Kopi TIMES

Demokrasi dan Pentingnya Konsultasi Publik: Refleksi Rencana Impor Beras dan Garam

Senin, 05 April 2021 - 20:22 | 48.42k
Herza; Dosen LB/Tidak Tetap di Ilmu Politik UBB.
Herza; Dosen LB/Tidak Tetap di Ilmu Politik UBB.

TIMESINDONESIA, BANGKA BELITUNG – Setelah cukup terbuai dengan polemik catur - ributnya Dewa Kipas dengan Gothamchess (alias Levy Rozman) sang youtuber catur international, lalu dilanjutkan duel catur face to face WGM (Woman Grand Master) Irene Kharisma Sukandar dan Dewa Kipas alias Pak Dadang, sampai kepada kehebohan netizen dengan pesona komentator duel tersebut, Chelsea Monica, nampaknya publik harus diingatkan agar turut memerhatikan persoalan faktual penting lainnya, yakni 'rencana' pemerintah tahun ini untuk impor beras 1 juta ton dan garam 3 juta ton yang santer diberitakan media akhir-akhir ini (kawan-kawan bisa mengakses berita ini dengan mudah di Tempo, Kompas, CNN Indonesia, Bangka Pos dll). 

Dalam hal ini, tentu penulis tidak dalam posisi untuk langsung mengajak publik agar kontra dengan kebijakan yang memang tidak populer secara politik tersebut.  Meski memang tidak bisa dinafikkan juga, bahwa kebijakan yang tidak populer (secara politik) seperti itu, mudah sekali mengundang wacana yang berisi caci maki di publik, sehingga kebanyakan dari kita pasti sudah paham dan merasa wajar jika respon dari warga lebih cepat dan banyak yang anti terhadap rencana kebijakan Pemerintah tersebut, ketimbang pihak yang pro (tapi situasi ini juga bisa dengan mudah terbalik, mengingat fenomena buzzer saat ini yang bukan lagi menjadi rahasia umum). 

Alih-alih langsung mencaci maki, selaku seorang peminat kajian Demokrasi, penulis ingin mengomentari persoalan ini dengan perspektif yang arahnya menunjukkan bagaimana implementasi dari Demokrasi yang sejati ataupun radikal. Sederhananya, dalam konteks persoalan ini, kira-kira penulis ingin mengatakan bagaimana seharusnya negara yang menganut sistem Demokrasi ini berjalan - dari yang semula masih di fase rencana kebijakan, hingga sampai kepada fase penetapan rencana itu menjadi legal untuk diterapkan (menjadi sebuah kebijakan publik yang absah) . 

Kita tahu bahwa, salah satu aspek prinsipiel dari sistem politik demokrasi adalah rakyat memiliki kedaulatan untuk menentukan kebijakan dan arah berjalannya negara. Demokrasi sama dengan mengakui keabsolutan daulat dari yang namanya rakyat (ini juga yang disuarakan dengan lantang pada saat revolusi Perancis pada abad ke-18 dulu) . Dalam konteks ini juga, jangan lupa bahwa semua kelompok/golongan yang masuk ke dalam kategori rakyat, memiliki daulat yang setara. Tidak ada yang namanya mayoritas lebih berdaulat ketimbang kelompok minoritas. Kelompok saya pribumi (penduduk asli) lebih berhak ketimbang kelompok Anda yang nenek moyangnya dulu pendatang. Bahkan lebih radikalnya lagi, orang-orang yang masih termasuk imigran dalam sebuah negara demokrasi pun harus diakui memiliki kedaulatan atau paling tidak, jangan dikesampingkan eksistensinya (Mouffe, 2018). 

Berkaitan dengan hal di atas itu, penulis ingin menegaskan bahwa, Pemerintah (dan tentunya kita semua juga) harus selalu ingat dalam konteks memutuskan kebijakan-kebijakan publik yang strategis atau berpengaruh besar terhadap orang banyak, seperti halnya mengenai impor beras dan garam yang katanya untuk kepentingan industri ini, harusnya ada upaya perlibatan rakyat/publik secara intens, sehingga Pemerintah bisa mendapat pemahaman secara komprehensif bagaimana keinginan dan dinamika yang terjadi di publik terkait rencana kebijakan tersebut. 

Perlu disentil bahwa, jangan sampai mereka para pejabat (apalagi kita yang rakyat biasa) mempunyai pikiran-- cukuplah suara rakyat atau publik itu terwakilkan pada Dewan Perwakilannya (DPR dan DPD) atau percayakan saja kepada pihak kementerian yang lebih paham, sehingga tidak perlu intens juga konsultasi ataupun mengupayakan terjadinya diskusi publik. Demokrasi yang radikal dan sejati, tidak begitu cara mainnya. Pola representatif itu masih kurang kalau mau memperlihatkan adanya kedaulatan yang absolut dari rakyat di negara ini. Bolehlah tidak melibatkan pihak di luar lembaga negara, jika konteks persoalannya terbatas pada persoalan birokratis dan teknis pelaksanaan lembaga-lenbaga negara tersebut.

Namun, sekali persoalannya menyangkut masalah hajat hidup orang banyak, maka konsultasi publik yang intens itu adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu untuk pemcaca yang budiman, mari  kita fokus menyuarakan hal ini agar apa yang terjadi seperti pada proses pengesahan UU Ombibus Law kemarin tidak melulu terulang dalam hal rencana kebijakan publik lainnya. 

Konsultasi dan diskusi publik intens yang dimaksud tentu bisa dengan ala-ala yang diinginkan Jurgen Habermas (terkenal dengan teori Demokrasi Deliberatif-nya, 1984), yakni misalnya - Pemerintah yang dalam hal ini pihak Kementerian terkait, bersama dengan para anggota DPR melibatkan secara serius aktor-aktor ataupun pelbagai pihak yang mampu berkomunikasi/berbicara rasional terkait persoalan garam dan beras ini. Bisa saja melibatkan perwakilan dari komunitas petani, petambak garam, para akademisi yang concern terhadap bidang ini, para pengusaha industri yang katanya membutuhkan garam impor ini, para aktivis terkait dan pelbagai pihak lainnya.

Upayakan agar ruang/forum untuk berkomunikasi ini memungkin para pelbagai pihak tersebut untuk berbicara atau berdialog secara bebas (dari intervensi rezim kekuasaan) dan rasional, sehingga pada akhirnya konsultasi ataupun diskusi publik ini bisa menghasilkan sebuah konsensus yang sudah teruji kelayakannya untuk menjadi rujukan dalam memutuskan apakah sudah tepat untuk melakukan impor beras dan garam dalam jumlah sebanyak itu, atau sebaliknya, ada alternatif lain yang lebih baik. 

Atau bisa dengan cara yang diharapkan Chantal Mouffe (terkenal dengan teorinya Demokrasi Plural-Radikal dan Demokrasi Agonistik) , yakni negara/pihak Pemerintah selain memfasilitasi terbentuknya ruang/forum dialog yang diisi oleh orang-orang atau pihak yang mampu berbicara secara rasional dan kritis, negara juga harus mengakomodir suara pihak atau orang-orang yang berkaitan langsung dengan persoalan ini namun tidak mampu berbicara di ruang yang menuntut eksistensi kerasionalan.

Rangkul suara mereka yang meski lebih didominasi oleh subjektifitas seperti bersuara dengan mengutamakan perasaan yang emosional, mudah simpatik dan mungkin tampak irasional untuk standarisasi kerasionalan secara umum. Sebab bagi Mouffe (2018), negara demokrasi tetap harus menganggap absah dan legal suara-suara pihak tersebut untuk menghuni ruang publik, dan tentu harus diperhitungkan ketika melakukan konsultasi publik untuk mencari jalan keluar dari persoalan ini. Bukan malah dihilangkan atau dianggap tidak legitimate, karena dianggap sebagai suara-suara yang tidak rasional.

***

*) Oleh: Herza; Dosen LB/Tidak Tetap di Ilmu Politik UBB.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES