Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ex Aequo Et Bono

Rabu, 31 Maret 2021 - 14:41 | 74.38k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG“Alam memberi kita satu lidah, akan tetapi memberi kita dua telinga, agar kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicarademikian La Rouchefoucauld mengingatkan setiap penyelenggara negara supaya mendengar dengan serius apa yang terjadi di tengah masyarakat.

Tulisan Rouchefoucauld itu mengkritik tajam kalangan penyelenggara negara, khususnya elemen peradilan yang seringkali bersikap masa bodoh terhadap sikap kritis masyarakat atau pencari keadilan yang mereaksi ketidakadilan terhadap kinerjanya, terutama terhadap putusan para hakim.

Tulisan itu secara tidak langsung meminta pada penyelenggara peradilan untuk membaca dan menyikapi apa yang terjadi di tengah masyarakat sebagai bahan pertimbangan hukum, filosofis,  dan etisnya dalam membangun kinerjanya agar ketika menjatuhkan putusan misalnya, putusan yang dijatuhkan benar-benar berkeadilan atau berlandaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kepastian, dan kemanusiaan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berpijak pada tulisan itu, terdapat beragam pertanyaan seperti masih adakah di negeri ini ex aequo et bono (putusan yang adil)? benarkah putusan yang dijatuhkan oleh hakim selama ini memang merupakan putusan yang adil? tidakkah putusan hakim hanya mencerminkan putusan yang memihak dan menguntungkan dirinya?

Pertanyaan-pertanyaan publik seperti itu muncul akibat (dalam sejumlah kasus ditemukan) sepak terjang sebagian hakim (dari hakim apapun)  yang tidak menjaga marwah diri dan lembaga yudisial dimana dirinya menjalankan profesi atau menahkodainya. Bisa jadi putusan yang dijatuhkan dalam menangani suatu perkara adalah putusan berkeadilan karena sesuai dengan alat bukti atau kebenaran yang ditemukannya, namun ketika direlasikan dengan sikap dan perilakunya, pencari keadilan berhak meragukannya.

Standar publik dalam menilai putusan hakim itu rasional, pasalnya publik sudah demikian sering dan akrab dihadapkan pada sepak terjang hakim yang melanggar norma-norma yuridis maupun etika. Pelanggaran yang dilakukan ini bisa saja dianggap oleh hakim sebagai realitas normal akibat atmosfir deviatif yang masih kuat mempengaruhinya.

Kondisi deviatif itu memang masih menjadi penyakit general yang selama ini mencengkeram dunia peradilan, termasuk elemen penyelenggaranya yang bernama hakim, sehingga ketika etika profesi yang dilanggar, ditempatkannya sebagai “pelanggaran ringan” atau bukan dosa besar.

Bisa saja di tangan hakim nakal,  kejahatan istimewa (exstra oridinary crime)  seperti suap dan  gratifikasi serta pengaruh political will yang bertajuk barter melakukan rekayasa putusan atau menguntungkan seseorang yang yang berhasil “mempengaruhinya” saja, bisa dianggap sebagai subordinasi kultural, sementara untuk kasus pelanggaran etika disikapinya sebagai peristiwa “sekedar kekhilafan”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Asumsi seperti itu jelas mereduksi esensialitas atau kesejatian etika dalam mengawal setiap pengemban profesi hakim. Etika seharusnya ditempatkan melebihi supremasi hukum atau setidaknya sejajar dalam ranah urgensinya norma, apalagi jika direlasikan dengan profesi hakim. Mengapa?

Kita yang pernah belajar ilmu hukum setidaknya memahami derajat mulianya profesi hakim, yang derajat ini melebihi derajatnya pengemban profesi hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan penasihat hukum.

Karena tingginya derajat hakim itu, sudah seharusnya dalam menjalankan profesinya, aspek etika menjadi pengawal tertingginya. Jika etika sudah tidak digunakan sebagai pondasi dan sekaligus rule of game dalam setiap sikap dan perilakunya, maka keadilan bisa dipastikan bukan hanya redup, tapi juga mengalami kematiannya.

Memang kita dituntut untuk menghormati putusan hakim (pengadilan), tetapi menghormati putusannya tidak berarti menghilangkan, apalagi mengeliminasi sikap kritis kita kepadanya. Kalau kita mendiamkannya, apalagi sampai tidak melakukan reaksi, berarti kita membiarkan konstruksi ketatanegaraan Indonesia menjadi kropos dan hancur.

Ada suatu adagium “evil causis evil vallacy” (Cohen, 1970), bahwa kejahatanlah yang menyebabkan kesalahan jahat atau sesuatu yang buruk (jahat) bisa terjadi akibat kejahatan yang mempengaruhinya. Konstruksi masyarakat dan negara bisa rapuh akibat mengidap banyak “baksil” di dalamnya.

Besarnya keburukan (pelanggaran) etis yang dilakukan seseorang karena kedudukan (jabatan) yang diamanatkan padanya, maka keburukan demikian bisa berpengaruh eskalatif dan akseleratif di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam ranah itu, hakim bisa terjerumus serius menjadi “pemain” keji yang berlindung dibalik profesi atau institusinya. Salah satu modus sistematis ilmiahnya, apa yang diperbuatnya  dimasukkan dalam gugus logika hukum  dan pasal-pasal yang membenarkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Keterjerumusan hakim menyimpangi norma etis dan yuridis di negeri ini, di samping harus terus dikawal oleh publik, juga harus diperkuat pola rekrutmennya yang berbasis pengutamaan sosok yang berpotensi atau berlatar memiliki bibit-bibit sebagai negarawan

Darimanapun mereka (hakim) itu berasal, para pencari keadilan tidak “terlalu” mempersoalkannya, meski hal ini juga sering menjadi obyek diskursus soal rekrutmen hakim, pasalnya saat mereka sudah memasuki kawasan pengadilan, mereka harus sadar diri, bahwa dalam profesi yang diembannya, mereka dituntut menjadi “negawaran hukum”.

Kita bisa mengambil sampel, bahwa dalam perjalananan Mahkamah Konstitusi (MK), pernah ada hakim yang berasal dari politisi, yang ternyata sosok hakim ini sukses mengantarkan atau menahkodai MK. Marwah MK ditangannya benar-benar terjaga, maksud marwah MK ini tentu saja berkaitan dengan etika profesi yang dijaganya. Publik tentu mengetahui sosok ini.

Di tangan sosok itu, marwah MK sebagai sandaran pencari keadilan, benar-benar diapresiasi oleh publik. Sikap etis yang ditunjukkannya membuat publik menunjukkan kredibilitasnya, sehingga putusan yang diproduk oleh MK dihormati, meski dalam beberapa hal menjadi obyek logis diskursys ilmiah.

Itu semua berakar pada aspek implementasi etika profesi. Marwah pengadilan terjaga berkat pilar-pilarnya yang menggunakan etika saat memimpin jalannya persidangan maupun di luar persidangan saat berelasi dengan beragam tantangan (ujian) politik dan ekonomi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES