Kopi TIMES

Menjaga Sentimen Pasar Komoditas Gabah

Senin, 05 April 2021 - 13:07 | 43.56k
Joko Ade Nursiyono, Statistisi Ahli Pertama di BPS Provinsi Jawa Timur.
Joko Ade Nursiyono, Statistisi Ahli Pertama di BPS Provinsi Jawa Timur.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan anjloknya harga gabah petani di tengah panen raya. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata harga gabah per kilogram di 29 provinsi selama September 2020 masih sebesar 4.891 rupiah. Namun, di awal tahun ini malah turun drastis pada kisaran 3.300 – 3.800 rupiah per kilogram.

Fenomena ini bukan lagi disebabkan mekanisme ketidakseimbangan antara demand and supply (kebutuhan dan produksi). Pasalnya, kejadian ini terus berulang setiap kali petani tengah menikmati euforia panen. Kebahagiaan saat memangkas padi justru terasa menyedihkan bagi petani, mengingat panjangnya proses menghasilkan bulir padi tak setimpal dengan apa yang mereka peroleh.

Pemerintah mengklaim bahwa Indonesia telah berswasembada beras, tapi klaim tersebut sulit dipertahankan. Saban tahun, masa panen raya yang kita saksikan masih dihiasi guyuran berton-ton beras impor. Alasannya pun tidak jauh berbeda, yakni demi menjaga stok beras sepanjang tahun serta menjaga stabilitas harganya.

Tahun ini, pemerintah berencana mendatangkan beras impor sebanyak 1 juta ton. Padahal, impor beras kurang tepat dilakukan. Data BPS menyebutkan, potensi produksi beras nasional selama periode Januari hingga April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton. Potensi ini tercatat mengalami kenaikan sebesar 26,84 persen bila dibanding subround yang sama tahun 2020 dengan capaian 11,46 juta ton. Selain itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) juga secara tegas menyatakan bahwa cadangan beras nasional masih sebanyak 843.647 ton. Agaknya pemerintah terlalu prematur melemparkan wacana impor tersebut ke media sehingga membuat sentimen pasar komoditas gabah negatif. Impor baru menjadi isu, harga gabah di petani langsung tertekan.

Impor untuk siapa?

Desakan impor pada umumnya selain diakibatkan oleh ketidakmampuan produksi dalam negeri, juga karena harga domestik yang lebih tinggi daripada harga barang impor. Kita tentu menyambut baik rencana pemerintah mengimpor beras tersebut. Meski dengan catatan, kebijakan itu setidaknya mempertimbangkan kapan musim panen raya terjadi.

Jika tidak, di dalam benak kita justru mempertanyaan untuk siapa impor dilakukan. Impor baru sebatas rencana, tapi seketika membuat sentimen pasar terpuruk. Diketahui, harga gabah di tingkat petani terjun bebas, bahkan jauh di bawah patokan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 sebesar 4.200 rupiah per kilogramnya.

Untuk itu, posisi Bulog sebagai kantung beras perlu dipertegas, semestinya Buloglah yang menjadi juri kebijakan impor beras atau tidak. Buloglah yang tahu betul berapa stok beras untuk kebutuhan nasional termasuk rincian darimana beras itu diserap. Dengan demikian, pemerintah akan mampu memutus jaring-jaring oknum pemburu rente ekonomi yang merugikan petani lokal sekaligus menjamin kadar impor beras agar sesuai kebutuhan, bukan keinginan.

Konsistensi

Melalui Permendag di atas, komitmen pemerintah dalam melindungi nasib petani lokal perlu dilanjutkan. Bila konsistensi antara aturan dan implementasinya selaras, barangkali akan memperbaiki daya serap beras yang berasal dari petani lokal.

Saya rasa, tarik ulur kebijakan impor dibutuhkan kompromi antara Bulog sebagai lumbung beras, Kementerian Perdagangan yang paham soal perputaran beras di pasar, serta Kementerian Perindustrian yang mengerti perihal kebutuhan beras untuk industri. Kesinkronan kebijakan ketiga lembaga ini sangat menentukan arah ketahanan pangan nasional sekaligus nasib petani lokal.

Petani kita saat ini seakan berada di ujung tanduk. Di satu sisi, gabah hasil panen mereka tak terserap maksimal oleh pemerintah maupun swasta akibat sentimen negatif rencana impor beras. Di sisi lain, kerugian yang sama terjadi akibat daya beli mereka yang kian tergerus. Data menyebutkan, rata-rata Nilai Tukar Petani (NTP) sepanjang tahun 2020 hingga awal 2021 kurang memuaskan, yakni di kisaran 101,55. Pada Februari 2021, NTP tercatat turun menjadi 103,10 dengan kenaikan indeks yang diterima petani (It) sebesar 0,06 persen. Angka (It) tersebut tercatat jauh di bawah kenaikan indeks yang dibayar petani (Ib) yang mencapai 0,21 persen. Artinya, petani kita sampai saat ini cenderung merugi karena apa yang mereka keluarkan untuk bertani melebih apa yang mereka dapatkan.

Dalam situasi inilah, keberpihakan pemerintah terhadap nasib petani dibutuhkan. Menjaga stabilitas stok dan harga beras saja rasanya belum cukup. Pemerintah juga harus menstabilkan ekonomi melalui mekanisme pembentukan sentimen positif pasar bagi komoditas hasil pertanian. Misalnya, dengan mengambil jarak antara pengumuman kebijakan impor beras terhadap masa panen raya sehingga petani tak sampai gigit jari.

Demi mengentas kemiskinan

Mengentas kemiskinan di sektor pertanian masih menjadi janji mulia untuk direalisasikan. Setidaknya ada sebanyak 2,76 juta petani yang saat ini berada di dalam lingkar kemiskinan. Selain itu, jumlah penduduk miskin secara nasional pada September 2020 juga mengalami kenaikan sebesar 0,41 persen poin dibanding Maret 2020.

Mengingat beras merupakan kebutuhan pokok nasional yang ketersediaan dan fluktuasinya perlu dijaga, pemerintah memang perlu mengkaji ulang setiap kali berencana mengimpor beras. Jangan sampai rencana tersebut justru mengukir kembali cerita pahit 2018, di mana stok Bulog berlebih akibat kesalahan dalam menentukan besaran impor beras.

Sudah saatnya Bulog menjadi acuan utama dalam menentukan kebijakan impor beras. Bila stok beras menurut Bulog masih aman, maka kebijakan impor tidaklah perlu dilakukan, apalagi sampai memunculkan beragam wacana ambigu di banyak media. Dengan demikian, sentimen pasar dapat dikontrol sebaik mungkin dan tak membuat petani merugi berkepanjangan mengingat sebagian besar dari mereka masih berada dalam kemiskinan.

Di tengah pendemi ini, saya menyakini bahwa petani lebih menginginkan gabah hasil panennya ludes terserap pemerintah maupun swasta dengan harga layak. Minimal sesuai HPP. Ketimbang mereka harus menerima sejumlah uang tunai untuk membeli sebungkus nasi.

***

*)Oleh: Joko Ade Nursiyono, Statistisi Ahli Pertama di BPS Provinsi Jawa Timur.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES