Peristiwa Internasional Vaksin Covid-19

Alami Pembekuan Darah, 7 Warga Inggris Meninggal Usai Vaksin AstraZeneca

Senin, 05 April 2021 - 15:10 | 54.80k
Ilustrasi Vaksin AstraZeneca (Foto: REUTERS/DADO RUVIC)
Ilustrasi Vaksin AstraZeneca (Foto: REUTERS/DADO RUVIC)
FOKUS

Vaksin Covid-19

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sebanyak tujuh orang di Inggris mengalami pembekuan darah setelah menerima suntikan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca meninggal, Sabtu (3/4/2021) akhir pekan lalu. Badan Pengatur Produk Kesehatan dan Obat-obatan Inggris (MHRA) menyatakan ketujuh orang tersebut, meninggal dunia. 

Menurut informasi dari Straits TIMES, laporan kasus pembekuan darah tersebut muncul setelah program vaksinasi yang sudah diberikan sebanyak 18,1 juta dosis kepada masyarakat Inggris. Dalam pernyataannya, MHRA menyebutkan bahwa "Dari 30 laporan hingga dan termasuk 24 Maret, sayangnya 7 telah meninggal."

MHRA melansir 22 kasus penerima vaksin covid-19 AstraZeneca mengalamai pembekuan langka yang disebut trombosis sinus vena serebral. Sementara 8 kasus lain menunjukkan penerima AstraZeneca mengalami trombosis diiringi  tingkat trombosit darah rendah, yang membantu pembekuan darah.

Sedangkan masyarakat penerima vaksin Pfizer-BioNTech, tak ada yang dilaporkan mengalami pembekuan darah. 

"Tinjauan menyeluruh kami terhadap laporan ini sedang berlangsung," demikian pernyataan MHRA.

Kepala eksekutif MHRA June Raine masih menekankan bahwa manfaat vaksin AstraZeneca jauh lebih besar daripada risikonya.

"Masyarakat harus terus mendapatkan vaksinnya jika diundang," katanya.

Seiring dengan laporan tersebut, seorang pakar medis telah meminta penelitian lebih lanjut tentang vaksin AstraZeneca.

Berbicara kepada program Radio 4's Today, Paul Hunter, Profesor Kedokteran di Universitas East Anglia, mengatakan "Jelas lebih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan" untuk membangun hubungan yang jelas antara vaksin dan pembekuan darah.

Ketika ditanya apakah pembekuan darah itu kebetulan atau tidak, Prof Hunter mengatakan masih terlalu dini untuk menjawab.

"Masih terlalu dini untuk mengatakannya. Tetapi hal pertama yang perlu dikatakan adalah sebenarnya tidak jarang mendapatkan kelompok peristiwa langka murni secara kebetulan," jelas Prof Hunter dikutip dari Daily Express.

"Sebelumnya hal ini terjadi di negeri-negeri berbahasa Jerman, dan kini di inggris. Maka saya pikir kemungkinan itu menjadi asosiasi acak, sangat rendah," jelasnya.

Prof Hunter mengatakan, kemungkinan kematian akibat virus corona jika tidak mendapatkan vaksin "berkali-kali lebih besar" daripada risiko kematian akibat pembekuan darah setelah divaksin.

Sang profesor juga mengatakan komunitas medis harus segera melakukan "analisis kasus yang tepat".

Prof Hunter juga memberikan pendapatnya tentang negara-negara Uni Eropa yang melarang sementara pemberian vaksin kepada orang-orang yang lebih muda.

"Pada akhirnya apa yang mereka lakukan akan menyebabkan lebih banyak kematian dalam populasi mereka daripada jika mereka melanjutkan vaksin." jelas Prof Hunter.

Awal pekan ini, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mempertimbangkan vaksin Sputnik V buatan Rusia di tengah kekhawatiran atas vaksin buatan AstraZeneca. Namun vaksin Sputnik V belum disetujui untuk digunakan oleh Uni Eropa. Kritikus mengecam langkah kedua negara tersebut karena dianggap 'merusak konsensus' negara-negara Barat yang telah memberi sanksi kepada Rusia atas keracunan zat saraf Salisbury pada tahun 2018. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES