Kopi TIMES

Restorative Justice, Jalan Menuju Keadilan

Senin, 05 April 2021 - 23:34 | 130.69k
Okki Oktaviandi, S.Tr.Pas. S.H.; ASN Kementerian Hukum dan HAM RI
Okki Oktaviandi, S.Tr.Pas. S.H.; ASN Kementerian Hukum dan HAM RI

TIMESINDONESIA, JAKARTARestorative justice is a victim centered response to crime that allows the victim, the offender, their families, and representatives of the community to address the harm caused by the crime” Umbrait.

Kata-kata tersebut menegaskan bahwa Restorative Justice (RJ) ditujukan pada respon dari pelaku, korban, keluarga serta masyarakat atas tindak pidana yang diakibatkan oleh pelaku serta jalan penyelesaian serta pertanggung jawaban pelaku untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya peran dari seluruh elemen yang terlibat dalam perkara pidana baik keluarga korban, keluarga pelaku maupun anggota masyarakat dalam hal penyelesaian perkara pidana. RJ juga dipandang sebagai proses mencapai keadilan dengan jalan kesepahaman antara kedua belah pihak yang bertikai. Tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana konsep RJ dalam kaitannya dengan proses penyelesaian perkara pidana.

Perkembangan Restorative Justice di Dunia

Restorative justice pertama kali dikemukakan oleh Albert Eglash dalam tulisannya yang membahas tentang reparation bahwa RJ adalah suatu pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan rehabilitatif. Dalam perkembanganya, RJ ini telah diterapkan pada Pemerintahan Canada pada tahun 1970, yakni dengan memperkenalkan program penyelesaian perkara pidana di luar peradilan tradisional yang dilaksanakan oleh masyarakat. Istilah ini dikenal dengan victim offender mediation.

Pelaksanaan penyelesaikan perkara pidana ini digunakan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana anak dimana pelaku serta korban dipertemukan untuk menyelesaikan perkara pidana melalui jalan kesepakatan antara kedua belah pihak. Alhasil, dari proses ini memberikan keuntungan dan manfaat antara kedua belah pihak, yakni selain untuk menurunkan angka residivis, juga memberikan rasa tanggung jawab kepada anak (pelaku) kepada anak (korban) untuk melaksanakan ganti rugi sebagai proses penyelesaian pidana. Selain itu juga, hal tersebut memberikan rasa kepuasan tersendiri bagi anak yang bertikai dibandingkan dengan proses peradilan yang dilaksanakan berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh masyarakat. 

Sejalan dengan lahirnya RJ ini, konsep penyelesaian perkara pidana ini mengalami perkembangan cukup pesat, salah satunya adalah dengan terbentuknya kelompok praktik di negara- negara seperti di Benua Australia Eropa dan Amerika. Penerapan tersebut diorbitkan dalam empat kelompok praktik RJ yakni;

A.    Victim Offender Mediation (VOM)
Yakni adalah kepentingan dan kewenangan bagi korban untuk ikut serta dalam proses penyelesaian perkara pidana dengan berdiskusi dengan pelaku sehingga pelaku dapat bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya.

B.    Family Group Conferencing (FGC)
Yakni pihak keluarga, maupun tokoh adat setempat mempunyai andil dalam proses penyelesaian perkara anak.

C.    Circles 
Yakni proses penyelesaian perkara pidana dengan jalan adalah mempertemukan pelaku dan korban sekaligus keluarga kedua belah pihak untuk menemukan solusi atau jalan keluar terhadap permasalahan anak.

D.    Restorative Board/Panels
Yakni proses penyelesaian pidana dengan jalan diskusi, dimana keluarga pihak korban akan berdiskusi dengan pihak pelaku untuk mempertanggungjawabkan perlakuan yang diperbuatnya.

Perkembangan Restorative Justice di Indonesia    

Konsep RJ sebenarnya telah lahir di Indonesia sejak keberadaan Pancasila menjadi dasar negara sekaligus sebagai pemersatu bangsa. Sila keempat Pancasila yang menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” menunjukkan bahwa sejatinya bangsa Indonesia telah menerapkan mufakat sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Selain itu, hal tersebut menyatakan juga bahwa pentingnya sebuah kesepahaman ataupun mufakat atas dasar kerakyatan dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa, bangsa Indonesia sangat mendukung proses RJ ini dalam rangka mencapai kesepakatan dan kesepahaman baik dalam lingkungan kekeluargaan maupun lingkungan masyarakat. Dengan demikian, sebagai bangsa yang moderat yakni bangsa yang mengakui kebhinekaan, Indonesia akan selalu mengutamakan kesepahaman dengan jalan kebersamaan baik dalam mencapai kesejahteraan bersama maupun lebih luasnya dalam penyelesaian konflik dalam kehidupan bermasyarakat.

Penanganan Overcrowded

Rasanya sungguh tidak adil jika masalah overcrowded hanya di bebankan pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM, lebih khususnya adalah Lapas maupun Rutan. Seharusnya dalam proses penanganan perkara pidana seluruh Aparat Penegak Hukum (APH) terkait bertanggung jawab atas proses peradilan pidana baik pada pra-adjudikasi, proses adjudikasi hingga pasca adjudikasi. Hal ini dikemukakan oleh Wakil Menteri Hukum, Eddie OS Hiariej pada harian Kompas tanggal 27 Januari 2021 dengan tema “Quo Vadis Pemasyarakatan”

Pada dasarnya, seluruh APH mempunyai kewenangan dalam proses penyelesaian perkara/proses peradilan pidana hal ini juga termasuk dalam bagaimana penanganan overcrowded dalam Lapas dan Rutan. Berdasarkan data dari Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) pada bulan Maret 2021, bahwa data penghuni Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) seluruh Indonesia adalah 266.278 orang dengan jumlah petugas Pemasyarakatan adalah 44.752 orang. Perbandingan jumlah petugas dan penghuni adalah 1:16 orang. Saat ini kapasitas yang tersedia diseluruh Lapas/Rutan se-Indonesia adalah 135.704 orang sehingga perbandingan kapasitas saat ini dengan ruang yang tersedia di Lapas dan Rutan se-Indonesia adalah adalah 96%. 

Melihat data tersebut, seharusnya sudah menjadi urgensi bersama bahwasannya kondisi overcrowded adalah isu strategis nasional yang harus dicari ide ataupun solusi penyelesaianya. Wamenkumham, Eddie Os Hiariej juga menyampaikan dalam adagium yakni “Poena Ad Paucos, Metus Ad Omnes Perveniat” yang menyatakan bahwa “tidaklah berarti bahwa setiap orang yang berbuat jahat harus dihukum penjara, ada alternatif lain yang dapat digunakan dengan tujuan penjeraan maupun pencegahan”.

Selain jalan penertiban regulasi dan legal substance, yakni amandemen Undang-Undang maupun revisi Perundang-Undangan, sebenarnya banyak alternatif yang dapat digunakan oleh APH salah satunya adalah dengan pendekatan legal culture. Pendekatan legal culture yang dimaksudkan disini adalah dengan jalan pemulihan bagi keluarga korban yang bertikai dengan mengedepankan konsep restorasi. Atau idealnya adalah pendekatan Restorative Justice.
 
Restorative Justice dalam Perspektif Pemasyarakatan

Restorative Justice (RJ) adalah salah satu alternatif pendekatan restoratif yaitu dengan melibatkan kedua belah pihak yang bertikai untuk memberikan solusi terbaik antara kedua belah pihak sebagai jalan keluar dari proses pemidanaan. Alternatif pemidanaan berbentuk RJ ini dapat meminimalisir meningkatnya kapasitas hunian (overcrowded) di Lapas dan Rutan, khususnya pada tahap pra-adjudikasi dimana peran petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) adalah melakukan mediasi antara kedua belah pihak sebelum dilanjutkan ke ranah hukum. 

Selain itu, pendekatan keadilan restoratif memperluas pemahaman tentang proses pencapaian keadilan yang kolaboratif yaitu dengan melibatkan masyarakat di dalamnya. Masyarakat diberi kesempatan untuk bereaksi positif terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan mengambil peran yang signifikan bersama-sama dengan pemerintah dalam mencapai tujuan keadilan restoratif yaitu melindungi masyarakat dari pengulangan tindak pidana dan pemulihan hubungan hidup warga binaan dengan hidup, penghidupan dan kehidupannya.

Hal inilah yang menjadi kekuatan dari pendekatan keadilan restoratif. Dengan melibatkan masyarakat, maka RJ ini dapat meminimalisir seorang pelanggar hukum langsung digiring ke ranah hukum, kecuali dengan melalui pendekatan mediasi terlebih dahulu sehingga pemidanaan berbentuk sosial adalah sangat diharapkan dalam menyelesaikan perkara pidana. 

Lebih khusus, penerapan Keadilan Restoratif dalam Pemasyarakatan di Indonesia sendiri sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, keterlibatan masyarakat menjadi salah satu pilar pembinaan yang memegang peranan penting dalam rangka keberhasilan program pembinaan. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Selain itu, peran penting masyarakat dalam pelaksanaan pemasyarakatan lebih lanjut dimuat dalam pasal 9 ayat 1, yang menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Hal tersebut menyiratkan bahwa tujuan sistem pemasyarakatan dapat diwujudkan melalui sinergitas antara aparat penegak hukum, pelanggar hukum dan masyarakat.

Dengan pelaksanaan RJ ini adalah dapat memberikan jawaban bahwasannya pelaksanaan pidana dapat diselesaikan tidak hanya dengan jalan peradilan namun dengan pendekatan RJ dapat menjadi jawaban sekaligus dapat dilaksanakan untuk mengurangi kepadatan narapidana di dalam Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan Restorative Justice ini dapat melibatkan sejumlah APH sekaligus masyarakat untuk turut andil dalam menyelesaikan permasalahan demi mencapai keadilan bersama. 

***

*)Oleh: Okki Oktaviandi, S.Tr.Pas. S.H.; ASN Kementerian Hukum dan HAM RI

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES