Ekonomi

Gairah Sentra Bata Merah Kabupaten Bandung

Selasa, 06 April 2021 - 21:41 | 73.84k
Perajin bata merah di Kp Sukawangi, Desa Jelegong, Kec Kutawaringin, Kab Bandung. (FOTO: Humas Pemkab for TIMES Indonesia)
Perajin bata merah di Kp Sukawangi, Desa Jelegong, Kec Kutawaringin, Kab Bandung. (FOTO: Humas Pemkab for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Saat menelusuri Kampung Sukawangi, Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, tampak kepulan asap pembakaran, pasir merah dan tumpukan batu bata hampir sepanjang jalan. Kampung itu memang bisa dikatakan sentra produksi bata merah di Kabupaten Bandung.

Usaha itu semakin berkembang, karena warga sekitar melakukannya turun temurun. Salah satu pengusaha bernama Aep Saubari (62), bahkan telah memulai usahanya sejak tahun 1978. Sejak anak pertamanya lahir, hingga sekarang memiliki tujuh anak dan sembilan cucu, Aep menggantungkan penghasilan pada pembuatan salah satu bahan bangunan tersebut.

Perajin bata merah di Kp Sukawangi B

Aep menuturkan, mulanya bahan baku berupa tanah liat didapatkan langsung di desa sendiri. Namun kini harus membeli bahan baku yang bersumber dari Gunung Korehkotok, Desa Pataruman, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, daerah yang berbatasan dengan Desa Jelegong.

"Apalagi kalau musim hujan begini, bahan bakunya agak telat. Saat mobil naik gunung agak licin. Kalau dulu tanahnya kan langsung ada di sini. Enak tinggal bikin. Nggak ada kendala kalau hujan juga. Sekarang tanahnya habis buat 'nyaeur' (menutup lahan) jalan tol, jalan bypass, makanya cepat habis," terang Aep Subari di tempat produksi bata merahnya, Senin (5/4/21).

Setelah mendapat cukup bahan baku, tiga sampai empat orang pekerjanya mampu mencetak 5.000 buah bata basah dalam sehari. Aep menyebutkan, untuk pencetakan ia menggunakan mesin khusus pemotong berbahan bakar solar. Sedangkan untuk upah cetaknya dihitung Rp.85 per buah.

Setelah dicetak, bata disusun untuk dikeringkan. Kemudian dibawa ke tempat pembakaran. Sebanyak 15 ribu buah bata kering akan melalui proses pembakaran, yang memerlukan waktu sekitar dua hari tiga malam. Selain tanah liat, kayu dan gabah untuk bahan bakarnya juga harus ia beli.

"Untuk kayu bakar dan gabahnya itu ada yang suplai. Pembakaran ini harus dilakukan agar kualitas batanya bagus. Upah pengangkutan ke tempat pembakaran, dan upah pekerja yang membakar, itu lain dengan upah pencetakan," ucap Aep tanpa menyebutkan angka secara rinci.

Total waktu produksi dari mulai bahan baku tersedia, tambah Aep, memakan waktu dua pekan. Sehari untuk percetakan, dua sampai tiga hari untuk pembakaran, dan sisanya yang paling lama adalah proses pengeringan sebelum bata dibakar. Jadi dalam sebulan, pembakaran hanya dilakukan dua kali.

Terkait penjualan, Aep mematok harga Rp.650 per buah. Ia biasa memasarkan produksinya ke seluruh wilayah Bandung Raya. Di kampung tersebut, kurang lebih ada sekitar 100 orang pengrajin bata merah.

Perajin bata merah di Kp Sukawangi C

"Pengiriman bata merah paling jauh itu ke Bogor dan Cianjur, tapi paling banyak dari wilayah Bandung Raya. Selain bata merah, warga kampung ada juga yang usaha konveksi. Termasuk saya di rumah punya usaha rajut juga. Hanya keahlian warga sini kebanyakan lebih ke bata merah," tambah Aep.

Ia punya harapan, ke depan Desa Jelegong bisa memiliki koperasi bata merah untuk membantu permodalan usaha warga.

"Sampai saat ini belum pernah ada pasokan untuk modal. Saya mewakili warga, memohon kepada pemerintah untuk bisa mendirikan koperasi bata merah, untuk biaya sekolah dan kemajuan serta masa depan anak-anak kami," ucap Aep.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES