Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Berdampingan Dalam Keadaban

Rabu, 31 Maret 2021 - 13:28 | 28.75k
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Manusia didaulat oleh Allah sebagai makhluk pilihan untuk membangun atau mengembangkan dunia ini dan peradabannya. Apa yang terbaca dan bisa dirasakan di dunia ini, tergantung di tangan manusia. Manusia inilah yang menjadi penghias dan penentu politik kejelasan warna dunia ini,

Atas dasar itu, logis kalau manusia  tidak boleh terjerumus mengemas dirinya sebagai pelanggar keharmonisan sosial, pendisain atau ”produsen” polusi peradaban dan penghancur integrasi hidup bermasyarakat, pasalnya identitas sakralitasnya sebagai penyebar pencerahan peradaban, yang pada saat kapanpun dan berada dimanapun, serta berelasi dengan siapapun, ”hidup berdampingan dalam keadaban” mestilah ditegakkan, sebagai konsekuensi moral-keagamaan dirinya distigma Tuhan sebagai ”kumpulan pemenang: (al-muflihuun).

Manusia yang terjebak mempermainkan atau menanggalkan “jalan rahmat” be­rarti mengkhianati semangat juang (ruhul jihad) yang berbasis keadaban. Manusia golongan ini layak disebut sebagai pengebiri dan penghancur pola hubungan antar pelaku sosial secara inklusif, humanistik, dan egaliter. Kalau peran yang seperti ini terus dijalankan, apalagi sampai dikembangkan, maka bisa dipastikan kalau dunia tidak akan menampakkan keadabannya, dan sebaliknya lebih menampakkan disharmonisasi dan ragam ketakutan dimana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sosok itu hanya membuat wajah agama yang dipeluknya sebagai ”Islam penghancur” yang kemana-mana dan dimana-mana hanya membawa dan mengibarkan doktrin Islam formalistik, dan bukan Islam yang membangun dan menyebarkan cinta kasih (mawaddah wa-rahmah) dalam semangat universalitas dan dinami­ka pluralitas. Ia patut digolongan sebagai pelaku “dosa publik” dan keilahiahan, pasalnya apa yang diperbuatnya telah menyumbat mengalirnya jalan penyebaran rahmat pembebasan nan berkeadaban.

Idealnya dalam diri setiap diri muslim, khususnya pilar-pilar pendidikan membara kegairahan besar dalam mengunggulkan mentalitas yang tidak terkikis nurani dan komitmen kemanusiaannya, mengedepankan etos perdamaian (rekonsiliasi, al-ishlah) dan keharmonisan publik, menolak atau ”memarjinalkan” aksi-aksi  penyelesaian problem sosial, politik, ideologis dan keagamaan lewat jalur represitas, radikalitas, dan kriminalitas yang mengebiri hak-hak asasi manusia (HAM).

Perbedaan kepentingan, pandangan, politik, ideologis  dan teologis, seharusnya  tidak boleh menjadikan pola hidup terkotak-kotak dan konstruksi sosial berakhir ringkih dan rentan oleh kerawa­nan karena dominasi kedengkian,  penyebaran praduga bersalah (presumption of guilt), dan pembenaran kezaliman. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “takutlah kamu kepada penganiayaan (kezaliman, kekejaman), sebab sesungguhnya perbuatan penganiayaan itu merupakan berbagai kegelapan pada hari kiamat”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalimat “berbagai kegelapan pada hari kiamat” dalam Hadis tersebut menunjukkan, bahwa kegelapan di peradilan Tuhan akan diperoleh manusia-manusia yang ketika di dunia sibuk menghadirkan dan menyuburkan penderitaan bagi sesama atau menciptakan lahirnya “neraka sosial”.  “Neraka sosial” merupakan gambaran kehidupan duniawi yang sarat petaka akibat ulah manusia yang kerap berbuat zalim dan tidak berkeadaban. Inil ah deskripsi penderiataan akibat ketidak-adaban yang dimenangkan atau dikembangkannya.  Perilaku manusia yang memilih jalan demikianlah yang membuat warna dunia jauh dari memberikan keindahan dan kenyamanan,

Kesengsaraan masyarakat Barat yang sering menghadirkan ”neraka global” akibat perilaku bermodus ”neo-terorismenyanya” kepada negara-negara kecil juga mendeskripsikan watak manusia di dalamnya yang telah sekian lama kehilangan prinsip hidup berkeadaban dan penghormatan martabat kemanusiaan. Apa yang diperbuatnya layak distigma sebagai ”terorisme negara” (state terrorism) yang sejajar dengan apa yang diperbuat oleh komunitas pernabis ”Islam predator”.

Dus, hadis tersebut sejatinya mendidik manusia untuk menfitrahkan diri dan emosinya, mengunggulkan sifat kasih, membersihkan diri dari perilaku aniaya dan predatorik (gampang membuat kerusakan),  memartabatkan martabat manusia (human dighnity) dan mengayomi hak  asasi orang lain dari praktik dehumanisasi atau memak­simalkan peran-peran sosial, kultural,  dan struktural dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Perbuatan zalim individual hingga kolektif, lokal hingga global,  merupakan duri yang menghambat terbentuknya bangunan masyarakat yang kokoh berbingkai kedamaian dan kesejahteraan. Kezaliman dapat membuat terhalangnya kreasi-kreasi yang mendukung terjadinya perubahan. Kalau perubahan ini tetap gagal dilakukan, cita-cita pencerahan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa hanya menjadi suatu impian.

Wajah agama ”Islam menakutkan” tetap akan menjadi bagian dari cerita yang mengedepan  ketika ada kekerasan atau aksi kezaliman dipertahankan dan dikembangkan lagi dam lagi di tengah masyarakat. Inilah yang seharusnya disadari oleh setiap elemen bangsa ini, bahwa beragama yang salah bisa mengakibatkan wajah peradaban rusak porak poranda.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES