Peristiwa Internasional

Ada Kekhawatiran Perang Saudara Dengan Pertumpahan Darah Skala Besar di Myanmar

Senin, 05 April 2021 - 12:15 | 32.62k
Pasukan rezim saat melakukan tindakan keras di Yangon pada bulan Maret, dan warga turun ke jalan di Monywa, Wilayah Sagaing, pada bulan April.(FOTO:The Irrawaddy)
Pasukan rezim saat melakukan tindakan keras di Yangon pada bulan Maret, dan warga turun ke jalan di Monywa, Wilayah Sagaing, pada bulan April.(FOTO:The Irrawaddy)

TIMESINDONESIA, MYANMAR – Ada kekhawatiran perang saudara pecah di Myanmar dengan pertumpahan darah dalam skala besar menyusul deklarasi 10 kelompok etnis di Myanmar yang mendukung rakyat melawan junta militer Myanmar.

Dilansir CNN, Pemimpin kelompok Dewan Restorasi Negara Bagian Shan, Jendral Yawd Serk, mendeklarasikan dukungan itu dalam pertemuan virtual milisi Myanmar pada Sabtu (3/4/2021)

"Saya ingin menyatakan bahwa 10 kelompok resmi mendukung rakyat yang meminta penghentian kediktatoran," ujar Yawd, seperti dikutip AFP.

Dalam kesempatan itu, Yawd juga menegaskan bahwa mereka saat ini sedang mempertimbangkan kembali perjanjian gencatan senjata dengan pemerintah Myanmar.

Ia menjelaskan bahwa gencatan senjata itu tercapai dalam perundingan damai dengan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang kini sudah dikudeta militer.

Yawd menyatakan bahwa kelompok milisi etnis di berbagai daerah Myanmar tak dapat menerima kekerasan yang dilakukan aparat di bawah junta terhadap para demonstran antikudeta.

Myanmar-2.jpg

"Pemimpin dewan militer harus bertanggung jawab," ucapYawd.

Sementara The Irrawaddy juga melaporkan, tim Pengarah Proses Perdamaian (PPST) dari 10 organisasi etnis bersenjata tersebut  telah memberikan dukungan yang teguh kepada pegawai sipil Myanmar yang mogok dan Piagam Demokrasi Federal pemerintah yang digulingkan dan penghapusan Konstitusi 2008 yang dirancang militer.

Kelompok ini mendesak badan pemerintahan rezim, Dewan Administrasi Negara, untuk menghentikan pembunuhan dan penahanan sewenang-wenang dan membebaskan semua pemimpin yang ditahan.

Hingga Minggu, setidaknya 557 orang, termasuk anak-anak dan pengamat, telah dibunuh oleh tentara dan polisi di seluruh Myanmar.

"Dewan rezim harus bertanggung jawab atas lebih dari 500 warga sipil yang terbunuh oleh pasukannya," kata Jenderal Yawd Serk selama diskusi akhir pekan melalui konferensi video.

"Untuk mengatasi krisis politik ini, kita semua harus bekerja dengan berbagai cara," tambah Yawd Serk sembari menyampaikan hal itu untuk  menghormati "pahlawan yang jatuh selama revolusi musim semi".

Komite anggota parlemen terpilih yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (Parlemen Persatuan), CRPH mengumumkan, bahwa mereka membatalkan Konstitusi 2008 dan memperkenalkan piagam untuk membangun serikat demokratis federal pada 31 Maret.

Myanmar-3.jpg

"Dengan mendukung langkah CRPH, PPST juga meminta rezim militer menghentikan kekejaman terhadap warga sipil tak bersenjata selama diskusi akhir pekan kami. Kami terus mendukung orang-orang yang mengambil bagian dalam gerakan pembangkangan sipil, menentang rezim militer," kata juru bicara PPST, Dr. Salai Lian Hmong Sakhong.

Gerakan pembangkangan sipil, yang diprakarsai oleh petugas medis yang mogok pada 3 Februari, telah diikuti oleh pegawai negeri dari berbagai sektor.

"Kami semua mendukung pengumuman CRPH yang menghapus Konstitusi 2008 dan Piagam Demokrasi Federalnya. Prinsip piagam mencerminkan tuntutan lama dari etnis minoritas," tambahnya.

Pekan lalu, militer melancarkan serangan udara terhadap warga sipil di Distrik Papun Negara Bagian Karen, yang berada di bawah kendali Serikat Nasional Karen (KNU), anggota PPST, membuat lebih dari 12.000 warga sipil mengungsi, dengan banyak yang mencari perlindungan di Thailand.

Dengan dukungan PPST, kekhawatiran telah meningkat bahwa konflik bersenjata lebih lanjut dapat meletus di tempat lain. Myanmar telah mengalami lebih dari tujuh dekade perang saudara antara militer dan berbagai tentara etnis.

PPST mengatakan pada Februari bahwa mereka tidak akan mengadakan negosiasi politik dengan rezim selama pemerintah sipil ditahan. Anggotanya, termasuk RCSS dan KNU, telah menjadi tuan rumah pegawai negeri yang mogok.

Salai Lian Hmong Sakhong mengatakan, pertempuran yang meletus tergantung pada tanggapan dewan rezim militer Myanmar. "Di pihak kami, kami tidak menginginkan perang tetapi perdamaian. Tindakan dewan mengejek proses perdamaian kami," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Widodo Irianto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES