Peristiwa Nasional

Membayangkan Nasib Jakarta Jika Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara

Selasa, 06 April 2021 - 07:57 | 85.72k
Indahnya Ibu Kota Indonesia, Jakarta pada malam hari. (FOTO: Instagram/Jakarta Terkini)
Indahnya Ibu Kota Indonesia, Jakarta pada malam hari. (FOTO: Instagram/Jakarta Terkini)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Meski sempat tertunda karena Covid-19, proyek pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia positif berlanjut. Pemindahan Ibu Kota ke sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur (Kaltim) itu, akan dimulai peletakan batu pertama Istana Presiden pada April 2021.

Kemarin, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sudah memamerkan pradesain Istana Negara tersebut. Kepala Negara juga berharap, masyarakat Indonesia mau memberi masukan pada pradesain itu.

"Dengan masukan-masukan itu nantinya, saya akan mengundang kembali para arsitek dan para ahli lainnya untuk melakukan pengkayaan pradesain menjadi basic desain Istana Negara," kata Presiden Jokowi.

Lalu bagaimana nasibnya jika nanti Ibu Kota Indonesia sudah fiks pindah. Tentu, bayangan tentang nasib Jakarta itu muncul dari benak masyarakat. Apa yang akan berubah? Masihkah Jakarta sebagai Kota Metropolis?

Mengenai hal itu, Pakar Antropologi, Yanuardi Syukur berpendapat, perpindahan Ibu Kota pemerintahan ke Kaltim berdampak pada Jakarta sebagai kota bisnis.

"Sebagai kota bisnis, Jakarta akan tetap menjadi mercusuar dalam perputaran bisnis, seperti New York yang sangat berkembang dalam bisnis dan Washington, DC yang berkembang dari segi pemerintahan," katanya kepada TIMES Indonesia, Selasa (6/4/2021).

Menurutnya, Jakarta sebagai kota bisnis akan tetap diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada kota-kota lainnya di Indonesia, agar dapat mengembangkan kota bisnis yang sesuai dengan karakter kota masing-masing.

JAkarta dalam Foto 1Kemacetan yang biasa terjadi di Jalan Sudirman, Jakarta. (FOTO: Instagram/Jakarta Terkini)

Ia menambahkan, kearifan lokal tentu saja tidak boleh dikesampingkan karena rasionalitas masyarakat Indonesia tidak terlepas dari harmoni antara manusia dengan budaya. Maka, kebudayaan lokal tetap harus dipertimbangkan dan sebaiknya dilibatkan sebagai representasi kemajuan kota.

"Dalam konteks Jakarta, kota ini jangan sampai tercerabut dari kebudayaan majemuk yang ada di dalamnya. Karena kebudayaan itulah yang akan menjadikan sebuah kota khas dari kota-kota lainnya di dunia," jelasnya.

"Jakarta sebagai kota bisnis dapat tetap mengintegrasikan berbagai sektor seperti perdagangan, logistik, keuangan, perbankan, dan pariwisata seiring sejalan sebagai teladan bagi kota-kota lainnya," katanya lagi.

Kata dia, hal yang akan berubah tentu saja terkait status Ibu Kota. Namun, yang bertahan adalah sinergi antarmanusia dari berbagai latar belakang etnik, agama, afiliasi, dan lain sebagainya.

"Sejauh ini saya melihat sinergi di ibu kota Jakarta sangat bagus dengan tidak menafikan beberapa kasus yang disulut oleh dinamika perubahan politik," ujarnya.

Tak Berubah

Guru besar tata ruang sekaligus Chairperson Department of Community and Regional Planning College of Agricultural, Life, and Natural Science Alabama A&M University, Amerika Serikat, Deden Rukmana, mengatakan, meski Ibu Kota berpindah, kondisi Jakarta tak akan banyak berubah.

Hal itu kata, jika melihat kecenderungan serupa dari negara lain. Salah satunya kata dia, bisa berkaca pada Lagos. Kota di Nigeria itu bernasib sama seperti Jakarta, saat tidak lagi berstatus sebagai ibu kota dan digantikan oleh kota Abuja.

The New York Times pun mencatat, Murtala Mohammed, kepala negara pada masa itu, memutuskan pemindahan ibu kota dari Lagos ke Abuja karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah karena kepadatan populasi.

”Berkaca pada Lagos, saya yakin Jakarta akan tetap berkembang sebagai megacities, tidak tertutup kemungkinan menjadi lebih padat. Seiring dengan pemindahan IKN, orang mungkin akan berpindah peraduan nasib, tetapi prosesnya pasti sangat lamban,” katanya seperti dikutip dari Kompas.id.

”Tantangan Jakarta selanjutnya adalah mengelola pertumbuhan dan ketimpangan di kota besar. Persoalan penduduk, lingkungan, hingga perumahan dan air bersih yang mudah dijangkau, itu yang harus segera dituntaskan,” tambahnya.

Tetap Macet

Sementara itu, menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dipindahnya status Ibu Kota tidak akan mengurangi tingkat kemacetan bagi Jakarta. Menurutnya, faktor utama penyumbang kemacetan di wilayah Jakarta bukanlah kegiatan dari sektor pemerintahan.

"Perpindahan ibu kota tidak otomatis mengurangi kemacetan, karena kontributor kemacetan di Jakarta adalah kegiatan rumah tangga dan kegiatan swasta, bukan kegiatan pemerintah," katanya beberapa waktu lalu.

Mantan Mendikbud RI itu mengaku, jumlah kendaraaan milik pribadi jauh lebih banyak dari pada kendaraan yang dimiliki oleh dinas pemerintah. Ia mencatat, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta sekitar 17 juta. Sedangkan kendaraan kedinasan 141 ribu.

"Kalau pun pemerintah pindah, tidak kemudian mengurai masalah kemacetan, kemudian dihitung PNS menggunakan kendaraan pribadi, maka dalam hitungan kita pegawai pemerintah itu sampai 8 persen sampai 9 persen," ujarnya.

Yang Akan Pindah

Sebelumnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan, pembangunan Ibu Kota baru di Kaltim diperkirakan memindahkan 1,5 juta penduduk dalam 5 hingga 10 tahun.

Pada 2024, ada sekitar 205.000 penduduk yang pindah ke ibu kota baru. Jumlah tersebut terdiri dari sekitar 180.000 Aparatur Sipil Negara (ASN), di antaranya PNS pusat, pejabat-pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, serta yudikatif dan lainnya. Sementara itu, 25.000 lainnya merupakan anggota TNI dan Polri.

Salama 5 hingga 10 tahun setelah Ibu Kota resmi berpindah akan ada tambahan penduduk sekitar 1,2 juta jiwa.

Angka itu terdiri atas keluarga-keluarga dari ASN dengan asumsi dua anak per ASN sebanyak 800.000 orang dan pelaku bisnis pendukung pemerintahan seperti rumah makan, pusat perbelanjaan, dan lain lain pada kisaran 300.000 hingga 400.000 orang.

Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Prawiradinata mengatakan, Kementerian PPN/Bappenas telah memproyeksikan jumlah penduduk dan urbanisasi yang akan terjadi di Ibu Kota baru itu.

Saat ini, penduduk setempat Ibu Kota Negara tercatat 100 ribu jiwa. Jumlah tersebut diperkirakan bertambah menjadi 700 ribu jiwa di 2025, kemudian berkembang menjadi 1,5-1,6 juta jiwa di 2035, hingga mencapai perkiraan 1,7-1,9 juta jiwa di 2045.

"Berdasarkan ini, kita akan merancang desain kotanya seperti apa, sistem transportasi, gedung, dan lainnya. Selain itu, kami tetap memastikan lingkungan hidupnya terjaga,” ujarnya soal Ibu Kota Negara baru Indonesia. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES