Peristiwa Internasional

Revolusi Diam Membawa Myanmar Dalam Kelumpuhan Ekonomi

Senin, 05 April 2021 - 08:23 | 35.18k
Kekacauan akibat kudeta militer Myanmar itu telah merusak salah satu ekonomi termiskin di Asia, ditambah pandemi virus korona, di mana seperempat populasinya hidup dengan kurang dari satu dolar sehari. (FOTO:CNA/AFP/STR).
Kekacauan akibat kudeta militer Myanmar itu telah merusak salah satu ekonomi termiskin di Asia, ditambah pandemi virus korona, di mana seperempat populasinya hidup dengan kurang dari satu dolar sehari. (FOTO:CNA/AFP/STR).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Puluhan ribu pekerja dari berbagai sektor di Myanmar melakukan mogok kerja lewat revolusi diam untuk melawan junta militer, sehingga perekonomiannya menuju ke kelumpuhan.

Dilansir di CNA, puluhan ribu pekerja Myanmar itu terdiri dari pegawai bank, dokter, insinyur, petugas bea cukai, buruh B/M, staf kereta api dan pekerja tekstil. Mereka mogok selama dua bulan terakhir.

Revolusi Diam myanmar 3

Pekerja yang mogok itu termasuk di antara 550 orang yang meninggal dunia oleh tindakan keras militer terhadap protes anti kudeta, sementara banyak lainnya telah ditangkap bahkan dihilangkan.

Mereka mengatakan, junta militer telah memaksa mereka untuk mengambil tindakan radikal, meskipun mereka tidak bisa turun ke jalan bersama banyak rekan-rekan senegaranya.

"Kami tidak berdemonstrasi di jalan, kami terlalu takut masuk daftar militer dan ditangkap," katanya. Namun kami melakukan revolusi diam," kata mereka.

Perlawanan berkelanjutan itu dilakukan meskipun ada seruan berulang dan ancaman dari militer melalui media pemerintah agar orang-orang kembali bekerja, dan para pemogok mengatakan mereka semakin kuat.

Seorang pegawai penerbangan sipil mengatakan kepada AFP, gerakan mereka berkembang dan  lebih dari setengah dari 400 orang di departemennya belum kembali bekerja.

Kini Myanmar mengalami kelumpuhan ekonomi untuk memaksa tangan jenderal kaya yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari itu.

Kekacauan itu telah merusak salah satu ekonomi termiskin di Asia itu bahkan semakin bertambah setelah dilanda pandemi virus korona, di mana seperempat populasinya hidup dengan kurang dari satu dolar sehari.

Bank Dunia  memperkirakan saat ini terjadi penurunan 10 persen dalam PDB pada tahun 2021, sebuah langkah mundur yang sangat besar bagi negara yang telah mengalami pertumbuhan pesat selama transisi demokrasi yang dipimpin oleh pemerintah sipil Aung San Suu Kyi.

"Junta tidak siap untuk perlawanan seperti itu," kata Francoise Nicolas, Direktur Asia Institut Hubungan Internasional Prancis, yang menggambarkan pemogokan itu sebagai "taruhan yang berisiko".

Dengan sektor perbankan lumpuh, karyawan mengalami masalah dalam mendapatkan bayaran disamping mesin ATM juga menjadi kosong.

Sektor garmen Myanmar, yang berkembang pesat sebelum kudeta dengan 500.000 karyawan, juga runtuh.

Perusahaan asing seperti H&M Swedia dan Benetton Italia juga telah mengumumkan bahwa mereka menangguhkan pesanan mereka, sementara pabrik tekstil milik China yang bekerja untuk merek Barat beberapa waktu lalu telah dibakar.

Akibatnya, ribuan pekerja perempuan tidak dibayar dan mereka harus kembali ke desa asal mereka.

Situasi akibat kudeta militer ini juga mengkhawatirkan bagi para petani Myanmar, karena harga benih dan pupuk meningkat, sementara mata uang, kyat, terdepresiasi, menyebabkan pendapatan mereka menyusut.

Minyak sawit telah meningkat 20 persen di Yangon sejak kudeta dan beras lebih dari 30 persen di beberapa bagian negara bagian Kachin, wilayah utara yang miskin, menurut data dari Program Pangan Dunia PBB (WFP).

Harga bahan bakar minyak di Yangon naik hampir 50 persen pada Maret, menurut surat kabar Myawaddy.

Produk seperti bahan bangunan, peralatan medis, dan barang konsumsi, yang biasanya diimpor dari China, mulai habis.

"Pengusaha China tidak lagi ingin mengekspor karena penduduk Burma memboikot produk mereka, menuduh Beijing mendukung junta," kata seorang profesor bisnis internasional di Curtin University di Australia, Htwe Htwe Thein.

Meskipun terjadi gejolak ekonomi, namun junta militer sampai kini masih menutup telinga terhadap permohonan para pengunjuk rasa.

Menurut Amnesty International, mereka masih mengandalkan pendapatan yang nyaman berkat konglomerat kuat yang dikendalikannya yang aktif di berbagai sektor seperti transportasi, pariwisata, dan perbankan, yang telah memberi militer Myanmar miliaran dolar sejak 1990

Amerika Serikat dan Inggris telah memberikan sanksi kepada entitas ini, tetapi banyak negara yang berbisnis dengan mereka menolak untuk melakukannya.

Htwe Htwe Thein menyebutkan, tentara Myanmar yang telah merebut kekuatan demokrasi lewat kudeta militer itu juga mendapat keuntungan dari sumber daya informal yang luas dari pengumpulan ilegal sumber daya alam, seperti batu giok dan kayu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES