya menjalankan misi keagamaan secara semu belaka.

Menutup diskusi pada kuliah pakar Rangga berpesan semua pihak termasuk pengelola dan pemerhati pendidikan agar selalu menatap kemajuan zaman dengan optimisme.

“Era society 5.0 bukan hanya persoalan teknologi dan “internetisasi” melainkan bagaimana persoalan etika religius itu dapat diinternalisasikan sehingga menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama yang rahmatan lil alamin,” pungkas pakar Pendidikan Islam STAI Taswirul Afkar Surabaya ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES